Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Filosofi Gayung Kamar Mandi

15 Oktober 2016   21:07 Diperbarui: 15 Oktober 2016   22:34 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thadinunangan.blogspot.com

         Pertama-tama, maafkanlah saya atas apa yang akan saya katakan. Karena memang, apa yang akan saya bahas tidak akan jauh-jauh dari kamar mandi. Ya, tempat hina kita membuang limbah organik sehari-hari lah yang memberi saya ide untuk menulis artikel ini. Mungkin saya bisa dikaitkan dengan Archimedes, ilmuwan dari Yunani yang menemukan ide nya ( percaya atau tidak ) di kamar mandi. Eureka !!                                                                                                                                                                                                    

           Filosofi ini saya rumuskan saat saya sedang menikmati waktu saya di kamar mandi. Tak lain saat saya sedang bosan, dan mulai bermain-main dengan gayung dan se-ember air di samping saya. Saya perhatikan, gayung merah muda itu mengambang di atas air. Lalu saat saya coba rembeskan air sedikit-demi sedikit, gayung tersebut akan mulai tenggelam. Dan saat sudah tenggelam, gayung itu akan menyembul lagi ke permukaan.

           Saya coba langsung menenggelamkan gayung itu, menekannya ke dalam ember air dengan posisi menghadap ke bawah. Saya tekan gayung itu ke dalam air, secara horizontal. Alhasil, terdapat gelembung-gelembung yang menyembul ke permukaan, menghasilkan suara khas gelembung air...bluthuk-bluthuk. 

          Saya coba asosiasikan seluruh komponen dalam peristiwa itu. Saat pikiran saya mulai menggila, mencoba memikirkan seluruh kejadian, dan saya berhasil merumuskannya. Eureka!

 

Bukankah ember itu adalah suatu negara yang dipimpin oleh sebuah rezim, kekuatan sentral adiguna yang dapat berkehendak semaunya, dengan alasan otoritas ? Dan bukankah gayung merah muda itu adalah mereka, para seniman, kritikus, dan penulis yang mengkritik ketidakadilan dalam negara tersebut ? Dan bukankah air yang menggenang, yang menenggelamkan gayung itu adalah berupa tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, dan berbagai bentuk pembungkaman yang didalangi oleh rezim adikuasa ?

             Jika gayung itu dirembesi air sedikit demi sedikit, akan berujung pada tenggelamnya gayung tersebut, dengan sedikit perlawanan, sedikit penolalakan. Sama seperti apa yang berlangsung di berbagai belahan dunia. Dimana kaum kritikus, diredam suaranya dengan sogokan dana dan ancaman pidana. Kritikus yang belum siap mental pasti akanlah tunduk, tak berani berkutat, Sami'na wa Atha'na...

            Jika gayung tersebut ditenggelamkan secara langsung, pasti akanlah lebih berat, karena tekanan udara yang mengisi ruang kosong dalam gayung akan tertahan. Dan jika tetap ditenggelamkan, gayung tersebut akan mengeluarkan tekanan udara nya di dalam air yang berupa gelembung-gelembung yang menyembul ke permukaan. Sama seperti mereka, kaum kritikus yang seenaknya langsung dibungkam. Pembungkaman suara yang sudah amnesia akan kemanusiaan, yang akan menghasilkan berbagai bentuk protes dan perlawanan, baik dari kritikus itu sendiri, kaum kritikus lainnya, maupun kalangan internasional.

            Dan bukankah setiap gayung yang ditenggelamkan pastinya akan kembali menyembul ke permukaan, walaupun cuma sedikit daripadanya. Walaupun hanya gagangya maupun pinggirannya yang akan kembali menyentuh permukaan, pada akhirnya gayung tersebut akan tetap menyembul. Sama halnya dengan mereka, kritikus dari berbagai latar belakang yang suaranya dibungkam dan diredam. Yang pastinya akan kembali ke permukaan arena, walaupun hanya tinggal gagasan yang diwariskan, suara yang menggema di jagat raya, atau cuma kenangan-kenangan pahit dan berbagai misteri atas pembungkamannya.
           

            Itulah yang ber-sliweran dalam pikiran saya, sewaktu menikmati waktu di salah satu kamar mandi SMP saya.

Sekian, Terima Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun