Mohon tunggu...
Fanny Wiriaatmadja
Fanny Wiriaatmadja Mohon Tunggu... profesional -

just an ordinary woman bark2talk@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengurbankan Hewan Teraniaya, Layakkah?

11 September 2016   23:59 Diperbarui: 24 Desember 2016   14:20 6576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak sebulan yang lalu, lapak-lapak penjual hewan kurban mulai bermunculan di Jakarta, sapi, kambing, domba berjajar di pinggir jalan, kepanasan, kehujanan, pakan yang minim dan wadah air minum yang kosong. Setiap saya melewati jalan itu rasanya saya ingin memejamkan mata, menutup mata dan hati saya dari lapak-lapak tak beratap. Dari kambing, domba dan sapi yang bahkan tak bisa duduk dan berdiri tegak karena tali pengikat yang terlalu pendek. 

Sampai kemudian suatu siang daya tahan saya luluh lantak melihat kambing yang terus menekuk kakinya, saya dekati penjualnya dan saya tanya apakah kambing itu bisa berdiri, dan benar dugaan saya, kambing itu tidak bisa berdiri tegak karena tali pengikat yang terlalu pendek, saya belikan tali baru hanya agar kambing tersebut bisa berdiri. Perkataan penjual berikutnya membuat saya meradang, "Biarin aja mbak, ntar lagi juga mati." Saya hanya menjawab pendek, "Iya kalau laku."

Buat mereka mungkin saya dinilai berlebihan, tapi saya terbiasa mengukur apa yang saya rasa jika saya jadi hewan, saat saya ajak jalan anjing saya, pertama kali pasti saya sentuh jalanan dengan kaki telanjang, untuk mengetahui apakah terlalu panas atau tidak untuk anjing saya berjalan. Jika terlalu panas, maka saya menunda acara dog walking sampai hari lebih sore. 

Tambah hari, lapak-lapak penjual itu semakin banyak. Dan kepala saya semakin cenat-cenut setiap lewat jalan sekitar Kebagusan dan Ciganjur.

Sampai kemudian suatu hari kawan saya bilang bahwa dia merasakan hal yang saya rasakan, dan dia bilang, "Ayo kita pasang terpal-terpal buat kambing dan sapi itu, kasihan kalau matahari sedang terik atau saat hujan deras."

Saya kontak dua kawan saya yang lain untuk membantu saya. Kami pun berburu terpal, ember, tali, dan bambu untuk atap-atap lapak.

Memasang terpal untuk hewan kurban. Dokumen pribadi
Memasang terpal untuk hewan kurban. Dokumen pribadi
Seharian kami menyusuri jalan-jalan sekitar rumah, mencari lapak hewan yang belum beratap. Dari mulai terpal sebesar 4x10 meter sampai ukuran 3x4 meter kami beli, 30 batang bambu kali beli, 10 ember pun kami bawa.

Mudahkah? Tidak. Beberapa pelapak memandang curiga saat saya minta izin pasang terpal-terpal itu. Beberapa di antaranya malah bertanya, "Ini ada embel-embelnya nggak?" Beberapa bertanya maksud saya dan kawan-kawan itu apa, mengapa melakukan ini. Beberapa lainnya juga bertanya, "Kalau sudah selesai, terpalnya mau diambil lagi?"

Semua pertanyaan saya jawab sama, "Gratis. Tanpa embel-embel dan tidak akan kami ambil lagi." Dan kami pun resmi dianggap gila. Whoooosssaaaahhhh!!

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Miris sebetulnya melihat nasib hewan yang dijual sebagai hewan kurban. Kadang perlakuan pemilik, pengangkut dan penjual itu sama sekali jauh dari prinsip kesejahteraan hewan. Padahal dalam agama sudah diatur, dalam hukum positif juga sudah jelas, tapi kesejahteraan hewan itu masih saja dianggap sepele. 

Hari ini kambing dan domba yang diangkut dari sebuah kota di Yogyakarta ditemukan mati di perjalanan.... Sedih rasanya melihat mereka tergeletak tak bernyawa akibat kebodohan manusia.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Gimana mereka nggak mati jika diangkut dalam truk tanpa ventilasi seperti ini?
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Ruang yang sempit, pengap, panas, minim udara. Manusia memang makhluk terburuk dalam memperlakukan sesama makhluk. 

Minggu lalu, sapi-sapi dari Madura ke pelabuhan di Jawa Timur dilempar begitu saja ke laut dari atas kapal oleh kuli (kuli ini dibayar Rp 5000,- per ekor). Sapi dipaksa jalan di air laut yang lumayan tinggi untuk sampai ke darat. Cara itu selalu terjadi setiap Madura mengirim sapi atau kambing ke Jawa Timur. Benar-benar menyedihkan. 

Padahal....padahal nih yaaaa... hewan-hewan itu kan bakal jadi sarana untuk membuktikan kecintaan dan ketaatan umat kepada Tuhannya, yang prosesnya sudah diatur sedemikian rupa agar kesejahteraan hewan itu terjamin sebelum disembelih. Memperlakukan hewan kurban seharusnya disertai dengan tata krama yang mulia. Ketika satu hewan disembelih, hewan lainnya tidak boleh melihat. Karena hal itu bisa menjadikan hewan yang melihatnya menjadi stres. Jadi perlu ada sekat seperti spanduk atau beda ruangan antara hewan yang disembelih dan yang belum disembelih. 

Untuk merubuhkannya pun tidak boleh dibanting. Karena dengan teknik tertentu, bisa menempatkan hewan kurban, secara baik. Ini semua terkait dengan kesejahteraan hewan. Tata krama lain adalah, setidaknya, hewan kurban diistrahatkan minimal 12 jam sebelum disembelih, serta diberi makanan yang cukup. Dan ketika diistirahatkan, hewan-hewan tersebut harus diperiksa oleh dokter hewan atau pihak yang berwenang.

Praktiknya? Banyak tukang jagal yang kejar setoran dengan menerima order sana-sini, mana sempat memikirkan apakah hewannya dibanting atau tidak, pisaunya tajam atau tidak, hewan lainnya melihat atau tidak, yang penting pulang bawa hepeng banyak, syukur-syukur dapet bonus kulit atau kepala. 

Saya yakin banyak orang tidak memikirkan itu, tidak peduli bagaimana prosesnya itu hewan-hewan bisa sampai dekat rumah mereka, yang penting dapat daging yang bercampur jeroan, mana peduli dengan pemeriksaan antemortem atau postmortem. Ngerti juga nggak. 

Yang paling menyedihkan orang-orang yang berkurban banyak yang lupa bahwa seyogyanya esok hari adalah hari untuk menyembelih nafsu hewani dalam diri. Tidak peduli pada hewan kurbannya, yang penting nama mereka disebut pake TOA masjid. 

Sahabat baik saya bilang, "Just because they are going to die, that does not mean they do not deserve respect. Because when we think about it, they are going to die for someone else's sins. So shouldn't they --by the very least-- be treated with gratitude for the last days of their innocent lives?"

Buat saya, when I look into the eyes of an animal, I don't see an animal, I see a living being, I see a friend, I feel a soul..

Sumber Gambar: veganetti-with-heart-and-soul.blogspot.com
Sumber Gambar: veganetti-with-heart-and-soul.blogspot.com
Selamat Hari Raya Idul Adha 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun