Padahal itu tengah menimpa keluarga pak Bob. Lelaki paling kucintai di dunia. Lelaki yang membuatku siap melakukan apa saja dan memberikan apa saja.
Istrinya meninggal tadi malam, setelah terlibat kecelakaan di tol Cipularang. Entah bagaimana ia tiba-tiba memutuskan pulang ke Bandung. Mobilnya tertabrak oleh pengemudi dalam kondisi mabuk menjelang masuk ke gerbang Pasteur. Mengalami benturan di bagian belakang kepalanya.
Saat itu pihak rumahsakit berusaha mengontak pak Bob, namun gagal. Padahal dibutuhkan keputusan cepat untuk melakukan bedah Kraniotomi berupa pembukaan tengkorak guna menangani pendarahan di otak istrinya. Keterlambatan penanganan tersebut membuat nyawanya tak bisa diselamatkan.
Beramai-ramai kami memutuskan melayat ke rumah duka di jalan Nana Rohana, Bandung, tempat jenazah disemayamkan.
Aku menjalani hari itu dengan limbung. Sampai di sana pelayat cukup banyak. Sebagian besar mahasiswa UNPAD dan Maranatha, murid-murid pak Bob. Kami membentuk antrean panjang guna memberikan penghormatan terakhir kepada almarhumah; disamping menyalami pak Bob.
Kuhujamkan pandang ke arah foto wanita yang kuselingkuhi tersebut, mungkin direproduksi dari KTP. Wajahnya nampak kaku, dengan potongan rambut praktis, tidak modis. Wajah wanita biasa saja, yang membuat orang mudah lupa, karena tidak mempunyai raut yang spesifik.
Pak Bob berdiri di sisi peti jenazah dengan mimik datar. Menerima ungkapan dukacita tanpa ekspresi. Sesekali ia menyapukan pandangan ke deretan pelayat hingga suatu ketika berhasil menangkap kehadiranku. Saat itulah tatapan kami bertemu. Ia terus memakukan sorot matanya kepadaku. Begitu tajam dan membara. Mengirimkan gelombang kemarahan dan penyesalan tanpa kata-kata. Namun mengandung sejuta tanya.
Mengapa hari itu kami memutuskan berkencan? Mengapa ia meninggalkan alat komunikasinya di rumah. Padahal biasanya selalu ia bawa, termasuk tatkala sedang istirahat dan tidur. Karena ia seorang dokter, suatu profesi yang berhubungan dengan nyawa seseorang. Mengapa kami membiarkan hubungan ini bergerak liar, sementara ia jelas-jelas sudah berkeluarga?
Kini aku sulit mengendalikan dadaku yang bergemuruh, dilanda penyesalan. Melalui sorot mata pak Bob yang menyiratkan kemarahan dan kepedihan itu aku menangkap kemurkaan Tuhan terhadapku. Â Ia memutuskan menghukum kami berdua melalui musibah ini.
Tak tahan menghadapi situasi menyesakkan ini, aku keluar dari antrean. Lari pulang dibawah sorotan mata penuh tanda tanya seluruh pelayat.
Sesampai di tempat kost kukemasi seluruh barangku yang cukup dimasukkan kedalam dua buah kopor. Memesan travel jurusan Purwokerto. Paginya kutinggalkan Bandung dan seisinya. Kembali ke kampung halaman. Aku takkan sanggup bertahan di kota, tempat dimana cinta pertamaku yang membara berlabuh. Cinta yang telah membakar lantas menghanguskan hati nuraniku. Membuat aku kehilangan diri sendiri.
                                      ***
Dengan bergulirnya waktu aku belajar menata kembali hidupku. Setelah dropout dari bangku kuliah yang bisa kulakukan guna menata masa depan tidaklah banyak. Kakak sulungku yang prihatin menyaksikan kondisiku suatu akhir pekan mengundang makan malam sahabatnya yang sama-sama bekerja di kantor Dinas Pekerjaan Umum Banyumas. Mereka sebaya, usianya sekitar tigapuluh tahunan. Siap membina rumahtangga. Penampilannya sangat sederhana.
Setelah berkenalan dengan mas Ilham aku memutuskan, seandainya dia berkenan aku akan menikah dengannya.
Beberapa bulan kemudian harapanku terwujud. Mas Ilham benar-benar mengajukan pinangannya.
Agar tidak menjadi  duri dalam bahtera rumahtangga yang bakal kami layari bersama, kubeberkan secara jujur skandal percintaanku dengan pak Bob padanya.