[caption caption="sumber : Kompas"][/caption]
Â
Tulisan ini ditujukan memang untuk misuh-misuh, alias murang maring alias ngomel-ngomel... maklumi saja, karena sebagai seorang emak, ada tugas tak tertulis untuk ngomel-ngomel..iya kan ? iya dong.
Sejak kemarin Jakarta diguyur hujan lebat, mendadak kakaknya Jibran bilang bahwa sekolahnya mewajibkan murid-murid untuk memakai pakaian daerah pada hari ini, 21 April untuk memperingati hari Kartini.
Boleh percaya atau tidak... (kalau ga percaya sih kebangetan banget), semua salon/ tukang rias yang menyediakan jasa penyewaan baju daerah menyatakan diri kehabisan stock baju daerah untuk disewakan, karena penyewa membludak tentu saja, bukan karena bajunya kebawa banjir. Di tengah keputusasaan mendapat penolakan terus-menerus (cieeee..akhirnya aku ngerasain gimana jeritan hati para jomblower.. :p), aku dan Mang Gojek yang setia menemani memantapkan hati dan nekat menerobos hujan lebat untuk mendatangi dukun...eh..salah...mendatangi penjual baju betawi di daerah Setu Babakan, Jakarta Selatan.
Sialnya, penjual kostum itu yang biasa menjual 1 set pakaian khas betawi lengkap (baju, celana, sabuk, peci) dengan harga 200 ribu, kemarin mendadak menerapkan ilmu ekonomi mengenai supplydandemand.. naikin harga karena peminatnya banyak, alhasil itu pakaian dibanderol dengan nilai Rp. 340 rb/ set lengkap. Yaaah...berhubung aku ini pada dasarnya memang pelita harapan alias pelit dan juga kremesan alias kere, maka aku hanya beli pakaian, celana dan sabuknya saja, dengan harga Rp. 220.000,- . Harga itupun didapat setelah aku mengeluarkan segala jurus sinetron dan drama korea yang termehek-mehek tapi sepertinya tetep ngga ngefek.. *sigh*.
Selama perjalanan pulang yang masih juga diikuti hujan deras, petir dan geluduk, dan tetap setia didampingi Mang Gojek yang rela dibooking pulang pergi (setelah disogok sebungkus rokok agar ga rewel), aku yang merasa teraniaya oleh si pedagang kostum, merasa butuh marah, butuh protes.
Kalau marah sama Mang Gojek, nanti aku dipaksa turun di tengah jalan, kalau marah sama tuhan nanti aku kena azab disambar petir, marah sama suami ntar aku durhaka, apalagi marah sama anak yang Cuma dapet perintah dari sekolahan...Akhirnya aku memutuskan untuk marah sama sekolahan aja, gila apa..kasih perintah mendadak, untuk apa coba anak SMP memperingati hari Kartini dengan baju daerah..relevansinya apa?
Apa hubungan antara memperingati Hari Kartini dengan baju daerah? Bukannya Hari Kartini itu adalah simbol dari emansipasi wanita ya seharusnya?
Kenapa harus pake baju daerah ? kalau anak TK sih maklum, namanya juga lucu-lucuan dan biar sekolah TK itu keliatan ada kegiatan, walau aku masih nyengir kuda membayangkan anak piyik itu pake konde dan kain yang pasti bikin mereka repot kalau jalan dan pipis. Ini anak SMP, yang seharusnya peringatan Hari Kartini tidak lagi sebatas selebrasi ngawur dan sekedar simbol. Buat apa ? Seharusnya sekolah lebih menekankan bagaimana cara agar siswa-siswi di sekolahnya mampu menyerap dan mengadopsi nilai- nilai dari seorang Kartini. Kenapa tidak menugaskan membuat karya tulis, essay atau apa kek yang kiranya akan membangkitkan rasa hormat dan kagum pada Kartini ?
Apa dengan berpakaian daerah anak-anak itu menjadi paham pola pikir seorang Kartini? Mungkin mereka bahkan tidak tahu bahwa di Jepara ada museum Kartini.