Pak Darmo menyanggah. "Ndak gitu, Mik. Kamu mbok jangan tergesa-gesa gitu," beliau menenangkan.
"Lah kan udah jelas to, Pak? Kemarin bandara juga sudah padat. Toko-toko sudah rame lagi. Tapi kenapa masjid tetap enggak boleh rame? Padahal kan masjid tempat ibadah. Urusannya antara manusia dengan Allah langsung! Harusnya ini tidak diintervensi," tegas Azmi. Ludahnya muncrat ke lantai-lantai. Ia memang cemburu dengan keadaan yang tidak adil ini. Seperti orang-orang lain yang harus berdiam di rumah, ia juga jenuh. Sedangkan yaa masjid ini rumahnya.
"Ya biarin saja mereka rame. Sejak kapan kiblat masjid pindah ke bandara dan mal, Mik?" tanya Pak Darmo lembut. Mulutnya bergantian antara bicara dan nyeruput kopi, melenguh lega, "Kalau mereka rame, ya sudah. Terserah mereka. Kalau nanti kena batunya, ya itu salah mereka. Mau kamu masjid kita jadi kena batunya juga?"
"Enggak gitu, Pak... Kenapa mal-mal, bandara-bandara, toko-toko itu boleh buka, boleh digeruduk orang banyak, tapi malah masjid enggak boleh? Kan enggak adil." Azmi masih membantah.
"Yaa semisal masjid kita beneran mau dibuka. Beneran mau dibiarkan berjubel, penuh sama orang-orang yang sudah kebelet sholat di masjid itu. Terus bedanya sama mal-mal itu apa, Mik?
"Kita ini disuruh mengutamakan buat menghindari mudhorot tinimbang mengambil manfaat. Betul, manfaatnya masjid jadi rame lagi. Warga bisa sembahyang jamaah lagi. Tapi mudhorotnya itu loo, Mik... Bisa-bisa kita malah jadi mengundang Izrail."
Azmi termenung. Ia memikirkan apa yang dikatakan Pak Darmo itu dalam-dalam. Ia pun sadar kalau masjid tidak pernah ikut lomba popularitas dengan tempat manapun. Masjid yaa masjid. Azmi menatap kosong pada kebon yang gelap di belakang masjid, berpikir.
"Ah, tapi kata orang-orang virus corona ini ga bahaya-bahaya banget kok, Pak. Pemberitaannya aja yang dilebih-lebihkan. Cuman kayak flu palingan. Toh, pasien yang dinyatakan sembuh juga banyak. Melebihi yang meninggal. Kan berarti aman itu?" kelitnya. Ia masih tak bisa menerima masjid harus tetap tutup padahal warga seenaknya belanja ke mal dan toko-toko.
Pak Darmo menarik napas panjang.
"Ya sudah," Pak Darmo menyerah pada anak muda itu, "Terserah kamu saja mau dibuka atau mau diapakan masjid ini. Kamu marbotnya. Aku cuman imam, tapi bukan jajaran pengurus." Beliau mengambil sebatang rokok dari saku celana. Membarakannya dengan korek. Mulutnya kebal-kebul.
      ***