Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Ibu

21 Juni 2024   07:14 Diperbarui: 24 Juni 2024   13:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku belajar mengenal kekacauan hidup dari sosok ibuku.
Itu berlangsung semenjak aku masih berbentuk janin, lantaran kehadiranku ke dunia tidak direncanakan dengan baik. Tetapi akibat "kecelakaan". Konon kondom yang dipakai ayahku bocor.
Ibu tidak siap menghadapi kehamilannya yang keenam. bermaksud menggugurkannya. Namun dokter tidak berani mengambil tindakan karena usia kandungannya sudah memasuki tiga bulan.
Sepanjang hidup benakku diusik sebuah pertanyaan "Mengapa kondom bisa bocor?". Jawabannya kutemukan tatkala umurku empat tahun. Melalui kakak kelima ku yang usianya dua tahun di atasku. Aku satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku.

Kakak kelimaku orangnya hiperaktif dan pintarnya gak ketulungan. Dia mirip burung hantu. Kalau malam susah tidur. Dia hanya bisa terlelap tatkala tengah mengikuti pelajaran di kelas atau mengerjakan PR.
Sang guru tidak bisa bertindak apa-apa, karena hasil ulangan dan rapornya selalu bagus. Beliau tidak punya alasan menghukum dirinya.
Suatu hari dia menemukan benda sakti yang disembunyikan dibawah kasur kamar ayah. Sebuah kaleng berbentuk lonjong bekas tempat pomade. Ketika dibuka isinya balon karet yang sangat tipis. Agar tidak lengket ditaburi bedak. Melalui benda itu terkuak rahasia aktivitas orangtuaku malam hari tatkala anak-anak disinyalir sudah tidur semua.
Kakak meyakinkanku, bila tidak bisa tidur ayah dan ibu senang main "balon-balonan". Mereka berdua bergantian saling meniup sampai lelah. Suaranya berisik mirip orang kehabisan napas. Itu terdengar jelas karena kamar ayah bersebelahan dengan kamar anak-anak.
Selama ini mereka  pisah ranjang. Ibu biasa tidur seranjang denganku dan kakak bungsuku tersebut. Sesekali ia menghilang, pindah ke kamar ayah.
Kakakku yang iseng mencoba meniru perilaku orangtua kami. Ia mengambil balon itu, meniupnya. Bentuknya bukan bulat, tapi memanjang. Aku disuruh mencoba, tapi tidak mau karena jijik melihat mulutnya yang penuh bertaburan bedak.
Semenjak saat itu stigma yang melekat dalam diriku adalah "anak yang terlahir akibat bocoran kondom bekas".  Tidak enak banget!
Sampai kapanpun aku tidak pernah bisa memaklumi perilaku orangtuaku, mengapa mereka masih suka memakai kondom bekas, walaupun sudah menelan korban. Kok tidak kapok?

Ibu mempunyai riwayat masa lalu cukup kelam sebagai anak bungsu yang pernah diterlantarkan keluarganya. Kurasa peristiwa itulah yang membentuk kepribadiannya yang cenderung apatis. Ia sangat jarang mengekspresikan perasaannya.
Secara fisik ibu sangat menarik. Tubuhnya ramping dengan bentuk dada dan pinggul yang padat. Fisiknya tidak terlalu berubah kendati sudah berkali-kali melahirkan.
Ia seorang wanita yang dingin sekaligus cerdas. Meskipun pendidikan formalnya rendah, cuma sampai SMP.
Aku belajar mengeksplorasi duniaku yang kecil namun penuh tantangan dari sosok ibuku. Meskipun kurang begitu mengenal riwayat hidup serta silsilah keluarganya.

Konon ia sebenarnya punya tiga orang kakak yang selisih usianya belasan tahun dari dirinya. Ayahnya seorang penjudi dan pemabok. Lelah menghadapi sikap suaminya yang tak kunjung bertobat dan terus-menerus terjerat dalam kemiskinan nenekku kabur meninggalkan keluarganya. Saat itu usia ibu baru tujuh bulan.
Karena tidak ada yang sudi merawat, bayi tersebut diserahkan ke sebuah panti asuhan yang dikelola para biarawati dari Ordo Santa Ursula. Semenjak saat itu ibu tidak pernah lagi berhubungan dengan keluarganya.

Ayahku sebaliknya berasal dari sebuah keluarga yang cukup terpandang di kota kami. Kakek-nenekku adalah imigran asal Tiongkok yang singgah dan menetap di Indonesia menjelang tahun 1940 an. Mereka merintis usaha yang makin lama berkembang makin pesat.
Berupa sebuah toko yang menyediakan hampir semua kebutuhan hidup. Mulai dari sembako, rempah-rempah, palawija hingga pakaian, alat tulis dan kebutuhan kantor serta obat-obatan.
Dikelola secara tradisional dengan dibantu dua orang karyawan yang sudah bekerja semenjak awal berdirinya toko yang keluasanannya sekitar lima ratus meter persegi tersebut.
Ayah adalah anak tunggal. Itulah sebabnya nenek bersikap sangat posesif terhadapnya. Membentuk karakternya  yang penurut, kurang bisa bergaul serta tertutup.
Setelah menyelesaikan SMPnya di sekolah Cung Hwa ia tidak melanjutkan pendidikannya. Pada masa itu terjadi pergolakan politik yang menyebabkan semua sekolah berbahasa Mandarin ditutup. Nenek tak sudi mengirim anaknya belajar di sekolah pribumi. Semenjak saat itu ayah terjun membantu usaha orangtuanya.

Yayasan Sayap ibu yang menaungi panti asuhan khusus anak-anak perempuan bermarkas di sebuah gang di jalan jendral Sutoyo, sekitar satu km dari lokasi toko kakekku.
Panti yang jumlah penghuninya duapuluh tujuh anak tersebut banyak menerima sumbangan dalam bentuk beras, susu bayi  dan biskuit kalengan. Namun mereka kekurangan uang tunai serta kebutuhan lain yang mungkin tidak terpikirkan oleh para donatur. Jadi secara periodik suster Angela yang memimpin panti tersebut akan mengutus salah satu anak ke toko kakek. Mengangkut beberapa karung beras, susu dan biskuit -yang tak habis dikonsumsi dan jumlahnya menumpuk - menggunakan becak langganan mereka. Minta ditukar dengan buku dan alat tulis, pembalut wanita, telur, mie instan atau apapun yang sedang dibutuhkan mereka pada saat itu. Yang melayani adalah kakek atau ayah. Mereka mengalkulasi harga pembelian barang-barang itu guna ditukar produk lain sesuai permintaan Kepala Panti.

Suster paling sering mengirim ibu untuk bertransaksi. Selain ia anak yang umurnya paling tua, juga pandai bicara dan tidak pemalu.
Berkat dia panti bisa mendapat tambahan telur bebek, sarden, kornet yang pada masa itu tergolong makanan mewah. Ada kalanya diimbuhi satu kantong permen. Terutama bila yang melayani ayah dan yang datang ibu.
Lantaran sering bertemu keduanya saling tertarik. Ayah jatuh cinta terhadap gadis cantik yang nampak cerdas dan berkarakter kuat. Sementara ibu menyukai pemuda pendiam namun murah hati. Anak tunggal taipan yang masa depannya sangat menjanjikan.
Semenjak saat itu ayah sering mengunjungi panti asuhan tempat ibu dibesarkan untuk berkencan.
Hubungan mereka disambut dengan suka cita oleh semua penghuni, termasuk suster Angela. Karena setiap datang ia akan membawa martabak, es lilin atau jajanan guna dibagikan kepada semua anak disitu.

Nenek adalah satu-satunya orang yang paling menentang hubungan mereka. Dia tidak sudi anak tunggal yang diperlakukan seperti emas mendapatkan istri yang diambil dari comberan.
Namun kekuatan cinta yang dasyat mampu meruntuhkan seluruh tembok penghalang diantara orangtuaku.
Ayah mengancam bila permintaannya tak dituruti, ia tidak akan pernah mau menikah selamanya. Hati nenek pun luluh.
Mereka memutuskan menyelenggarakan upacara pernikahan secara sederhana. Tidak ada pesta. Acara diselenggarakan secara adat di kelenteng. Setelah itu dilanjutkan di sebuah rumahmakan yang terletak di jalan jendral Sudirman.
Dari pihak ibu yang tidak punya sanak saudara dihadiri suster Angela sebagai wali. Semua penghuni panti dijamu oleh keluarga ayah. Sementara dari pihak ayah cuma hadir sepupu kakek beserta keluarganya, serta teman-teman kakekku.

Bibit perseteruan nenek-ibu tercetus semenjak saat itu. Nenek merasa kewibawaannya sebagai seorang ibu runtuh gara-gara kemunculan seorang bocah perempuan yang kala itu baru berumur enam belas tahun. Enam tahun lebih muda dari usia ayah. Namun ia mampu membuat lelaki itu menjadi seorang pembangkang yang memilih jalan sendiri guna merancang masa depan.

Beberapa saat setelah menikah - untuk melindungi sang istri dari rongrongan mertuanya- ayah minta dibelikan rumah untuk keluarga barunya. Permintaan ini dipenuhi oleh kakek.
Semenjak saat itu keluarga kami mendiami sebuah rumah berukuran sekitar empat ratus meter persegi. Mempunyai halaman di depan. Jumlah kamar ada empat. Cocok untuk sebuah keluarga produktif yang tahun demi tahun anaknya terus bertambah.

Kenyamanan nenek semakin terusik tatkala setahun setelah menikah ibu melahirkan putra pertamanya. Dua tahun kemudian kakak keduaku lahir. Sehabis masa pemberian ASI  untuk sang bayi berakhir ia kembali hamil. Membuktikan dirinya adalah wanita yang subur dan produktif. Berbanding terbalik dengan nenekku yang hanya mampu menghadirkan seorang putra setelah beberapa kali keguguran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun