Mohon tunggu...
Fandy Pratomo
Fandy Pratomo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mountaineer | English Department Student

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cahaya Hangatku

18 Februari 2013   20:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:05 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti layaknya kebiasan sang surya menyeruak di perbukitan dengan sinarnya yg menghangatkan nan menenangkan, itulah kau. Tak pernah terbayangkan walau sepintas untuk melepas hangat hadirmu. Akankah kau terus menantiku saat ku terbangun dari sulaman mimpiku? akankah kita selalu beriringan? nampaknya tidak. Surga pun tahu bahwa kita berlainan, seperti minyak dan air.

Hanya setitik memori yang masih tersimpan dan tak akan pernah memudar yang selalu menjadi teman malamku, meskipun luka dan pahitnya masih sangat terasa. Membusuk. Menghujam deras. Unstoppable. Bahkan mengalahkan segala euforia kesenangan yang pernah ada.

Sesaat ketika ku ayunkan kedua kaki untuk melangkah atau mungkin merentangkan sayapku untuk kembali terbang, aku kembali terhempas. Entahlah, semua ini telah mebekukan inderaku. Tak terlihat. Nampaknya aku sudah terjatuh terlalu dalam dilubang itu. Untuk kesekian kalinya. Membuatku lupa rasanya hangat yang pernah kurasakan bersamamu. Hilang? Atau hanya Bersembunyi? Ingin sekali kuhindari kumpulan bayangan itu, tapi.. Inisial nama itu yang selalu menarikku kembali ke lubang yang sama.

Aku tak pernah mengerti, mengapa hal ini begitu menggangguku. Padahal awalnya kukira aku merasa baik-baik saja. Begitu hina, aku telah terbodohi oleh hal gila kecil yang bernama "Cinta". Sekali, mungkin itu memalukan untukmu. Tetapi dua kali, itulah yg membuatku sangat hina. Hingga akhirnya aku terlena oleh mimpi. Ya, mimpi.

Tak apalah, bodohi saja aku untuk sepanjang hidupku, aku akan senang seperti layaknya orang yang tersakiti. Dan kuharap itu hanya dalam mimpi. Karena disaat kau bermimpi, bangun dari mimpi itu adalah hal yang paling sulit. Bernyanyilah bersama senandung kicauan burung di pagi hari. Karena pagi adalah mimpi yang tak perbah selesai, sedangkan kau tetap tak tergapai. Sampai kapanpun. Membatu.

Bagiku lebih indah merasakan hidup seperti rumput. Sederhana. Tanpa cinta. Namun tetap bersemangat menempuh hari yang membuatnya tegar akan apapun. Tak seperti diriku, lemah tak terarah. Bagai arang yang nyaris patah. Dan lagi, dia tak pernah merasa aku ada, yang pernah bersamanya merajut kisah. Menyunggi tampah cerita masa lalu yang akhirnya begitu saja tumpah dengan mudah. Berdarah.

I have lost my life, begitu seketika kau coba untuk mematikan rasaku. Berjibaku mencoba berada dipucuk dimana sinar hangat yang pernah menyelimutiku dahulu kala, meskipun hidupku sudah mati rasa. Ingatan itu masih ada. Dan demi rasa yang entah apa, yang masih bertahan selama ini, ku masih merindukanmu, wahai cahaya hangatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun