Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persekusi pada Muslim Delhi dan Kecantikan Fasisme

1 Maret 2020   20:46 Diperbarui: 1 Maret 2020   20:50 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

To those who can hear me, I say -do not despair.
The misery that is now upon us is but the passing of greed -the bitterness of men who fear the way of human progress.

Kata-kata di atas adalah kutipan dari pidato Charlie Chaplin dalam The Great Dictator (1940). Sebuah film yang memparodikan kisah Hitler meniti karier. Walau mendaku sebagai film humor, scene pidato Chaplin berhasil me-ngampleng dan mengajak para penonton berkontemplasi akan arti dari perang, ambisi, dan kemanusiaan.

Terlebih khusus pada kutipan itu, adalah tentang ketakutan manusia akan perubahan dan kemajuan peradaban. Sehingga para orang takut itu membungkam dan menekan orang lain demi mengeliminasi apa yang dikira sebagai sumber ketakutannya. Ini, kurang lebih, memberikan ikhtisar dari sebab lahirnya fasisme.

Delhi di Antara Darah dan Api

            Jaffrabad, Delhi.

            23 Februari 2020.

Segerombolan massa menyuarakan protes tentang amandemen UU Kewarganegaraan (Citizenship Amandment Act atau CAA). CAA dianggap diskriminatif terhadap umat muslim. Baik yang sudah jadi warga negara India maupun belum.

Seorang pemuka partai BJP (Bharatiya Janata Party, Partai Rakyat India), Kapil Mishra, memerintahkan polisi Delhi untuk membubarkan massa itu. Atau dia dan massanya sendiri yang akan menanganinya. Maka pada malam hari, dimulailah tragedi kekerasan dan pemberangusan tersebut. Sejauh ini, tuduhan pelaku kerusuhan adalah massa nasionalis sayap kanan India. Lebih khususnya, massa hasutan Kapil Mishra.

            Melansir dari Al Jazeera, korban tewas dari North East Delhi Riots 2020 ini telah mencapai 42 orang dengan 200 orang luka-luka (tembakan, sabetan, memar, dan bacokan). Menobatkan dirinya sebagai peristiwa kerusuhan paling berdarah India sejak dua dekade terakhir: pembantaian kaum Sikh tahun 1984.

Sebelum lebih lanjut, biar ku jawab dulu pertanyaanmu biar gausah riweuh nyari tentang CAA di google dan kenapa CAA diprotes. Dados ngeten:

CAA menerakan bahwa para pengungsi dari negara-negara tetangga India, yaitu Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh bisa mendapat kewarganegaraan India. Terdengar bagus sejauh ini. 

Namun yang menjadi masalah adalah persyaratannya. Pengungsi yang diterima sebagai warga negara India hanyalah yang beragama  Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen. Islam, sebagai agama yang mendominasi dari 3 negara tersebut, tidak disebutkan. Ini tentu adalah diskriminasi dalam memperoleh kewarganegaraan.

Lebih lagi, warga negara India yang sudah sah mungkin akan diminta untuk membuktikan kewarganegaraannya. Sehubungan dengan Islam yang tidak dimasukkan sebagai salah satu agama yang diterima, kemungkinan umat islam yang sudah sah berwarga negara India sejak awal dapat kehilangan kewarganegaraannya.

Ini ngeri. Bayangkan di suatu pagi, kamu sedang bersantai di teras rumahmu. Istrimu sedang masak di dapur dan anakmu sedang nonton Spongebob di TV. Tiba-tiba, datang seorang petugas dari kelurahan, menanyakan agamamu sekeluarga. Dan setelah kamu menjawab, tiba-tiba si petugas kelurahan sudah memberitahu kalau kewarganegaraanmu telah gugur. Kamu tidak diakui negara. Hidup sebagai buangan di negaramu sendiri.

Maka tak kaget jika amandemen itu memicu pertentangan dari berbagai pihak. Dan yang paling santer adalah dari umat muslim.


Yang perlu digarisbawahi dan diingat di sini adalah konteks. Banyak media dalam negeri --terutama yang lantang mengusung nama media islam-- mereduksi konflik ini hanya sebatas "hindu vs muslim" saja. Padahal, ada konteks politik yang lebih mendasari. Lalu, baru akhirnya merambat jadi isu-isu sektarian (etnis, agama).

Takutnya, ini akan membawa fitnah dan ontran-ontran yang nggak enak dengan umat hindu di Indonesia. Lebih parah lagi, jika sampai ada persekusi. Kita banter sekali mengutuki penganiayaan di negeri sana, tapi kita sendiri juga tak kalah biadab di sini. Rodok, rodok, rodok, ora banget, Lur.

Akar Fasisme yang Sebenarnya UwU

Karena tak bisa dipungkiri, persekusi terhadap umat muslim di Delhi tak lepas dari kesenjangan antar umat. Dikotomi antara mayoritas dan minoritas yang sarat dengan historisitas etnis dan kepercayaan. (jari saya juga kecetit kok pas ngetik ini)

Nah, di India, persentase umat muslim adalah sekitar 15% dari total populasi. Jumlah kasarnya adalah sekitar 200 juta orang. Pertumbuhannya yang pesat sangat mungkin mencemaskan umat hindu India.

 "Kalau suatu hari, India menjadi negara muslim, bagaimana?"

 "Kalau India akan ikut-ikutan menjadi seperti para tetangga, Timur Tengah, pripun?"

 "Kalau hindu yang menjadi identitas bangsa India digerus sampai habis, bakal jadi apa?"

Ketakutan akan kemungkinan di masa depan. Ketakutan akan dinamika dan perubahan zaman. Inilah yang menjadi bahan pokok sekaligus bumbu lahirnya fasisme.

Dan bukan cuma umat hindu di India pada umat muslim. Namun juga umat muslim di Indonesia pada para non-muslim. Warga asli Amerika Serikat pada para pengungsi dan warga negara pindahan. Ultranasionalis Jerman abad 20 pada kaum yahudi. Dan kalau mau contoh yang lebih baheula dan sesuai sejarah islam: Suku Quraisy di Mekkah pada era kelahiran islam.

Intinya, umat mayoritas pun bisa --dan sangat bisa-- terganggu dengan minoritas. Bukan karena ulah oknum-oknumnya. Melainkan ketakutan dan kecemasan mereka sendiri dalam menerima perubahan dan putaran peradaban.

Ketakutan adalah satu faktor dari lahirnya fasisme. Faktor yang lain: betapa fasisme memenuhi ego suatu kaum terhadap supremasi dan keindahan dirinya sendiri. (Pun, ubun-ubun saya kemebul nyusun kalimat ini)

Yuval Noah Harari, sejarawan Israel dan penulis buku filsafat Homo Deus, mengangkat topik ini dalam suatu seminarnya yang berjudul Why Fascism is So Tempting. Ia membabarkan aspek menggoda nan indah dari fasisme.

Yaitu ia menjelma sebagai cermin yang menghapus semua kecacatan kita. Meyakinkan bahwa kita adalah yang terhebat, teragung, dan terindah.

Fenomena ini mengambil bukti nyata pada Jerman abad 20. Kala itu, ras Aryan dianggap sebagai kelas tertinggi dari seluruh manusia. Akhirnya, dibuatlah kelas-kelas sosial. Yang berujung pada pembantaian etnis Yahudi yang dianggap paling hina.

Ia kembali membuktikan diri pada kerusuhan Delhi kemarin. Hindu, dipandang sebagai hal paling indah di India. Identitas dan daya tarik paling cantik. Akhirnya, semua hal di luar itu, dianggap lebih rendah. Lebih parahnya, ditekan dan dianiaya. Entah itu Sikh pada 1984 atau muslim pada hari-hari belakang. Semua yang rasanya mulai mengancam kecantikan itu, ke-maha-an itu, harus segera diberi pelajaran.

Namun, kemudian saya kembali Menengok negeri sendiri dan berevaluasi. Bukankah kita juga tak jauh beda? Umat muslim Indonesia, pun acapkali menampilkan topeng fasisnya.

Lahir dan hidup selama 16 tahun lebih 7 bulan sebagai pemeluk agama Islam di Indonesia, membuat saya menyadari aspek-aspek fasis yang kadang tidak kita sadari. Mulai dari persekusi pada saudara-saudara nonmuslim, menyebarnya radikalisme agama secara terang-terangan, sampai penanaman pola pikir supremasi sebagai mayoritas.

Mari kita akui bersama, bukan sangat jarang beredar isu dan paham bahwa Indonesia akan dijadikan negara Islam. Bukan jarang kita mendengar khutbah-khutbah yang melentik kebencian pada umat yang beda kepercayaan. Bukan jarang juga, beberapa dari kita menjadi pelaku persekusi pada umat dan kaum minoritas.

Saya mengenyam pendidikan SD dan SMP di sebuah sekolah islam. Lingkungan eksklusif membuat orang bisa mengatakan apapun yang mereka mau. Bukan jarang --ya allah, sangat bukan jarang-- saya mendengar khutbah provokasi dan monopoli kebenaran.

Bahkan ketika saya duduk di bangku kelas 2 SMA sekarang pun. Di sebuah SMA negeri, yang kiblatnya harusnya adalah negara. Organisasi keislaman masih didominasi --secara terpaksa-- oleh satu aliran. Calon dan terpilih ketua organisasi sekolah tidak boleh selain laki-laki.

Itu baru di sekolah. Lingkup yang masih kecil dibandingkan perkuliahan, kantor kerja, atau lingkungan masyarakat dan berbangsa-bernegara (meminjam istilah PPKn). Masih banyak contoh-contoh ke-fasis-an kita --atau paling kecil, bibit fasisme-- sebagai mayoritas di Indonesia.

Takut saya, kita sangat lantang menuduh fasisme pada umat dan bangsa lain. Menghakimi perbuatan umat dan bangsa lain layaknya di pengadilan. Sambil tidak menyadari, bahwa palu yang kita gunakan untuk menghakimi, juga belepotan dengan darah dan air mata korban ke-fasis-an kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun