Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Imam Kami Tidak Zakat Fitrah

23 Mei 2020   20:00 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:04 3910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lantai keramik masjid kampung dingin tanpa sajadah. Kebetulan kemarin hujan. Dan seperti yang umum diketahui, masjid selalu lebih sepi jika hujan. Hanya saja kali ini bukan itu sebabnya. Masjid sudah sepi sejak awal ramadhan.

Saban hari, masjid kampung cuma diisi beberapa orang yang itu-itu saja. Pak Darmo si imam. Azmi, marbot yang masih muda itu. Dan beberapa tetangga masjid yang merasa eman jika tidak sholat di sana: Mas Nur dan istrinya, ditambah Alif, anak Pak Arip yang masih kecil. Di antara mereka semua, Pak Darmo paling tua.

Azmi, akrab dipanggil "Mik" oleh orang kampung atau "Mas Mik" oleh Alif. Sebagai marbot, dia menumpang tidur di sebuah bilik belakang masjid. Lumayan untuk menekan biaya hidup sebagai mahasiswa rantau. Ia hanya harus siap membersihkan masjid dan jadi muazin rutin. Bukan perkara sulit buatnya yang jebolan pesantren. Tapi tahun ini, Azmi tak pulang ke kampungnya. Selain bekal tak cukup, kemungkinan besar dia akan disuruh kembali oleh polisi jika nekat mudik. Ia pun pilih puasa dan kelak lebaran di kampung sini saja.

Masjid kampung setidaknya masih buka untuk sholat fardhu dan sholat tarawih tiap malam. Walau tidak pakai pengeras suara satupun. Pengajian dan buka bersama bubar. TPA sore libur.Jamaah yang tak seberapa itu juga disuruh bawa sajadah sendiri dari rumah masing-masing. Pak Darmo pun lama tak kedengaran bilang, "sawu sufufakum..." sebelum sholat karena lantai diberi sekat. Tiap orang harus setidaknya berjarak 1 meter dari satu sama lain. Ramadhan di tengah pandemi memang tak mudah.

Keadaan yang sama pun melekat di sebagian besar masjid-masjid di sekujur negeri. Juga pada tiap gereja. Pada tiap pure. Pada kelenteng dan vihara. Dan pada tiap sudut-sudut tempat di kota dan dan di desa yang biasanya ramai oleh manusia. Seketika sunyi. Seketika semua orang meringkuk di rumah, dihantui oleh virus corona dan ketakutan yang dibawanya.

Setidaknya begitulah yang ada dua bulan belakangan ini. Sampai lebaran mendekat.

Tiba-tiba ramai kembali lahir. Kerumunan mulai terisi. Orang-orang nekat datang ke pusat-pusat perbelanjaan. Beli makanan, beli baju. Beli ini, beli itu. Pembatasan mengendur. Macam tidak ada satu kekuatanpun di dunia ini yang mampu menahan keinginan orang-orang untuk belanja menyambut lebaran. Meski mereka pun sadar, bisa saja bukan hanya dengan uang mereka harus membayar. Tapi pun nyawa.

Itu menyulut kegeraman semua orang. Baik dari para tenaga medis yang sudah berjuang mati-matian, para aparat, dan lapisan-lapisan masyarakat lain yang merasa pembatasan berjalan tidak adil. "Kalau orang-orang nekat itu bisa berbelanja seenak jidat, kenapa kita tidak sekalian keluar saja?" begitu pikir mereka.

Pikiran yang sama menghinggapi benak Azmi.

            ***

"Orang-orang sudah mulai berjubel di mal-mal, Pak. Mereka dengan bebas belanja baju lebaran sambil rekreasi," tuturnya pada Pak Darmo di teras belakang masjid malam itu. Mereka berdua sedang leyeh-leyeh usai sholat tarawih. Jamaahnya hanya dia, Pak Darmo, dan Mas Nur, tanpa istrinya. "Masa kita mau kalah dari mal?"

Pak Darmo menyanggah. "Ndak gitu, Mik. Kamu mbok jangan tergesa-gesa gitu," beliau menenangkan.

"Lah kan udah jelas to, Pak? Kemarin bandara juga sudah padat. Toko-toko sudah rame lagi. Tapi kenapa masjid tetap enggak boleh rame? Padahal kan masjid tempat ibadah. Urusannya antara manusia dengan Allah langsung! Harusnya ini tidak diintervensi," tegas Azmi. Ludahnya muncrat ke lantai-lantai. Ia memang cemburu dengan keadaan yang tidak adil ini. Seperti orang-orang lain yang harus berdiam di rumah, ia juga jenuh. Sedangkan yaa masjid ini rumahnya.

"Ya biarin saja mereka rame. Sejak kapan kiblat masjid pindah ke bandara dan mal, Mik?" tanya Pak Darmo lembut. Mulutnya bergantian antara bicara dan nyeruput kopi, melenguh lega, "Kalau mereka rame, ya sudah. Terserah mereka. Kalau nanti kena batunya, ya itu salah mereka. Mau kamu masjid kita jadi kena batunya juga?"

"Enggak gitu, Pak... Kenapa mal-mal, bandara-bandara, toko-toko itu boleh buka, boleh digeruduk orang banyak, tapi malah masjid enggak boleh? Kan enggak adil." Azmi masih membantah.

"Yaa semisal masjid kita beneran mau dibuka. Beneran mau dibiarkan berjubel, penuh sama orang-orang yang sudah kebelet sholat di masjid itu. Terus bedanya sama mal-mal itu apa, Mik?

"Kita ini disuruh mengutamakan buat menghindari mudhorot tinimbang mengambil manfaat. Betul, manfaatnya masjid jadi rame lagi. Warga bisa sembahyang jamaah lagi. Tapi mudhorotnya itu loo, Mik... Bisa-bisa kita malah jadi mengundang Izrail."

Azmi termenung. Ia memikirkan apa yang dikatakan Pak Darmo itu dalam-dalam. Ia pun sadar kalau masjid tidak pernah ikut lomba popularitas dengan tempat manapun. Masjid yaa masjid. Azmi menatap kosong pada kebon yang gelap di belakang masjid, berpikir.

"Ah, tapi kata orang-orang virus corona ini ga bahaya-bahaya banget kok, Pak. Pemberitaannya aja yang dilebih-lebihkan. Cuman kayak flu palingan. Toh, pasien yang dinyatakan sembuh juga banyak. Melebihi yang meninggal. Kan berarti aman itu?" kelitnya. Ia masih tak bisa menerima masjid harus tetap tutup padahal warga seenaknya belanja ke mal dan toko-toko.

Pak Darmo menarik napas panjang.

"Ya sudah," Pak Darmo menyerah pada anak muda itu, "Terserah kamu saja mau dibuka atau mau diapakan masjid ini. Kamu marbotnya. Aku cuman imam, tapi bukan jajaran pengurus." Beliau mengambil sebatang rokok dari saku celana. Membarakannya dengan korek. Mulutnya kebal-kebul.

            ***

Setidaknya begitu percakapan terakhir yang diingat Azmi dengan Pak Darmo.

Setelah keputusan Azmi itu, masjid dibuka lagi. Jamaah mulai terisi. Kali ini bukan Cuma dari warga kampung. Tapi juga kampung sebelah. Bahkan para pengendara yang lewat di jalanan raya. Sholat tarawih kembali ramai. Bahkan kebiasaan tadarusan usai tarawih pun bisa kembali muncul. Masjid kembali hidup. Setidaknya barang sesaat.

Pak Darmo batuk-batuk. Napasnya pun sering tersengal dan pendek-pendek. Awalnya dia masih memaksa diri buat jadi imam. Tapi seiring waktu, dia sendiri tak kuat buat jalan dari rumahnya ke masjid. Batuknya makin menjadi tiap hari. Beliau mengurung diri di kamar. Melarang istri, bahkan anaknya, buat masuk dan mendekat.

Sampai hari itu, Pak Darmo dijemput tim medis di rumahnya. Protokol pasien terinfeksi. Orang-orang dengan hazmat, masker berlapis, dan kaca mata membawanya ke dalam ambulans. Azmi memperhatikan itu semua dari jauh. Matanya berkaca-kaca tak percaya. Hasil tes Pak Darmo sudah keluar. Beliau positif.

Usai penjemputan Pak Darmo yang disaksikan warga kampung itu, masjid kampung langsung ditutup lagi. Bahkan dikarantina. Semua jamaah dites. Mulai dari Azmi, Mas Nur beserta istrinya, bahkan Alif yang masih di bawah 10 tahun itu. Juga beberapa warga lain yang menambahkan diri jadi jamaah setelah masjid dibuka kembali. Untung mereka semua negatif. Carrier virus bukan di antara mereka. Azmi bernapas lega. Namun disusul dengan kekhawatiran yang lain mengingat Pak Darmo yang masih dirawat di rumah sakit. Masjid dan rumah Pak Darmo disemprot disinfektan.

            ***

Hari terakhir puasa, Azmi sibuk mencatat zakat fitrah warga kampung. Siapa saja yang sudah menyumbang, untuk berapa jiwa, dan siapa saja yang bakal dapat jatah zakat fitrah. Ia dibantu beberapa remaja masjid yang masih sedikit ragu buat dekat-dekat dengannya. Menurutnya ini sepadan. Ini semua pilihannya, keputusannya.

Seorang lelaki muda mendatangi masjid membawa empat karung beras 2,5 kg. Itu Muhtar. Anak Pak Darmo yang sudah menikah. Dia dan istrinya tinggal menumpang di rumah bapaknya itu. Langkahnya berat. Ditaruhnya karung-karung itu di teras belakang masjid. Azmi menyambutnya.

"Zakat fitrah Bu Darmo sekeluarga, Mik," katanya pelan.

Azmi mengiyakan. Dia menghitung. "Ini baru 10 kg lho, Mas Muh. Baru mencakup 3 orang," tukasnya. Keluarga Pak Darmo yang berisi 4 jiwa itu harusnya menyumbang kurang lebih 12 kg beras.

"Bapak ndak zakat, Mik."

"Kenapa?" Azmi bertanya bingung.

Muhtar tak menjawab.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un," sebut Azmi terkejut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun