sengketa Laut China Selatan ditengah keagresifan negara - negara yang terlibat pengklaiman wilayah di Laut China Selatan.
Brunei disebut sebagai "pengklaim diam - diam" oleh negara - negara anggota ASEAN karena sifatnya yang cenderung mengabaikanSengketa Laut Cina Selatan bermula dari perselisihan mengenai hak teritorial di kawasan kaya yang penting secara geopolitik ini. Sejak Perang Dunia II, klaim teritorial atas Kepulauan Paracel dan Spratly telah memicu ketegangan antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Konflik ini terjadi pada tahun 1947 ketika pemerintah Tiongkok menerbitkan peta dengan sembilan garis putus-putus yang menandai klaim teritorial Tiongkok atas sebagian besar Laut Cina Selatan. Namun klaim ini tidak didasarkan pada hukum internasional yang jelas. Suasana semakin rumit karena penemuan potensi cadangan minyak, gas, dan strok ikan yang sangat melimpah di wilayah tersebut. Negara-negara yang berada di kawasan ini sudah mulai mengklaim sebagian wilayah maritimnya sebagai zona ekonomi eksklusif (ZEE) sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Hal ini memicu ketegangan antara Tiongkok dan negara-negara pengklaim yang menentang campur tangan asing di wilayah tersebut, yang menurut Tiongkok merupakan bagian dari "kedaulatan historis" Tiongkok. Tiongkok secara aktif memperluas kehadirannya di Laut Cina Selatan dengan membangun pulau buatan dan instalasi militer di Kepulauan Spratly. Kegiatan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai militerisasi di wilayah tersebut.
Meski Brunei Darussalam merupakan negara pengklaim Laut China Selatan, namun Brunei tidak menunjukkan respon tegas terhadap sengketa Laut Cina Selatan. Brunei mengambil tindakan defensif terhadap Tiongkok dengan alasan situasi politik dalam negeri yang saat ini sedang mengalami penurunan ekonomi. Mengingat upaya diplomatik bilateral Tiongkok dengan Kesultanan Brunei yang sedang berlangsung untuk menarik diri dari wilayah yang disengketakan, dapat dikatakan bahwa negara tersebut ragu-ragu untuk menanggapi Laut Cina Selatan.
Letak Brunei Darussalam dalam sengketa Laut china Selatan
Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil di Asia Tenggara yang terletak di bagian utara pulau Kalimantan (Borneo). Secara geografis, Brunei terletak di pesisir utara pulau ini, berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan di sebelah utara. Negara ini memiliki dua wilayah yang dipisahkan oleh Malaysia. Di sebelah barat terdapat distrik Brunei-Muara, Tutong dan Belait dan di sebelah timur terdapat distrik Temburong. Brunei Darussalam hanya memiliki luas 5.765 kilometer persegi, yang berarti negara ini merupakan negara kecil, namun walaupun negara ini adalah negara kecil tapi negara ini merupakan negara yang kaya, karena Brunei memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah terutama minyak bumi dan gas alamnya sehingga dapat menopang dan menjadi pilar utama perekonomian Brunei.
Brunei Bergantung Pada Tiongkok sebagai Penopang Ekonominya
Meski Brunei Darussalam merupakan negara pengklaim Laut China Selatan, mengapa Brunei lebih memilih untuk bungkam terkait sengketa ini ditengah sifat negara - negara anggota ASEAN yang sangat agresif? alasannya adalah karena ekonomi Brunei sangat bergantung pada Tiongkok segingga  Brunei tidak menunjukkan respon tegas terhadap sengketa Laut Cina Selatan. Brunei mengambil tindakan defensif terhadap Tiongkok dengan alasan situasi politik dalam negeri yang saat ini sedang mengalami penurunan ekonomi. Mengingat upaya diplomatik bilateral Tiongkok dengan Kesultanan Brunei yang sedang berlangsung untuk menarik diri dari wilayah yang disengketakan, dapat dikatakan bahwa negara tersebut ragu-ragu untuk menanggapi Laut Cina Selatan.
Brunei tidak bisa lagi bergantung pada cadangan minyak dan gasnya yang telah menjadi dasar ekonominya selama bertahun-tahun untuk pertumbuhan jangka panjang. Penurunan harga minyak global baru-baru ini telah merugikan pendapatan negara, sementara cadangan minyak domestik Brunei diprediksi akan habis dalam beberapa dekade mendatang. Sektor minyak dan gas secara konsisten berkontribusi lebih dari 60% terhadap PDB dan lebih dari 95% terhadap ekspor Brunei. Situasi ini menunjukkan bahwa Brunei perlu mencari sumber pertumbuhan ekonomi yang baru dan mengurangi ketergantungan pada sektor energi. Dengan cadangan yang semakin menipis dan fluktuasi harga minyak yang tidak menentu, keberlanjutan ekonomi Brunei berada dalam risiko. Ketika pendapatan berkurang makan akan menimbulkan diversifikasi yang menyebabkan perekonomian dan struktur kesultanan Brunei menjadi memburuk. Sultan Hassalah Bolkiah berusaha untuk mempertahankan legitimasi politiknya degan merencanakan restrukturasi yang ambisius untuk mencapai target yang lebih efisien yang dinamakan "visi Brunei 2035". Diversifikasi ekonomi menjadi langkah penting bagi Brunei untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan di masa depan, mengingat tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan pendapatan dari sektor minyak dan gas.
Selain itu Tiongkok merupakan konsumen dan pemilik utama teknologi pengeboran lepas pantai, Tiongkok juga menjadi pasar potensial bagi Brunei sebagai sumber pendapatan alternatif karena ketergantungannya pada hidrokarbon. Kesultanan Brunei meyakini bahwa pemenuhan keinginan Tiongkok untuk tidak mencampuri sengketa di kawasan Laut Cina Selatan sebenarnya dapat mendukung pemulihan dan diversifikasi ekonomi, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi
Sultan Hassalah Bolkiah berusaha mendorong investasi asing, khususnya dari Tiongkok, dengan investasi gabungan mencapai US$4,1 miliar. Proyek infrastruktur besar, termasuk kompleks kilang minyak dan proyek pelabuhan, menjadi fokus utama. Kerja sama mencakup berbagai sektor, termasuk sumber daya dan industri non-minyak. Pembentukan Koridor Ekonomi Brunei-Guangxi tahun 2014 juga memperkuat hubungan perdagangan, dengan penekanan pada sektor-sektor seperti bioteknologi, perikanan, dan makanan halal.
Keuntungan yang diperoleh Brunei dan Tiongkok dari sengketa laut China Selatan
Diamnya Brunei atas klaim Laut China Selatan dapat menguntungkan keduanya, Brunei sebagai negara kecil tidak dapat menguatkan klaimnya terhadap Tiongkok yang notabenya adalah negara yang maju dibanyak sektor khusunya ekonomi dan politik. Brunei sebagai negara kecil lebih memilih untuk tidak terlalu menunjukkan sikap agresif kepada Tiongkok, namun sebaliknya Brunei lebih memilih untuk bertindak diam -- diam dan memanfaatkan situasi ini untuk mengamankan investasi untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Brunei sebagai negara penggugat berhasil diluluhkan oleh Tiongkok karena beranggapan bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan pihak ketiga, sehingga ketegangan antara negara -- negara anggota ASEAN terpecah belah keadaan ini juga dimanfaatkan oleh Tiongkok untuk memperkuat kendali de factonya dikawasan yang disengketakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H