Ia menjelaskan bahwa dalam SE yang termasuk ujaran kebencian antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong. Lebih lanjut Brigjen Agus mengatakan bahwa SE Kapolri ini sebenarnya ditujukan untuk internal Polri saja, yaitu untuk distribusi A, B, C, dan D Mabes Polri, bukan untuk masyarakat dan bukan perintah untuk penegakan hukum tetapi mengupayakan pencegahan. “SE adalah pemberitahuan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan. Sehingga SE ini bukan regulasi atau peraturan, jadi tidak memuat norma baru,” ungkapnya tegas.
Pertama, proses komunikasinya menjadi sangat politis (karena tersebar di media), dimana seharusnya SE ini hanya untuk internal Polri, tetapi justru menjadi konsumsi khalayak luas dengan keragaman background saat menginterpretasi SE. Kedua, dalam elemen pesan, tercantum hukum yang sudah dibatalkan MK yaitu tentang frasa ‘perbuatan tidak menyenangkan (dalam pasal 335 KUHP)’ sehingga seharusnya tidak dapat dijadikan landasan untuk melakukan penindakan seperti yang tercantum dalam SE. Selanjutnya, tidak adanya definisi yang ajek tentang Hate Speech dalam SE. Dr. Gun Gun mengutip definisi Hate Speech menurut Kent Greenawalt yaitu, ucapan dan/atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebarkan dan menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama, keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan dan orientasi seksual.
“Jika kita mengacu kepada pengertian di atas, yang tentu saja telah digunakan di negara-negara maju, berarti ada ketidaksinkronan dengan bentuk Hate Speech yang disebutkan dalam SE, meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, karena subjeknya individual, sehingga hal tersebut tidak termasuk dalam kategori Hate Speech. Seperti yang kita ketahui, untuk hal tersebut sudah ada peratuan dan undang-undang yang mengatur,” ungkap Dr. Gun Gun.
Dari sudut pandang kominfo dan pemerintah, Ir. Azhar Hasyim mengatakan bahwa ujaran kebencian sudah seharusnya diatur dalam sebuah perundang-undangan. Dalam negara demokrasi, masyarakat memang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat seperti yang dituliskan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), namun harus kembali melihat Pasal 29 tentang hak negara untuk membatasi kebebasan berekspresi demi alasan moralitas, tatanan publik dan kenyamanan masyarakat umum. “Apalagi dalam dunia maya, di mana ujaran kebencian terpampang berjibun, dengan 88,1juta dari 252,4juta penduduk Indonesia pengguna internet, bayangkan jika satu saja ujaran kebencian disampaikan melalui dunia maya, apalagi media sosial, maka 88,1juta orang akan terganggu atau bahkan menjadi penerus ujaran kebencian yang tentunya meresahkan kelompok tertentu dan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H