Wanita ini memiliki keterbatasan fisiknamun masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri bahkan harus siap bersahabat dengan lingkungan di sekelilingnya. Dia hanyalah wanita biasa yang mempunyai cita-cita tinggi. Baginya manusia tak akan punya arti dimata Tuhan, jikalau tanpa rasa syukur yang banyak bisa menjalani hidup dengan segala berkah dan rahmat-Nya. Meskipun kondisi fisik yang tidak sempurna dengan kedua kaki cacat, tetapi tekad dan semangatnya untuk menjalani hidup masih dipegangnya kuat-kuat. Dengan bantuan dua buah kruk, dia tetap melangkah maju tanpa rasa malu ataupun minder. Semua kepahitan dan kebahagiaan hidup dia serahkan kepada Yang Maha Kuasa, karena dibalik itu semua pasti ada hikmah yang terpendam.
Penulis memanggilnya Arina- lengkapnya Arina Hayati. Seorang wanita kelahiran Lamongan, 35 tahun yang lalu ini memiliki wajah yang manis dan selalu tersenyum, seolah tidak ada duka yang mampu dia tampakkan. Arina sekarang tinggal di Surabaya dan sudah menyelesaikan gelar S3-nya di Arsitektur ITS Surabaya.Saat ini sudahmenjadi Dosen tetap di institut tersebut.
[caption id="attachment_418039" align="alignnone" width="500" caption="sosok Arina Hayati (doc:Arina)"][/caption]
Penulis ingin memaparkan sekelumit kisah hidup Arina sebagai wanita disabel yang bertekad meraih cita-cita dan pendidikan tinggi melebihi orang lain yang sempurna fisiknya. Penulis mengenalnya dengan baik dan banyak hal bisa dipetik dari balik kisah hidup Arina yang memberikan inspirasi dan contoh bagi kita yang selalu merasa mengeluh dan merasa kurang sempurna. Semua manusia itu pasti mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Hanya saja yang menjadi pembeda di mata Yang Maha Kuasa yaitu iman, taqwa dan rasa syukur yang besar.
Arina adalah wanita yang hebat dan pantas untuk dibicarakan. Tak ada jalan yang sulit untuk meraih cita-cita, asalkan ada kemauan, tekat dan kerja keras serta rasa syukur yang besar kepada Allah SWT. Pendidikan yang tinggipun bukan penghalang untuk meraih impian yang tinggi pula. Setelah menjadi dosen, dia tak pantang menyerah untuk selalu mencari ilmu yang banyak. Belajar dan belajar. Keinginan mencari ilmu sampai belahan dunia manapun sudah selangkah menjadi kenyataan. Berbagai macam kursus-kursus singkat di luar negeri dia ikuti. Mulai dari kursus singkat di Swedia tentang program perumahan bagi rakyat kurang mampu dilanjutkan di Costarica dan Nikaragua serta beberapa seminar internasional lainnya. Beruntunglah biaya untuk program belajar yang diikutinya ditanggung oleh pihak penyelenggara. Tidak ada halangan yang berarti dalam mengikuti semua program tersebut, karena dia tidak sendiri dan ada beberapa peserta Indonesia yang juga mengikuti program yang sama. Ketika Arina harus pergi sendiri ke luar negeri tanpa pendampingan, dia tidak merasa khawatir karena dia mempunyai bekal semangat dan percaya diri yang besar sehingga segala halangan yang terjadi dapat diatasi atas pertolongan Allah SWT.
[caption id="attachment_418040" align="alignnone" width="500" caption="Arina ketika Short Course di berbagai negara (doc: Arina)"]
[caption id="attachment_418041" align="alignnone" width="602" caption="Arina dan teman-teman asingnya ketika mengikuti Short Course di berbagai negara (doc: Arina)"]
Prestasi-prestasi lainnya yang disandang oleh Arina sangat banyak dan tak dapat diragukan lagi, diantaranya yaitu:
a.Mendapatkan beasiswa Unggulan-DIKTI untuk melanjutkan sekolah S3 di Jurusan Arsitektur ITS
b.Mendapatkan beasiswa Sandwich DIKTI (4-8 bulan) sebagai Occasional Doctoral Student di Newcastle University, UK
c.Tahun 2007, mengikuti Short Course Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) di Swiss dengan tema Shelter Design and Development.
d.Tahun 2008 mengikuti short course lanjutan SIDA di San Jose-Costa Rica dan Managua-Nicaragua dengan tema Shelter Design and Development.
e.Tahun 2009, mengikuti Student Summit for Sustainability (S30 dan Annual Meeting of The Alliancefor Global Sustainability (AGS) serta mengikuti World Climate Conference 3 (WCC*3) oleh WMO (World Meteorological Organization) di Geneva, Switzerland.
f.Tahun 2010, mengikuti AGS annual meeting di Universitas Tokto, Jepang
g.November 2009-Juni 2010, mengikuti program sandwich untuk Program S3 sebagai Occasional Postgraduate Student di Universitas Newcastle, Newcastle Upon Yne, UK
Arina adalah wanita yang aktif. Saat ini, Arina aktif dalam komunitas di luar kampus. Salah satunya menjadi anggota Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia (HWDI) Surabaya. HWDI merupakan sebuah komunitas dimana para penyandang disabilitas wanita bisa berkomunikasi dan sharing segala macam persoalan yang dialami anggotanya serta saling memberi dukungan dalam mengatasi persoalan tersebut. Komunitas ini selalu mengadakan acara pertemuan rutin untuk anggota-anggotanya demi menjalin komunikasi dan silaturrahmi.
[caption id="attachment_418042" align="alignnone" width="454" caption="Arina dan Komunitas Difabel HCPI (doc: Arina)"]
Ketidaksempurnaanfisik kaki Arina berawal dari virus polio yang menyerangnya ketika dia berusia 6 bulan. Saat itu Arina tinggal bersama keluarganya di desa Weru, Paciran, Lamongan (Jatim), tempat dimanaIbunya menjadi Bidan Desa disana. Ketika itu virus polio menjadi virus epidemic yang menyerang ratusan anak di kabupaten Lamongan, termasuk di Desa Weru yang hampir 20 anak terjangkit polio. Dua hari sebelum Arina terkena virus polio orang tuanya akan membawanya ke puskesmas untuk divaksinasi antipolio. Namun kenyataan yang terjadi, virus tersebut menyerangnya lebih dulu yang diawali dengan mengalami panas tinggi, tubuh bagian bawahnya mendadak lemas dan tidak bisa digerakkan seperti biasanya. Pada saat itu, Ibu Arina sudah pasrah terhadap vonis polio yang diberikan dokter kepada anaknya. Walaupun awalnya merasa syok dan kaget, namun orang tuanya tetap berusaha mencari pengobatan untuk kesembuhan Arina. Mulai dari pengobatan alternatif di beberapa daerah termasuk di Yogyakarta tempat kakek neneknya tinggal sampai dengan melakukan perawatan fisioterapi di Surabaya.
[caption id="attachment_418043" align="alignnone" width="397" caption="Arina kecil memakai sepatu bris berfoto bersama ayah dan saudaranya (doc:Arina)"]
Menginjak umur 4 tahun, ketika Arina berobat ke seorang Sensei, dia diberi jamu-jamuan berupa minuman dari air rebusan ayam yang di tim. Alhasil, Arina yang tadinya hanya bisa berjalan merangkak, saat itu sudah bisa berdiri sedikit demi sedikit meskipun terkadang terjatuh-jatuh. Kondisi kaki Arina tidak seperti sebelumnya, mengecil dan melengkung ke belakang karena Arina kemana-mana berusaha tetap berjalan sendiri walaupun seringkali terjatuh tak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Namun semangatnya tidak dapat terbantahkan. Dengan kondisinya yang serba terbatas, cita-citanya untuk tetap melanjutkan sekolah tak dapat dihalangi. Bersekolah di sekolah umum pun dia jalani dengan prestasi baik.
Menginjak kelas 5 SD, kaki Arina dioperasi dengan memperbaiki beberapa struktur tulangnya sehingga bentuk dan kekuatan kakinya tidak menurun. Dalam operasi yang dilakukan, kedua kaki Arina harus menjalani sayatan dan perawatan fisioterapi. Tak hanya satu kali operasi saja yang harus dijalani Arina. Sampai saat ini dia telah menjalani operasi sebanyak 14 kali. Pada saat kelas 5 SD sampai kelas 2 SMP, Arina harus memakai sepatu bris yaitu sepatu yang terbuat dari lempengan besi yang dipasang di pinggul sampai kaki untuk menjaga struktur bentuk kakinya tidak bengkok. Dengan kondisi sepatu bris yang berat dan kaku, menyebabkan Arina merasa tidak nyaman dan tersiksa. Arina seringkali mengeluh dan merasa terbebani. Namun orang tuanya tetap menyemangati untuk bersabar menghadapi dan merawatnya dengan kasih sayang. Pada saat sekolah, dia sering mendapatkan berbagai macam olokan dan ejekan dari anak-anak kecil di lingkungannya. Istilah robot seringkali dijadikan bahan untuk mengejeknya. Meskipun terkadang rasa malu yang besar menerpa Arina kala itu, namun dukungan keluarga dan teman-temannya menjadikan dia kuat dan tegar untuk menghadapi segala rintangan. Berbagai ejekan yang diterima masa itu, menjadi pemicu dirinya menjadi lebih baik dan belajar dengan giat. Setamat SMP, kemudian Arina melanjutkan sekolah SMA di sekolah umum juga.
[caption id="attachment_418044" align="alignnone" width="604" caption="Arina dan teman-teman SMPnya (doc: Arina)"]
Ketika lulus SMA, Arina memutuskan untuk berkuliah di jurusan Arsitektur ITS. Semua kendala yang dia hadapi selama kuliah mampu diatasi. Bersyukurlah keluarga dan teman-temannya selalu membantu kesulitannya ketika kuliah.
Arina menyadari keberadaannya, meskipun dia seorang penyandang disabilitas, dia harus mampu hidupmandiri tanpa tergantung kepada orang lain terutama kedua orang tuanya. Berkat pertolongan Bu Isna, seorang guru sekolah SLB yang kebetulan beliau sendiri juga terkena polio pada saat masih kecil, Arina kini bisa mengendarai motor sendiri. Motornya merupakan hasil modifikasi dari motor roda dua menjadi roda tiga yang dibuat oleh Bapak Syaiful, seorang penyandang disabilitas yang ahli dalam memodifikasi motor untuk teman-teman disabilitas. Jasa-jasa orang yang ditemuinya itulah yang selalu membuat Arina bersemangat dalam hidup. Arina bisa dengan mudah kesana-kemari menggunakan motor modifikasinya tanpa merasa malu.
[caption id="attachment_418045" align="alignnone" width="336" caption="Arina dan motor modifikasinya (doc: Arina)"]
Setelah lulus S1, usaha Arina utuk mempunyai pekerjaan tak berhasil dengan lancar. Beberapa kali dia harus mengalami penolakan ketika melamar di beberapa perusahaan konsultan Arsitektur karena alasan kondisi fisiknya. Di sinilah dia menyadari bahwa di dunia nyata banyak rintangan baginya. Seolah-olah seorang disabel tidak mempunyai hak juga untuk bekerja dan bergerak maju. Segala macam usaha untuk mendapatkan pekerjaan kala itu dia lakoni. Namun tak membawa hasil. Berkat dorongan orang tuanya, akhirnya Arina melanjutkan sekolah S2 di jurusan Arsitektur ITS Surabaya.
Setelah lulus S2, Arina menyempatkan diri mengikuti penelitian-penelitian yang dilakukan oleh dosen-dosennya. Arina juga berusaha mengikuti tes penerimaan dosen di ITS. Meskipun dua kali mengikuti tes CPNS dan selalu gagal, tanpa rasa putus asa akhirnya pada tahun 2008, Arina mengikuti tes lagi dan lolos diterima sebagai dosen tetap di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Bagi Arina pekerjaan menjadi dosen adalah pekerjan yang paling ideal dengan segala keterbatasan fisik dan kemampuan yang dimilikinya.
Impiannya tidak sampai disitu, Arina bertekad untuk melanjutkan kuliah S3 di jurusan dan kampus yang sama. Apapun yang terjadi dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa baginya keterbatasan fisik bukanlah halangan yang utama memperoleh pendidikan tinggi dan mencapai cita-cita setinggi langit. Bersyukurlah Arina pun telah merampungkan kuliah S3-nya dan mendapat gelar Doktor pada saat umur 34 tahun. Bahkan pada saat itu, pengujinya mengatakan bahwa Arina merupakan doktor arsitektur difabel pertama di Indonesia.
[caption id="attachment_418046" align="alignnone" width="720" caption="Arina (tengah)- ketika sidang terbuka gelar doktornya (doc: Arina)"]
Bagi Arina semangat adalah modal utama yang harus dia pegang demi untuk tetap maju dan bertahan hidup. Segala keterbatasan, kegigihan dan pantang menyerahnya patut diacungi jempol. Berbagai macam penelitian dan seminar dia ikuti bahkan sampai harus keluar negeri. Arina tetap bisa menjadi wanita yang mandiri. Dengan kegigihannya itulah, Arina bisa dijuluki sebagai seorang perempuan bersemangat baja karena sangat kuat dan tahan banting menghadapi berbagai macam persoalan hidup.
Selama menjadi seorang dosen Arsitektur sekaligus wanita penyandang disabilitas, Arina mengungkapkan bahwa diskriminasi ganda seringkali terjadi di berbagai sektor baik sebagai wanita ataupun sebagai penyandang disabilitas. Kesempatan mendapatkan pendidikan, peluang kerja, hidup yang layak dan mendapatkan pengakuan setara sangatlah tidak mudah.Berbagai tantangan dan proses yang panjang pasti dihadapi. Salah satu penentu untuk membuka jalan adalah peran dan dukungan keluarga dan teman-temannya. Tapi kemauan pribadi serta usaha untuk mengalahkan rasa “tidak mampu” sangat penting dalam proses memperjuangkan dan mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
“Ketika orang tua saya mendorong dan menfasilitasi diri saya agar bisa menempuh sekolah setinggi-tingginya, makadisitulah kesempatan pertama untuk menunjukkan bahwa saya memiliki kemauan menjadi lebih baik dan bisaberkarya di dunia luar. Ujian, cobaan, kegagalan dan keberhasilan adalah bagian dari proses yang tentu membuat diri saya terus belajar dan berjuang tentang apapun. Kuliah bagi saya hanya salah satu sarana menuju kesana. Menjalin hubungan dan komunikasi antar sesama di berbagai lingkungan sosial, juga salah satu cara untuk memperluas wawasan, pengalaman dan pemahaman terhadap sesama yang tidak banyak didapatkan di “dunia perkuliahan”. Penjelasan Arina panjang lebar.
“Menurut saya gelar itu hanyalah sekedar menjelaskan saja. Yang terpenting adalah setelah lulus nanti, apa kontribusi kita untuk bangsa dan tanah air. “ lanjutnya lagi.
Bagi Arina kuliah setinggi-tingginya bukan menjadi suatu tujuan utama, namun hanya sebagai sebuah usaha untuk mengambil kesempatan yang belum tentu hadir dua kali. Kuliah juga sebagai wadah untuk mematangkan diri dan mengisi kehausan kita akan ilmu dan juga sebagai penyemangat hidup terutama dalam mencari jati diri serta peluang untuk menentukan dimana akan berkarya dan berkontribusi agar bermanfaat baik untuk diri sendiri, keluarga ataupun orang lain. Seperti pesan orang tua Arina bahwa, “Menuntut ilmu tidak akan pernah rugi dan ilmu itu akan menjagamu”. Proses ini juga dapat menjadi sebuah tahapan bahwa para disabel juga merupakan manusia biasa yang bisa bermimpi, berkarya, dan berusaha member kontribusi ke sesama serta menginginkan hidup setara.
Saat ini Arina mempunyai mimpi yang besar dan berharap bisa terealisasi di negeri Indonesia, dimana dia berpijak. Sebagai salah satu dosen tetap di Jurusan Arsitektur ITS, merupakan sebuah kesempatan baginya untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan masyarakat luas bahwa dalam berarsitektur harus selalu manusiawi, berempati bukan simpati dan membuka wawasan (mahasiswa/teman sesama akademisi) seluas-luasnya.Arsitektur itu juga diperuntukkan bagi sesama yang memiliki kebutuhan khusus. Arina juga berharap bisa menjadi seorang pendidik yang berusaha selalu belajar, berbagi serta mencoba memahami apapun yang ada didepannya untuk menjadi lebih baik, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Di tengah rutinitas pekerjaan dan aktivitas di komunitasnya, Arina tetap harus menjaga penampilannya dengan baik agar tetap menarik. Kebiasaan Arina menggunakan produk kecantikan Citra yang cocok dengan kulitnya membuat Arina semakin tampak cantik dan ceria. Sebagai seorang wanita difabel, mempercantik diri dengan produk Citra bukanlah hal yang tidak mungkin. Apalagi ditengah aktivitas sehari-harinya dimana wajah dan kulit harus terpapar sinar matahari langsung. Bahkan saat Arina mengendarai sepeda motor modifikasi dari rumah ke kampus yang jaraknya cukup jauh. Citra Cantik Indonesia Hand And Body Lotion Lasting White UV dengan bengkoang dan susu adalah pilihan yang tepat bagi Arina. Meskipun tidak terlihat putih bersinar, namun setidaknya dengan produk Citra tersebut akan membantu kulitnya tetap lembut, membuat wajahnya cerah, halus dan tidak kusam.
Referensi:
- wawancara langsung dengan Arina Hayati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H