Film G30S/PKI bakalan diputar lagi. Yang tua nostalgia, yang muda tak sabaran. Saya sendiri belum pernah mengalami nobar film rilisan tahun 1984 silam itu. Saya baru lahir tahun 2003, dan film itu sudah dilarang tayang pada tahun 1998. Berkah atau tulah, Entahlah.
Pasalnya, Gatot Nurmantyo selaku Panglima TNI telah menginstruksikan ke jajarannya untuk menggelar nobar film garapan Arifin Noer itu. Bukan hanya di kalangan TNI saja, masyarakat di berbagai daerah sampai sekolah-sekolah juga berencana menyelenggarakan kegiatan nonton bareng. Tua, muda, pejabat, camat, tukang bubur, tukang haji, sampai tukang haji naik bubur akan dapat menikmati film itu di layar tancep desa atau di saluran TV yang "memang beda".
Di sekolah, film ini diputar untuk mengedukasi siswa tentang sejarah. Diharapkan siswa dapat mengerti bahwa PKI itu kejam dan komunisme itu bengis. Bahwa, kita harus selalu waspada dengan kebangkitan PKI dan bisa ikut bela negara dengan mencantumkan #GanyangPKI di caption Instragram atau status Facebook. Kegiatan itu tentu saja bagus. Sekolah bisa menyediakan sarana hiburan baru yang sekaligus mengedukasi. Bayangkan jika murid menonton sendiri film itu di Youtube. Beruntung jika dia punya jaringan Wi-Fi. Kalau tidak, barang tentu sudah tandas-kuras itu kuota. Kalau cuma video 5-10 menitan mungkin tak apa. Lha Wong, ini film durasinya 4 setengah jam lho.
Pakdhe Jokowi juga telah mengeluarkan wacana unuk membuat film yang baru. Film yang ada sekarang dipandang terlalu lawas dan tak cocok bagi generasi millennial serta generasi Z yang serba gaulz. Diharapkan, film yang baru dapat menarik minat para generasi muda.
Akurasi Film
Tapi, sebenarnya masih relevankah film itu untuk kembali diputar di masa sekarang? Bukankah film itu berhenti ditayangkan bukan tanpa alasan? Yunus Yosfiah, selaku Menteri Penerangan tahun 98' telah mengeluarkan pendapat bahwa film ini berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden. Jadi, masih relevankah jika film ini digunakan untuk mendidik murid tentang sejarah, sedangkan film ini memelintir sejarah itu sendiri? Bukankah itu malah menjadi ajang doktrinasi daripada sebuah mekanisme pembelajaran?
Misalnya, tentang penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Gerwani dimana para jenderal disilet, dicongkel matanya dan bahkan (katanya) dipotong kemaluannya. Hal itu dibantah oleh penelitian Ben Anderson, seorang pakar sejarah dan indonesianis, dalam dokumen berjudul, "How Did the Generals Died?" yang berdasarkan pada Visum et Repertum (jurnal autopsi) yang dibuat oleh RSPAD Gatot Subroto. Beliau menuliskan bahwa tidak ada pencongkelan mata, pemotongan kelamin, dan sebagainya. Dan bahwa para jenderal mati karena tembakan. Selengkapnya bisa dibaca dibawah:
Nowhere in these reports is there any unmistakable sign of torture, and any trace of razors and penknives is absent. Not only are almost all the non gunshot wounds described as the result of heavy, dull traumas, but their physical distribution---ankles, shins, wrists, thighs, temples, and so on---seem generally 113 random. It is particularly striking that the usual targets of torturers, i.e.* the testicles, the anus, the eyes, the fingernails, the ears, and the tongue, are not mentioned. It can thus be said with reasonable certainty that six of the victims died by gunfire (the case of Harjono, who died in his own home, remains puzzling), and that if their bodies suffered other violence, it was the result of clubbing with the butts of the guns that fired the fatal bullets, or of the damage likely to occur from a 36-foot---i.e., roughly three-story--- fall down a stone-lined well.
Pernyataan di atas kurang lebih berbunyi bahwa keenam jenderal menemui ajalnya melalui tembakan senjata. Dalam kasus Harjono yang ditembak di rumahnya sendiri, masih belum diketahui. Dan bahwa jika tubuh mereka mengalami luka-luka yang lain, itu disebabkan oleh benturan dari pantat senjata atau dikarenakan benturan saat jatuh ke dalam Lubang Buaya.
Selain itu, juga masih ada banyak penelitian lain yang dilakukan Ben Anderson terhadap peristiwa berdarah tersebut. Kiranya anda juga bisa membacanya sendiri dalam bukunya yang berjudul, "Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal". Yang bahkan ia dengan berani menyatakan pendapatnya bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa Gestapu, bahwa peristiwa ini disebabkan oleh konflik di dalam badan-tubuh TNI AD sendiri.Â