Mohon tunggu...
Faneza Wiyan Yuliyanti
Faneza Wiyan Yuliyanti Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di UPN "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Strategis ASEAN Regional Forum: Diplomasi Aktif Indonesia Dalam Konflik Laut China Selatan dan Stabilitas Kawasan

7 Desember 2024   19:05 Diperbarui: 7 Desember 2024   21:14 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN 

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, ketika Jepang menyerah dan kedua pulau tersebut menjadi bagian dari provinsi Guangdong milik Tiongkok, Tiongkok telah mengklaim sembilan garis putus-putus, yang meliputi kepulauan Spratly dan Paracel. Inilah asal mula sengketa Laut Cina Selatan. Nelayan Tiongkok telah menggunakan perairan ini untuk mencari nafkah sejak 200 SM, khususnya di sekitar kepulauan Paracel, yang mendukung klaim historis Tiongkok atas wilayah tersebut. Sembilan garis putus-putus, yang juga dapat dibaca sebagai sembilan garis titik yang meliputi seluruh wilayah Laut Cina Selatan, digunakan oleh Tiongkok untuk mengklaim wilayah tersebut. Karena klaim China terhadap wilayah Laut Cina Selatan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing negara, khususnya Vietnam dan Filipina, yang berselisih dengan China atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracel, sejumlah negara, termasuk Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, telah menolaknya secara sepihak.

 PEMBAHASAN 

Dalam upaya sebagai mediator dalam sengketa Laut Cina Selatan, pemerintah Indonesia memainkan sejumlah tindakan proaktif untuk membantu meredakan konflik. Sejak sengketa Laut Cina Selatan pertama kali muncul, pemerintah Indonesia telah terlibat secara aktif. Tindakan yang dilakukan pada saat itu juga dimaksudkan untuk melayani kepentingan nasional Indonesia dengan menunjukkan kepemimpinannya di Asia Tenggara, khususnya di ASEAN. Memfasilitasi proses de-eskalasi dan menunjuk dirinya sebagai mediator adalah peran aktif utama Indonesia dalam konflik ini. Melalui dua tanggung jawab aktif utama ini, Indonesia berharap dapat meningkatkan pengaruhnya dan memantapkan dirinya sebagai negara paling kuat di ASEAN. Indonesia juga berharap dapat meningkatkan reputasinya sendiri sehingga dapat diandalkan oleh anggota ASEAN lainnya. Salah satu cara pemerintah Indonesia berpartisipasi aktif dalam diskusi adalah dengan menawarkan diri sebagai penengah, seperti yang terjadi pada pertemuan ASEAN di Kamboja tahun 2012. Pemerintah Indonesia juga dapat mengundang negara-negara ASEAN untuk bekerja sama membahas masalah ini di forum internasional. Pemerintah Indonesia juga mengambil sikap aktif dengan menandatangani Deklarasi Perilaku (Declaration of Conduct/DOC) dengan Tiongkok pada tanggal 4 November 2002, bersama dengan negaranegara ASEAN lainnya. Pemerintah Indonesia semakin berdedikasi dalam membangun keamanan dan perdamaian di kawasan tersebut setelah menandatangani DOC pada konvensi di Kamboja. Untuk menghindari kesalahpahaman dan perbedaan pandangan, deklarasi tersebut menjadi dasar kesepakatan tanggal 20 Juli 2012 antara pemerintah Indonesia, khususnya Menteri Luar Negeri Indonesia, dan menteri luar negeri negara anggota ASEAN lainnya tentang Enam Prinsip mengenai Laut Cina Selatan. Sejak tahun 1990, Indonesia telah menyelenggarakan lokakarya tahunan dengan tema "Manajemen Potensi Konflik di Laut Cina Selatan" sebagai bagian dari partisipasi aktifnya dalam menjaga perdamaian di kawasan tersebut. Penyelenggaraan lokakarya ini merupakan bagian dari diplomasi preventif, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan antara negaranegara yang bertikai dan menghentikan konflik agar tidak berkembang secara berkelanjutan. Sasaran utama lokakarya ini adalah untuk mengelola potensi konflik melalui kerja sama, mendorong pertukaran gagasan mengenai program dan proyek kerja sama dalam memanfaatkan potensi di Laut Cina Selatan, dan mempromosikan langkah-langkah untuk membangun rasa saling percaya antara negara-negara yang bersengketa. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia menyoroti pentingnya dan persatuan ASEAN melalui pendekatannya terhadap sengketa Laut Cina Selatan. Mengingat negara-negara anggota ASEAN lainnya mungkin mengandalkan Indonesia untuk memimpin ASEAN ke depannya, Indonesia akan memperoleh keuntungan politik dari kepemimpinannya di kawasan tersebut. Hal ini mungkin terjadi jika Indonesia mampu menggunakan ASEAN untuk menantang Cina secara efektif melalui lembaga-lembaga internasional. Bukan tidak mungkin untuk menghadapi tantangan saat menjalankan tugas atau melakukan sesuatu. Begitu pula, pemerintah Indonesia menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan Konflik Laut Cina Selatan sebagai bagian dari peran kepemimpinannya di ASEAN. Di antara kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam meredakan konflik Laut Cina Selatan adalah kesulitan yang datang dari luar ASEAN. Salah satu tantangan eksternal adalah keinginan Cina untuk penyelesaian bilateral atas sengketa tersebut. Bahkan pemerintah Cina ragu untuk berunding dengan kawasan ASEAN secara keseluruhan. Hal ini dapat mempersulit penyelesaian masalah di forum ARF. Sebuah ide untuk penyelesaian masalah yang dibahas selama pertemuan ARF ke-12 adalah dengan kecepatan yang nyaman bagi semua pihak, yang mengharuskan penyelesaian masalah dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kenyamanan setiap orang. Namun, Tiongkok tampak tidak nyaman dengan upaya ASEAN untuk menyelesaikan masalah tersebut secara kooperatif, agar Tiongkok dapat memberikan prioritas tinggi pada penyelesaian konflik bilateral antara dirinya dan negara-negara anggota ASEAN. Kegagalan untuk membentuk pernyataan bersama bagi negara-negara ASEAN disebabkan oleh harapan Tiongkok bahwa kelompok tersebut secara keseluruhan tidak akan ikut campur dalam penyelesaian sengketa di Laut Cina Selatan. Lebih jauh, selama pertemuan ASEAN 2012 di Phnom Penh, Tiongkok berusaha memberikan tekanan pada Kamboja agar tidak ikut campur dalam masalah Laut Cina Selatan. Code of Conduct (COC) di Laut Cina Selatan dan buruknya penerapan DOC menjadi tantangan bagi Indonesia, pemimpin kawasan dalam upaya mencegah kekerasan. Negosiasi tentang COC sangat didorong oleh pemerintah Indonesia dalam upaya meredakan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan. Karena kegagalan DOC yang ditandatangani tahun 2002 di Laut Cina Selatan, negosiasi tentang COC masih berlangsung. Sikap tegas dan terus-menerus China dalam penerapan sembilan garis putus-putus sebagai klaimnya di Laut Cina Selatan, yang tidak didasarkan pada perjanjian UNCLOS 1982 dan melanggar poin pertama DOC, merupakan indikasi kegagalan DOC untuk dilaksanakan. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia berharap bahwa COC akan memungkinkan pengaturan semua kegiatan yang terkait dengan konflik. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menerapkan pedoman DOC.

 KESIMPULAN 

Upaya Indonesia dalam kolektivitas ASEAN sebagai cara untuk mengurangi ketegangan dan mencapai stabilitas regional, hal itu menunjukkan bahwa pemerintah memenuhi posisi kepemimpinannya. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah bahwa Indonesia dapat diandalkan sebagai negara yang dapat membimbing ASEAN dengan baik di masa mendatang. Hal ini juga akan meningkatkan reputasi Indonesia secara global dan menjadikannya sebagai negara paling kuat dalam urusan Asia Tenggara. Organisasi ARF perlu digunakan secara efektif untuk mencapai hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun