Mengutip dari Shao (2015), kota satelit adalah kota yang dibangun di luar kota besar atau kota metropolitan. Tujuan dari dibangunnya kota satelit adalah untuk meringankan beban populasi di kota besar. Oleh karena itu, pembangunan kota satelit berorientasi pada sector pemukiman dan fasilitas publik. Orientasi ini berfungsi untuk menarik penduduk agar mau tinggal di kota satelit. Karena berfungsi sebagai pemukiman penduduk, maka akan terjadi perjalanan commute dari kota satelit ke kota pusat dan sebaliknya.
Salah satu contoh kota satelit adalah Kota Depok. Kota Depok merupakan kota satelit dari DKI Jakarta. Mengutip dari Santosa dan Noviyanti (2020), pembangunan Kota Depok sebagai kota satelit dari DKI Jakarta tidak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 1970-an. Pertumbuhan ekonomi ini menyebabkan tingkat urbanisasi penduduk ke DKI Jakarta meningkat. Akibatnya, kepadatan penduduk meningkat dan muncul daerah padat yang kumuh (slum). Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah DKI Jakarta membangun banyak pemukiman, diantaranya di Kelapa Gading, Pondok Kopi, dan Tanah Abang. Namun, pembangunan pemukiman tersebut tidak menyelesaikan permasalahan kepadatan penduduk. Solusi lain yang ditempuh oleh pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat adalah dengan membangun kota baru untuk meringankan beban kepadatan penduduk di DKI Jakarta.
Salah satu kota baru yang dibangun adalah Kota Depok. Kota Depok dipilih karena Kota Depok tidak memiliki sumber daya alam dan posisinya strategis. Pada awalnya, Kota Depok dirancang hanya untuk menjadi tempat pemukiman bagi penduduk Jakarta dan pusat kerja tetap berada di Jakarta. Oleh karena itu, pembangunan Kota Depok sebagai kota satelit dari DKI Jakarta dimulai dengan dibangunnya Perumahan Nasional (Perumnas) pada tahun 1973 (Santosa & Noviyanti, 2020).
Terdapat empat Perumnas yang dibangun di Kota Depok, yaitu Perumnas Depok I di Beji, Perumnas Depok II di Depok Timur, Perumnas Depok II Tengah di Sukmajaya, dan Perumnas Depok III di Depok Timur. Selain dibangun perumahan, juga dibangun fasilitas umum seperti sekolah, tempat ibadah, dan transportasi umum. Harga yang ditawarkan Perumnas pun beragam tergantung golongan dan besaran gaji pemiliknya karena memang diperuntukkan bagi PNS dan pekerja profesi lain yang bekerja di Jakarta dan belum memiliki hunian.
Namun, dalam perkembangannya, Kota Depok semakin tidak bisa menampung banyaknya penduduk yang mendiami Kota Depok. Hal ini disebabkan oleh jumlah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat sehingga tingkat kepadatan penduduk juga ikut meningkat. Meningkatnya kepadatan penduduk berdampak pada ketersediaan lahan pemukiman di Kota Depok. Mengutip dari Budiarto,et al (2018), diperkirakan bahwa di Kota Depok sudah tidak dapat menampung perumahan pada tahun 2026.
Oleh karena itu, pengadaan perumahan bukan lagi solusi tepat untuk menyelesaikan perkara hunian masyarakat. Terlebih lagi ketika Pemerintah Kota (Pemkot) Depok menyerahkan urusan pembangunan perumahan pada pihak swasta yang konsekuensinya adalah meningkatnya harga rumah. Selain karena jumlah lahan yang terbatas, meningkatnya harga rumah juga disebabkan oleh peraturan yang ditetapkan oleh Pemkot Depok. Mengacu pada Perda Kota Depok no. 13 tahun 2013, pihak pengembang perumahan diwajibkan untuk memiliki lahan minimal seluas 120 M2 dengan 40% luas lahan untuk ruang terbuka hijau. Kewajiban minimal kepemilikan lahan ini menyebabkan pengembang tidak bisa menawarkan perumahan dengan harga murah yang mudah dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah (Anhar, 2017).
Solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan pembangunan hunian vertikal. Mengutip dari Murbaintoro, et al (2009), hunian vertikal dapat menyediakan hunian lebih banyak dengan penggunaan lahan yang lebih kecil ketimbang hunian tapak. Selain itu, hunian vertikal dapat mengurangi laju pengurangan ruang terbuka hijau. Hal ini menjadi penting dalam prinsip pembangunan berkelanjutan.
Selain mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan, pembangunan hunian vertikal juga harus mempertimbangkan minat masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal. Masyarakat masih menganggap bahwa tinggal di hunian tapak lebih baik ketimbang tinggal di hunian vertikal. Walaupun begitu, masyarakat masih akan mempertimbangkan tinggal di hunian vertikal jika kondisi hunian vertikal tidak kumuh, dekat dengan tempat kerja, memiliki akses ke transportasi umum dan tol, dan berada di kawasan yang tenang (Murbaintoro, et al, 2009).
Karena pembangunan hunian vertikal merupakan solusi yang paling memungkinkan, maka Pemkot Depok menuangkan fokusnya untuk mengembangkan hunian vertikal di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2012-2032. Menurut RTRW, pembangunan hunian vertikal akan difokuskan di Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang terdiri dari semua kelurahan di Kecamatan Beji; Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, dan Kelurahan Pancoran Mas di Kecamatan Pancoran Mas; Kelurahan Mekarjaya dan Kelurahan Tirtajaya di Kecamatan Sukmajaya. Kelurahan-kelurahan ini dipilih karena tingkat kepadatannya yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kebutuhan unit rumah di Kecamatan Pancoran Mas dan Sukmajaya pada tahun 2018 yang total berjumlah 54.777 unit rumah dan diproyeksikan meningkat menjadi 84.089 di tahun 2026 (Budiarto, et al, 2018).
Sayangnya, Pemkot Depok lebih memilih mengembangkan hunian vertikal dalam bentuk apartemen yang dibangun oleh pihak swasta ketimbang mensubsidi pembangunan Rusunawa. Hal ini dapat dilihat dari tren selama kepemimpinan Walikota Idris Abdul Shomad yang mengizinkan berdirinya banyak apartemen. Namun, kebanyakan apartemen ini berdiri di sepanjang Jalan Margonda saja (Putri, 2018). Walaupun secara teknis masih sesuai dengan RTRW karena Jalan Margonda masih berada di Kecamatan Beji, akan tetapi lokasi pembangunan apartemen yang terlalu berpusat di Jalan Margonda menyebabkan Jalan Margonda tampak semakin semrawut. Hal ini menunjukan ketidakjelasan arah pembangunan Jalan Margonda antara menjadi pusat perekonomian atau pusat hunian masyarakat.
Permasalahan lain dari pembangunan hunian vertikal yang diserahkan ke pihak swasta adalah harga yang mahal. Hal ini bisa dilihat dari harga apartemen, terutama apartemen berkonsep transit oriented development (TOD), yang mahal. Apartemen TOD adalah apartemen yang dibangun di sekitar fasilitas transportasi umum seperti stasiun dan terminal. Dengan begitu, apartemen TOD menjual kemudahan akses ke transportasi umum. Contoh apartemen TOD di Kota Depok berada di sekitar Stasiun Pondok Cina, Depok Baru, dan Citayam. Selain terintegrasi dengan stasiun, ada beberapa apartemen TOD yang terintegrasi dengan terminal seperti di Terminal Jatijajar. Harga yang dipatok untuk satu unit apartemen TOD berkisar dari 500 juta sampai 1 milyar rupiah. Artinya, jika mengacu pada aturan Bank Indonesia bahwa cicilan maksimum untuk hunian adalah 30% dari penghasilan bulanan, maka diperlukan minimal gaji bulanan sekitar 16 juta rupiah untuk membeli satu unit apartemen TOD (Bernie, 2020). Hal ini sangat disayangkan karena, sebagai kota satelit, penduduk Kota Depok harus commute ke Jakarta untuk bekerja. Oleh karenanya akses yang mudah ke transportasi umum menjadi sangat penting. Namun, akses yang mudah ini justru dikapitalisasi oleh pengembang apartemen.