Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bakso Labu Nenekku

11 Juli 2023   10:12 Diperbarui: 11 Juli 2023   10:22 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi yang cerah awal tahun 1953 kakek  mengajak putranya pergi ke  pelabuhan Tanjung Priuk guna menjemput dan membawa pulang gadis idaman ayahku. Gadis itu adalah ibuku.

Tahun 1977 aku lulus SMA. Sehari menjelang keberangkatanku untuk kuliah ke Bandung aku menginap di rumah nenekku. Ketika itu kakek sudah meninggal. Semalaman aku tidur seranjang dengan nenek untuk mengenang kembali masa kanak-kanak tatkala aku sering menginap di situ.

Cerita yang baru saja kutulis di atas dikisahkan oleh nenek malam itu. Dengan emosi yang meluap ia menuturkan kepiluan hatinya atas tragedi yang ditimpakan pada dirinya maupun ayahku akibat kekolotan tradisi China, tanpa memberinya kesempatan memperbaiki keadaan. Nenekku yang buta huruf pada dasarnya bukan orang yang pandai menumpahkan isi hatinya atau merangkai kata-kata.

Malam itu nenek berpesan agar suatu saat tatkala ia sudah meninggal aku bisa mewakilinya menyampaikan permintaan maafnya kepada ayah yang pernah ia terlantarkan. Ia begitu merindukan kembalinya sang anak hilang  ke pelukannya; seperti anak-anaknya yang lain.    

Sayang aku tidak pernah diberi kesempatan memenuhi pesan tersebut, karena ayah meninggal lebih dulu daripada nenek.

Setiap kali ingat hal itu aku begitu menyesal. Tidak pernah punya kesempatan ikut andil memperbaiki hubungan mereka. Ayahku membawa luka batin dan amarahnya  hingga ke liang kubur. Penyesalanku kian membuncah tatkala melihat nenekku menangis meraung-raung sembari memeluk peti jenazah ayahku sebelum diberangkatkan ke pemakaman.

Setelah ayah meninggal nenek tidak pernah lagi menjamu kami anak, cucu dan buyutnya.   Bakso labu buatannya tertinggal sebagai kenangan melegenda keluarga besar kami. Kesehatan dan semangat hidupnya menyusut. Ia mengingatkanku pada sebuah bangunan tua yang mulai menjatuhkan serpihan bata dan pasir dari dindingnya. Siap runtuh setiap saat.

Tak berapa lama kemudian bibiku memboyong nenek ke Bandung untuk tinggal bersamanya. Ketika itu semua cucu nenek sudah berumahtangga.

Suatu hari di bulan Juni tahun  2000 - bertepatan dengan masa liburan sekolah anak-anak - aku mengajak semua saudaraku beserta  keluarga masing-masing pergi menengok nenek ke Bandung.

Ia begitu bersemangat mengetahui rencana kedatangan kami. Karena itu meskipun hanya bisa duduk di kursi roda beliau terjun langsung ke dapur. Mengomandoi kedua pembantu bibiku membuat bakso labu.

Tatkala kami tiba bakso itu disajikannya kepada kami di ruang makan rumah bibiku yang lapang dan mewah. Raut mukanya tampak merah berseri-seri menyaksikan para cucu dan buyutnya menyantap kreasinya dengan lahap. Sayangnya itu menjadi bakso labu terakhir nenek yang bisa kami nikmati.
Seminggu kemudian bibi mengabariku, nenek meninggal dalam tidurnya yang begitu damai.
                                                                    ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun