Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lorong Kehidupan (2)

2 Oktober 2021   06:22 Diperbarui: 2 Oktober 2021   06:42 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku maju selangkah di depan suamiku. Membungkuk sambil menyatukan kedua tangan di dada.
"Selamat datang tuan ajudan," sapaku. "Mohon maaf saya terlambat hadir Karena sibuk di dapur." Aku berdalih.
"Suami macam apa yang membiarkan istri sepertimu berada di tempat kotor seperti dapur!" Teriaknya sambil melemparkan pandangan marah ke tuan Tsang. Berkecak pinggang dengan congkak.
Secara jujur harus kuakui, aku sungguh sangat menikmati peristiwa ini. Kapan lagi bisa menyaksikan suamiku yang biasanya dingin dan angkuh diejek dan dipermalukan seorang tanpa mampu berbuat apa-apa?  

Penghinaan terhadap martabat keluarga Tsang masih berlanjut di tengah acara santap malam yang dipenuhi beragam hidangan kelas tinggi. Ada abalon tim, teripang, sirip ikan hiu, cakar naga. Namun suasanya lebih mirip sidang pengadilan. Berjalan tanpa jalinan komunikasi yang imbang.
Ajudan bupati menyuruh anak buahnya menikmati suguhan tuan rumah dengan rakus. Dilayani para pelayan putri pilihan. Semuanya cantik, muda dan perayu. Tuan Tsang sengaja menyewa mereka dari kedai minum tempat kaum lelaki menghabiskan harinya untuk bersenang-senang.
Sementara ia hanya memandangi hidangan yang berjajar memenuhi meja tanpa minat. Dengan kasar mengusir pelayan kami yang tercantik. Melanjutkan aksi gilanya.
"Suruh istrimu menuangkan arak untukku tuan Tsang!" Hardiknya kepada suamiku.

Saat itu aku sebenarnya sudah duduk mendampingi suamiku sebagai tuan rumah. Namun ia belum juga puas membuat jengkel dan malu suamiku dengan sikapnya yang keterlaluan.
Aku bergeming dengan ekspresi dingin. Menunggu.
Rasa jijikku terhadap tuan Tsang mencapai puncaknya malam itu. Ia bukannya menjaga kehormatan istrinya dengan menegur utusan pejabat yang sudah bertindak di luar batas kepantasan. Sebaliknya memandangku dingin. Menggerakkan kepalanya sebagai isyarat kepadaku untuk bangkit. Membiarkanku dihina dan dilecehkan hingga ke tingkat terendah.
Aku bangkit dengan wajah merah membara. Mengambil alih poci arak dari tangan pelayan yang berdiri ketakutan. Mendekatinya.
Tamu kehormatan itu mengangsurkan cangkirnya kepadaku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya yang bebas  disusupkan ke belahan samping gaunku. Mulai menggerayangi pahaku.  
Aku sengaja membiarkan tingkahnya yang tak senonoh itu beberapa saat. Menunggu reaksi suamiku. Namun ia menunduk. Pura-pura tidak melihat.
Akhirnya dengan senyum paling memikat kuangsurkan poci itu. Lalu menuangkan arak itu ke kepalanya.

Jamuan makan malam pun berakhir kacau-balau. Ajudan bupati tidak bisa menerima sikap penghinaanku terhadapnya. Ia bangkit dengan murka sambil mengobrak-abrik isi seluruh meja. Mengancam suamiku agar secepatnya mengutusku menemuinya untuk meminta maaf. Bila tidak ia bersumpah akan menggunakan kekuasaan ayah mertuanya menghancurkan usaha keluarga Tsang.
Setelah puas mencaci-maki ia mengajak para anak buahnya meninggalkan rumah kami yang  porak poranda.
Setelah bertahun-tahun tersekap rasa letih dan putus asa hidup terkungkung dalam lingkup rumahtangga keluarga Tsang yang menyesakkan dada malam ini aku merasa lebih bersemangat. Bisa mempertontonkan sikap lebih bermartabat menghadapi ulah pejabat daerah kurang ajar  ketimbang bersembunyi dibalik sikap pengecut dan tak tahu malu yang dipertontonkan suamiku.
Namun suamiku tidak melihatnya seperti itu. Rasa putus asa membuat ia kehilangan pengendalian diri dan menjadikanku tumpahan kemarahannya.
Ia menyeretku ke ranjang. Melayangkan tinju ke wajah dan tubuhku berulangkali sebelum melucuti tubuh dan menggagahiku.
Aku menerima perlakuannya dengan dingin. Rasanya sudah lama aku kehabisan ratapan dan air mata. Tekadku makin membuncah , bahwa suatu saat ia dan keluarganya harus membayar perlakuannya terhadapku dengan sangat mahal. Aku bersumpah untuk itu.

Dua hari kemudian suamiku memaksaku pergi menemui ajudan bupati untuk menyatakan penyesalan serta permintaan maafku. Sebelumnya ia sudah mendatangi rumah dinasnya sambil membawa sejumlah barang hantaran untuk membujuk dan meredakan kemarahannya. Namun ia dan stafnya diusir dengan kasar. Sang ajudan sesumbar, aku harus datang sendiri dan bersujud di hadapannya. Baru ia bersedia membuka jalur negosiasi dengan keluarga Tsang untuk membicarakan kelangsungan hidup perusahaan.
Dengan pandangan nanap tak berdaya ia memohon padaku agar mau merendahkan diri mengunjungi sang ajudan.
Aku sengaja bersikap angkuh. Menolak permintaan sintingnya.
"Bagaimana tuan bisa mengirim istri sendiri menghadapi lelaki yang jelas-jelas bersikap kurang ajar dan merendahkan itu? Tuan tidak takut menjadi cemoohan seluruh marga Tsang dan relasi bisnis?" Tanyaku menusuk. "Apalagi dengan wajah seperti ini?" Aku sengaja memperlihatkan akibat perbuatannya yang meninggalkan memar di sekitar mata dan pipiku.
Ia tertunduk malu. "Tolonglah !" Bisiknya. "Apa aku perlu berlutut memohon padamu?"
Ia segera menekuk kakinya sambil menggayuti tanganku. Aku menarik napas, berusaha menahan ledakan tawaku melihat sikapnya yang kini mirip seekor anjing buduk di hadapan tuannya. Aku berharap selamanya bisa membuatnya begini. Terutama di hadapan mertuaku. Agar ia paham kualitas putra sulung yang selama ini begitu di banggakannya.
"Apa kata Ta Niang nanti?" Aku sengaja memancing agar ia meminta pendapat ibunya. "Aku tidak akan pergi tanpa persetujuannya!" Aku bersikeras.

Tidak butuh waktu terlalu lama wanita itu tergopoh-gopoh mendatangiku. Sikapnya yang garang dan pengatur berubah jadi begitu manis.
"Tolong bantu keluarga suamimu menghadapi masalah ini Xifu," katanya.
Baru kali ini ia menyebutku "menantu" dengan panggilan sepantasnya.
"Aiya......" aku sengaja mendesah sambil menarik napas panjang. " apa kata orang bila tahu Tsang Xifu sengaja dikirim keluarganya menemui pejabat yang jelas-jelas berlaku tidak pantas itu?" Tanyaku gamblang. Membuat wajahnya tertekuk. Merah menahan malu.
Ia menggeleng-geleng sambil meraih dan meremas kedua tanganku.
"Tolonglah," desahnya. "Kami tidak akan melupakan pengorbananmu untuk keluarga Tsang," bujuknya. "Kami akan memberimu banyak hadiah bila engkau berhasil membuatnya menjalin hubungan baik dengan keluarga Tsang!"
"Baiklah!" Aku mengangguk. Sengaja menampilkan ekspresi enggan. "Mudah-mudahan ada yang bisa kulakukan."

Jadi atas restu dan dukungan keluarga, terutama suami dan ibu mertua berangkatlah daku menemui Ajudan bupati di sebuah tempat yang sudah direncanakan.
Ia sudah menantikan kedatanganku dengan gelisah. Tatkala tandu yang membawaku tiba sang ajudan mendekat, lantas mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar. Aku membalas senyumnya sambil menyambut uluran tangannya. Turun dari tandu. Kami saling menggenggam tangan disekap rindu yang mengendap sekian lama.
Ajudan bupati itu adalah Liang Hao, mantan kekasihku.

Setelah berpisah hampir sepuluh tahun lelaki itu banyak berubah. Nyaris tidak kutemukan jejak masa lalunya yang manis dan lembut. Yang membuatku dulu tidak ragu menyerahkan seluruh yang kumiliki.
Pengalaman di dunia militer dan politik telah membentuknya menjadi lelaki licik dan oportunis. Kini ia siao melakukan apapun demi memenuhi ambisinya menjadi penguasa. Mengabaikan perasaan. Pengalaman telah menempanya menjadi seorang politikus yang matang. Kami dipertemukan dengan suratan takdir berbeda. Ia sama sekali bebas. Bahkan bisa memanfaatkan ketampanan dan kepandaiannya merayu untuk mendekati putri komandannya. Menikahinya guna menaikkan derajatnya. Di lain pihak aku harus memikul seluruh azab perbuatannya terhadapku dulu. Terjebak dalam kehidupan perkawinan menyedihkan untuk membayar semua itu.

Tanpa perlu mengungkapkan Liang Hao tahu keadaanku. Ia jelas melihat penampilanku yang menyedihkan. Mengambil inisiatif menuangkan teh ke cangkirku sambil meminta maaf atas sikapnya yang provokatif dalam pertemuan pertama kami.
Ia berusaha menyelami penderitaanku dengan mengajakku menikmati acara minum teh di sebuah kedai pilihan yang sengaja dikosongkan untuk  menyambutku. Anak buahnya dikerahkan bersiaga di luar kedai. Mengusir pengunjung lain yang ingin menerobos masuk agar tidak mengganggu reuni kami.      
"Aku sengaja mengerjaimu untuk menunjukkan betapa tidak berharganya cecunguk itu sebagai suamimu."
Aku menarik napas. Ada jejak masa remaja dalam dirinya yang masih tersisa, yaitu kebiasaan menjahili orang. Dulu aku sering dibuat jengkel oleh ulahnya. Namun saat itu juga ia akan langsung membujukku untuk meredakan kemarahanku. Itulah kenangan paling manisku tentangnya.
Kami duduk bersebelahan. Ia mengulurkan tangannya mengusap bekas luka dan lebam di wajahku dengan raut sedih dan geram.
"Aku banyak mengetahui kisah hidup perkawinanmu yang menyedihkan dari nyonya Liao, guru melukis dan kaligrafimu." Ia menjelaskan.

Kini aku mengerti mengapa ia tidak nampak terkejut ketika melihatku pertama kali. Rupanya Suami nyonya Liao  bekerja sebagai sekretaris pribadi Liang Hao. Dugaanku bahwa ia sudah melupakanku ternyata tidak sepenuhnya benar. Ia berupaya melacak keberadaanku melalui orang-orang suruhannya.
Kesempatan mendatangiku tiba tatkala secara kebetulan mertuanya dipindahkan bertugas di daerah kami. Liang Hao mengatur siasat agar bisa mewakili bupati berkunjung ke rumah. Membuat jebakan yang mengharuskan aku pergi menemuinya.
Kini hanya mantan kekasihku lah satu-satunya orang yang bisa menolongku untuk membawaku keluar dari kungkungan keluarga Tsang.  Dan ia sudah menyatakan kesanggupannya.
Hal itu ditunjukkannya beberapa hari kemudian.

Dengan langkah gagah penuh kepercayaan diri ia kembali memasuki gerbang rumah keluarga Tsang memenuhi undangan suamiku dan keluarganya. Staf ayahnya sengaja diajak membawa catatan sumbangan serta upeti yang pernah dikeluarkan keluarga suamiku selama beberapa generasi kepada daerah yang sudah memberi mereka kemudahan berniaga. Hasilnya mengecewakan. Dibawah sistem pemerintahan Feodalis yang kini sudah ditumbangkan kaum Nasionalis mereka betul-betul diperlakukan istimewa. Pembayaran pajak, nyaris tidak ada. Upeti hampir semuanya masuk ke kantong pribadi para keturunan raja dan kaki tangannya yang ditunjuk sebagai panglima di daerah. Keluarga tersebut diindikasi melakukan pemerasan terhadap kaum buruh, peternak ulat sutra serta petani dengan memberi mereka upah yang sangat rendah.
Jadi kini Liang Hao datang mewakili pemerintah alias ayahnya untuk memperhitungkan denda serta pajak dan upeti yang seharusnya dibayarkan oleh keluarga tersebut. Sesuatu yang sangat tidak enak namun harus ditelan tuntas oleh keluarga Tsang sebagai kelompok kontra revolusi yang diharuskan menebus dosa-dosa nenek moyangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun