"Ambil sana. Mulai hari ini aku tidak butuh uang keluargamu!"
Wajah ayah merah padam menahan amarah. Lalu beranjak keluar. Kurasa ia kembali ke toko kakek. Baru pulang ke rumah tengah malam setelah ibu dan aku tertidur.
Untuk menyelamatkan muka ayah, aku berjongkok. Kupunguti uang yang berserakan. Setelah kurapikan kusorongkan kepada ibu. Â Â Â Â
"Simpanlah," bujukku. "Engkau bisa memakainya untuk membayar kebutuhanku. Karena aku lebih senang mama memakai uang papa ketimbang hasil judi." Â Â
Aku ingat reaksi ibu ketika itu. Matanya yang indah mendelik namun tidak memarahiku. Sejauh ini sikapnya terhadapku cukup baik. Walaupun mengabaikan, tapi tidak pernah bertindak kasar. Sangat berbeda terhadap ayah. Ia kerap  mengusik harga diri ayah sebagai lelaki dengan tutur kata dan sikapnya yang merendahkan.  Â
Ibu menuruti permintaanku. Memasukkan uang tersebut ke laci sambil bergumam.
"Uang tetap uang, dari manapun asalnya. Uang itu wangi!" Ia sengaja menciumi lembaran uang itu secara dramatis di hadapanku. Mirip orang stres.
Kesenangan ibu terhadap uang dan judi menjadi pemicu hancurnya keluarga kami. Â Itu terjadi tahun 1972. Bersumber dari sebuah pasar malam yang berasal dari daerah Sumatra dan diselenggarakan di lapangan Kebon Dalem.
Selain menyajikan berbagai atraksi meriah untuk anak-anak seperti komedi putar, bianglala, rumah hantu dan tong setan disitu juga ada permainan KIM yang sebenarnya lebih mengarah ke ajang perjudian ketimbang hiburan.
Pengunjung dipersilahkan membeli kupon yang terdiri dari deretan angka-angka. Per deret lima angka. Jumlahnya enam baris. Di panggung dipamerkan berbagai hadiah peralatan elektronik seperti kulkas, televisi, kipas angin, tape recorder. Juga perabot rumahtangga beraneka ragam seperti kompor, panci susun, termos, mixer dan blender.
Acara dimulai dengan menampilkan slide hadiah yang akan diberikan dalam sesi tersebut ke layar di belakang panggung. Misalnya televisi.