Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putra-putra paman Sam

18 Maret 2023   06:30 Diperbarui: 18 Maret 2023   06:57 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika tiba kembali ke bumi suasana sungguh sangat tidak kondusif. Bibi Nur berusaha menyusupkan air kelapa muda ke mulutku melalui sedotan plastik untuk mengurangi efek mabuk. Paman Sam mengamatiku dengan wajah merona, mirip seekor harimau yang siap menerkam mangsanya. Sementara kedua saudara sekaligus teman bermainku tak kalah menyedihkan. Michael menekuk kepalanya dalam-dalam. Sedangkan Richard berusaha memijati kakiku dengan cemas.
Setelah kesadaranku pulih masalah belum selesai. Bahkan nampak baru saja dimulai.
Paman memanggil kami bertiga ke ruang kerjanya yang kini tidak lagi mempunyai aura misterius. Sebaliknya lebih mirip ruang pengadilan.
Kami bertiga diperlakukan sebagai terdakwa. Disuruh berlutut dalam posisi sejajar. Aku di tengah. Lantas ia tampil sebagai sang hakim. Berjalan mondar-mandir dengan tangan terlipat ke belakang. Siap merujam calon korbannya.
"Coba kamu sebut siapa diantara kedua bajingan ini yang telah mengajakmu mencuri minumanku dan mencekokimu!"
Dengan suaranya yang parau menyimpan amarah yang siap diledakkan dia berdiri di hadapanku.
Aku menggeleng sambil melemparkan pandanganku ke lantai. Tidak sanggup mengkhianati ikatan kedekatan kami dengan mengungkapkan apa yang telah terjadi.
"Saya yang bersalah paman. Tidak ada urusan dengan mereka!" Seruku seraya mengangkat muka. Menghimpun segenap keberanian menentang tatapannya yang tajam.
Kata-kataku rupanya telah mengusik harga diri dan martabatnya sebagai kepala keluarga. Ia menarik napas panjang berulang kali untuk meredam rasa jengkel dan putusasanya. Dengan garang berdiri di hadapanku sambil berkecak pinggang.
Suaranya datar dan dingin: " Kalau begitu kuberi kamu waktu dua jam untuk berkemas-kemas. Aku tidak sanggup lagi mendidikmu. Kamu akan kukembalikan ke panti asuhan!"
Ia membalikkan badan. Siap meninggalkan kami.
Saat itulah aku mendengar teriakan panik.
" Papa, jangan lakukan itu. Dia sama sekali tak bersalah. Akulah yang telah mencekokinya!"
Bagai disambar petir aku melihat Richard melompat berdiri, lantas berlari mengejar sang ayah. Menangkap kedua kakinya sambil meratap dengan nada memohon.
"Lepaskan dia papa. Akulah yang bersalah. Aku siap menerima hukumannya!"

Akibat pengakuannya sungguh fatal. Paman Sam yang saat itu
 menyimpan kemarahan bagai bara dalam sekam seketika meledak.
Ia menyuruh Richard berlutut. Lantas menarik sabuk kulit dari lipatan celananya. Menggunakan ujung yang bergesper logam untuk mendera punggung putra sulungnya belasan kali.
Richard menerima pukulan itu dengan pasrah dan tegar. Tidak menjerit atau meminta ampun. Membuat aku dan Michael shock. Kami berdua hanya bisa mematung hingga paman menghilang dari pandangan. Kami lantas memapah Richard kembali ke kamarnya.
Hari itu untuk pertama kali semenjak bergabung dengan keluarga paman kami tidak menghabiskan makan malam bersama. Bertiga mengurung diri di kamar masing-masing yang berbeda lantai dengan ruang makan dan kamar paman-bibi di lantai satu. Aku dan Michael dirundung rasa bersalah.  Namun tidak tahu bagaimana cara menebusnya.
Sekitar jam delapan malam dengan langkah hati-hati aku mendekati kamar Richard yang lampunya sudah dipadamkan. Memberanikan diri masuk.
Sayup-sayup kudengar isak tangis yang berusaha diredamnya dengan menyembunyikan wajahnya dibalik bantal. Ia berbaring menelungkup. Bahunya terguncang terbawa sedu-sedannya yang tertahan.
Aku memberanikan diri menyalakan lampu. Mendapati kemeja Richard lengket oleh darah yang membentuk peta di punggungnya. Perasaanku sungguh hancur menyaksikan kondisinya yang begitu mengenaskan. Mencoba membujuknya melepaskan kemeja itu agar bisa mengobati luka-lukanya.
Dengan patuh ia meloloskan tangannya dari lengan kemeja. Aku mengambil handuk kecil yang kurendam dengan air es, perlahan membersihkan punggungnya dari rembesan darah yang mulai mengering. Luka-lukanya berserakan sekujur punggung membentuk goresan yang kendati tidak dalam namun pasti sangat menyakitkan.
Richard masih terisak tatkala aku meneteskan cairan Betadin ke sekujur kulitnya yang terkelupas dan kelak pasti bakal meninggalkan jaringan parut di punggungnya yang kokoh dan ramping tersebut. Ia bukan hanya terluka secara fisik, tetapi merasuk jauh ke dalam lubuk hati.
Tak berapa lama Michael menerobos masuk. Ekspresinya tak kalah mengenaskan.
Ia langsung memeluk kepala sang kakak, larut dalam tangis yang menyayat.
Setelah emosinya mereda Michael memutuskan ingin menemui sang ayah guna menjelaskan hal yang sebenarnya. Karena tak sudi membiarkan kakaknya menanggung akibat dari seluruh ulahnya yang kebangetan. Namun Richard spontan bangun. Menghardiknya dengan murka.
"Jangan kamu bertindak tolol begitu ! Semuanya sudah terjadi dan tidak akan mengubah apa-apa."
Aku menjadi sangat terharu tatkala menyaksikan keduanya saling berpelukan sambil menangis penuh perasaan.
Setelah suasana mereda Richard berpesan agar Michael bisa mengubah sifatnya yang sangat kekanakan-kanakan dan belajar menjadi orang yang bertanggung-jawab. Nasehat terakhir sang kakak untuk adik tercinta.
Michael mengangguk patuh. Setelah itu kami beringingan meninggalkan kamar Richard agar ia bisa beristirahat. Karena besok kami bertiga harus berangkat ke sekolah.
Paginya kami langsung disambut peristiwa yang kelak menjadi sumber kerenggangan hubunganku dengan paman dan bibi. Mengoyak-ngoyak masa praremajaku bersama Michael. Hari itu Richard minggat dari rumah hanya berbekal dua potong pakaian dan tabungan uang jajan miliknya.    
Aku adalah orang pertama yang mendapati kosongnya kamar Richard tatkala bermaksud membangunkannya untuk pergi ke sekolah. Ia sudah tidak ada.
Peristiwa itu mendatangkan gelombang kemarahan dan penyesalan berkelanjutan paman Sam.

                                                             ***

Sepergi Richard hari-hari kami tidak bisa lagi sama seperti dulu. Michael kehilangan keceriaannya. Walaupun kami masih melewati hari bersama-sama. Namun lebih banyak duduk merenung dengan tatapan nanar menembus gugusan gunung Slamet atau awan yang beterbangan di langit.
"Aku rindu sekali kepadanya," ujarnya berulang kali dengan lirih.  Ucapannya tak pernah kutimpali. Karena aku ingin menyimpan kepedihanku dengan caraku sendiri.

Paman Sam mengendapkan rasa kecewa dan sakit hati terhadap putra sulung yang telah ia asuh sepenuh hati semenjak usia dua tahun. Ketika itu ibu kandung Richard kabur dari rumah bersama selingkuhannya seraya meninggalkan bayinya begitu saja. Padahal  lelaki itu sudah menjadi rekanan bisnis paman selama beberapa tahun.
Paman yakin Richard pergi menemui ibu kandung dan ayah tirinya di Jakarta. Karena ia tahu secara sembunyi-sembunyi Richard masih berhubungan dengan ibu kandungnya, lewat telpon atau pertemuan langsung. Terutama tatkala ia punya kegiatan ekstra kurikuler di luar rumah.
Sementara jauh di lubuk hati aku menyimpan endapan magma dalam kubangan kepedihan bagaikan runtuhnya puncak gunung berapi setelah terjadinya letusan dasyat. Perasaanku terhadap paman membatu sesudah menyaksikan kekejamannya dalam menyiksa putra sulungnya tersebut. Aku ingin secepatnya pergi dari rumah tersebut, karena tak sanggup menatap kamar Richard yang kini kosong dan terbengkalai tiap kali bangun dan pergi tidur ke kamarku.

Beberapa tahun setelah kepergian Richard kami berdua lulus dari SMA. Michael mengikuti kehendak ayahnya mengambil kuliah jurusan bisnis di ITB Bandung. Menggantikan kakaknya yang kini nasibnya tak pernah kami ketahui.
Aku menolak tawaran paman dan bibi yang ingin membiayai kuliahku. Mulai mencari pekerjaan. Menyadari kondisiku yang terbatas aku tidak mensyaratkan jenis pekerjaan apapun dengan gaji berapapun. yang penting disediakan tempat tinggal. surat lamaran kulampiri foto copy ijazah SMA. Kukirim ke berbagai instansi maupun perusahaan swasta.
Sebulan sesudah lulus aku mendapat panggilan dari sebuah minimarket di kecamatan Adipala, masuk wilayah kabupaten Cilacap. Berjarak dua jam berkendaraan dari tempat tinggalku sekarang. Posisi yang ditawarkan adalah kasir.  Minimarket itu itu buka 24 jam sehari. Tujuh hari perminggu. Terbagi dalam tiga shift. Cukup berat. Namun aku memutuskan menerima pekerjaan dengan gaji sesuai UMR tersebut karena adanya Mess untuk karyawan. Sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk pemondokan.
Akupun berpamitan dengan keluarga angkatku. Sebelum berpisah menyalami paman dengan mencium tangannya penuh rasa hormat dan terimakasih. Karena biar bagaimana beliaulah yang telah menyelamatkanku dari keterpurukan hidup sebatang kara di panti asuhan. Wajah paman nampak sendu, dipenuhi guratan di sekitar mata dan kening. Rambutnya telah memutih semua. Bahunya turun, nampak ringkih. Ia terlalu cepat menua semenjak Richard pergi dari rumah.
Bibi Nur yang lembut tak kuasa menahan rasa haru. Kami berpelukan erat. Aku berjanji memenuhi permintaannya agar secara berkala pulang mengunjungi mereka. Karena dua hari setelah kepergianku Michael juga akan berangkat ke Bandung untuk memulai semester pertamanya. Mereka hanya akan tinggal berdua saja.

Tiga tahun sudah aku menjalankan profesiku sebagai kasir dengan gaji pas-pasan, jam kerja panjang, tanpa hari libur.  Namun pilihan lain tidak ada. Aku merasa hidupku kosong, tanpa tujuan yang jelas. Sekedar melakoninya.
Sesekali bila sedang libur Michael datang ke messku. Kami menyantap sesuatu yang sengaja ia beli untuk dinikmati bersama di ruang makan karyawan yang sempit dan ala kadarnya.
Diantara kami seperti ada kesepakatan tak terungkap untuk tak
membahas masa lalu maupun Richard. Kami berdua sama-sama menanggung beban rasa bersalah yang mendesak perasaan dan sulit dibuang. Beban itu menindih hingga usia dewasa.
Kini kami hampir berumur 20 tahun. Michael akan segera menyelesaikan jenjang S1 nya. Dia tengah mengajukan permohonan beasiswa ke Kemendikbud lewat program LPDP untuk melanjutkan kuliah Perhotelan.
Aku senang menyaksikan keseriusan Michael dalam mempersiapkan masa depan. Ia benar-benar nampak dewasa dengan pemikiran yang matang. Walaupun belum mampu menghilangkan gurat-gurat kepedihan di wajahnya yang membuat ia nampak jadi lebih tua dari usianya.

Masa itu pun akhirnya tiba. Suatu siang ia datang ke tempat kerjaku untuk berpamitan. Ternyata ia lolos seleksi beasiswa untuk mengambil jurusan management perhotelan di Swiss.
"Dua hari lagi aku akan ke Jakarta dan terbang tengah malam," ujarnya sambil melingkarkan tangannya ke bahuku.
Kami berpelukan erat. Pelukan saudara dan sahabat. Sebelum berpisah Michael membisikiku.
"Aku akan memberimu sebuah hadiah yang bakal membuatmu bersyukur seumur hidup."
Ia nampak bersungguh-sungguh kendati aku menemukan kilatan " kejahilan" dalam matanya. Sesuatu yang sering membuatku mendapat masalah pada masa kanak-kanak dulu.
Demikianlah kami berpisah.
Berdiri di depan minimarket kulihat sosoknya berjalan menjauh. Tertelan oleh teriknya mentari yang mengirimkan udara meranggas penuh debu.
Aku masih berdiri hingga bayangannya lenyap berbaur kebisingan lalu lintas.
Untuk pertama kalinya semenjak paman menjemputku sepeninggal ibu aku kembali didera rasa kesepian yang luar biasa. Satu-satunya orang yang paling dekat denganku akhirnya pergi juga. Aku kini tinggal sebatang kara, mirip sebatang kayu yang menancap di tengah padang gurun. Bertahan hidup dalam kegersangan dan kepapaan tanpa memiliki masa depan yang jelas.
                                                                       ***

Beberapa hari setelah keberangkatan Michael aku merasakan mega-mega muncul di langit kehidupanku, mengirimkan nuansa warna yang menggairahkan.
Itu terjadi awal bulan puasa. Tempatku bekerja disibukkan oleh berjubelnya pengunjung membeli beragam panganan dan sirup untuk keperluan berbuka puasa. Aku tenggelam dalam kehingaran melayani deretan antrean orang-orang yang menjinjing keranjang belanjaan. Kebanyakan para ibu yang bising, tidak tertib mengantri dan menguras kesabaran. Mereka seperti kehabisan waktu karena jam buka puasa hampir tiba.
Di ujung antrean kulihat sesosok lelaki asing. Ia hanya berdiri sambil melipat tangan.  Nampaknya tidak bermaksud membeli apa-apa. Hanya mengamatiku bekerja.
Tatkala aku mengangkat muka dari Cash Register untuk balas memandangnya, seketika itu pula kurasakan jantungku berdetak lebih cepat. Dadaku bergelora didera rasa kejut luar biasa. Sosok itu ternyata Richard!  Sayangnya aku tidak bisa menghambur memeluknya karena banyaknya pengunjung yang harus kulayani. Ia memberi isyarat akan menungguku di luar.
Dengan susah-payah aku berusaha melanjutkan pekerjaan sambil menunggu kasir penggantiku tiba, dua jam kemudian.
Setelah pekerjaan selesai aku langsung menghampiri lelaki yang menjadi pusat impianku selama ini.    
Ia tengah duduk di kursi depan minimarket sambil menikmati sebotol cola dan sepotong hamburger. Aku menyongsongnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia bangkit menyambutku. Kurasakan tubuhku lunglai menyusup ke bahunya yang bidang. Ia telah tumbuh menjadi lelaki yang tinggi dan kokoh. Aku hampir kehilangan napas mengagumi penampilannya yang menakjubkan.
Kami berpelukan sambil berjalan meninggalkan tempat kerjaku. Aku mengajaknya berjalan-jalan melegakan diri sebelum kembali ke mess.  
Kami pun pergi menyusuri jalanan pedesaan bersama alur lalu lintasnya yang kacau, memiliki beragam  moda transportasi: becak, delman, sepeda, motor maupun angkot. Memberondongnya dengan banyak sekali pertanyaan yang sudah kupendam semenjak kepergiannya. Namun sesuai dengan karakternya, Richard bukan orang yang pandai dan senang bertutur. Ia hanya memberi gambaran sekilas apa yang dia alami selama ini.  Sesuai praduga paman Sam ia benar-benar tinggal bersama ibu dan ayah tirinya seperginya dari rumah.
Michaellah yang memberitahukan keberadaanku kepadanya sebelum berangkat ke Swiss.
Aku merasa lega ketika mengetahui Richard berhasil menyelesaikan studinya di bidang Telematika. Kini merintis perusahaan starup bersama dua orang rekannya.

Kami tiba di mess tatkala hari mulai gelap. Suasana sepi karena sebagian rekanku tengah berangkat bekerja. Sementara sebagian lainnya pergi mencari makan. Aku menarik napas lega, senang akhirnya kami memiliki waktu mereguk nikmatnya pertemuan yang tak terduga ini.
Richard memandangku dengan sorot mata berbinar.
"Kini engkau boleh menciumku, seperti yang diajarkan Michael kepadamu," bisiknya dengan nada mengejek.
Aku tidak mau membuang kesempatan. Sambil berjinjit kulingkarkan tanganku ke lehernya. Lalu mendaratkan ciuman penuh gairah ke bibirnya. Ciuman seorang gadis dewasa teruntuk lelaki yang dicintainya

(fan.c)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun