Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keterwakilan Kepentingan Buruh di Parlemen

1 Mei 2021   13:56 Diperbarui: 1 Mei 2021   14:11 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada era orde baru, gerakan buruh sangat direpresi oleh rezim yang berkuasa. Represi tersebut dilakukan melalui beragam peraturan menteri seperti keputusan menteri no. 342 tahun 1986 yang membolehkan pengusaha untuk memberikan sanksi kepada buruh yang melakukan protes dan mogok kerja.

Bahkan, aparat keamanan diizinkan untuk ikut campur dalam penyelesaian urusan buruh jika terjadi pemogokan massal. Buruh pun tidak memiliki kebebasan untuk mendirikan serikat pekerja. Hal ini disebabkan oleh orde baru yang menerapkan single-union system (Habibi, 2013).

Ketika orde baru runtuh, nasib pergerakan kaum buruh pun ikut berubah. Pada era reformasi, Indonesia meratifikasi konvensi ILO no. 87 yang menjamin kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 

Dampak dari diratifikasinya konvensi ILO ini adalah munculnya banyak serikat pekerja. Tidak hanya serikat pekerja, partai buruh pun banyak didirikan (Triyono, 2016). Lantas, apakah kebebasan berserikat dan berorganisasi yang dimiliki kaum buruh berdampak dalam terwakilkannya kepentingan buruh di parlemen?

Di DPR periode 2019-2024, hanya ada satu anggota DPR yang berasal dari golongan buruh. Obon Tabroni merupakan anggota DPR yang berasal dari golongan buruh, lebih tepatnya dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) (Lubabah, 2019). Penyebab minimnya anggota DPR yang berasal dari golongan buruh adalah tidak adanya partai yang secara khusus mewakili golongan buruh.

Pada awal era reformasi, terdapat banyak partai buruh, antara lain adalah Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPI), Partai Buruh Nasional (PBN), dan Partai Solidaritas Pekerja (PSP). Sayangnya, tidak ada satu pun dari partai buruh tersebut yang berhasil mendapatkan kursi di parlemen (Hadiz, 2002). Penyebab dari gagalnya partai buruh di Indonesia adalah terfragmentasinya gerakan buruh (Triyono, 2016).

Fragmentasi gerakan buruh dapat dilihat dari banyaknya serikat pekerja yang terbentuk pasca era orde baru. Ada beberapa faktor yang menyebabkan fragmentasi gerakan buruh, antara lain adalah dukungan LSM dan pembentukan serikat pekerja berdasarkan sektor industri. 

Banyaknya LSM yang berfokus pada perjuangan hak-hak kaum buruh menginisiasi pembentukan serikat pekerja pasca era orde baru. Karena banyaknya LSM, maka banyak pula serikat pekerja yang terbentuk. 

Selain itu, serikat pekerja yang dibentuk cenderung berdasarkan sektor industri dimana buruh tersebut bekerja. Contohnya adalah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) yang berasal dari sektor jasa dan Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (FOKUBA) yang berasal dari sektor keuangan (Trnquist, 2007). Tidak adanya partai buruh, minimnya anggota parlemen dari golongan buruh dan terfragmentasinya gerakan buruh akan berpengaruh terhadap keterwakilan kepentingan buruh di parlemen.

Salah satu contoh kasusnya adalah penolakan buruh terhadap PP no. 78 tahun 2015. PP ini mengatur tentang pengupahan. PP ini dianggap merugikan buruh dan sangat menguntungkan pengusaha karena dalam penentuan upah hanya menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. PP ini menghapus peran serikat pekerja dalam perundingan penetapan upah (Hardianto, 2018).

Dalam upaya menolak PP no. 78 tahun 2015, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan lobi dan negosiasi dengan DPR. Tujuan dari negosiasi ini adalah supaya DPR membentuk Pansus atau Panja untuk mengkaji dan mengevaluasi PP no. 78 tahun 2015. Tim Panja pun dibentuk oleh DPR dan menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk mencabut PP no. 78 tahun 2015 (Hardianto, 2018).

Diakomodasinya kepentingan buruh oleh DPR ini tidak terlepas dari posisi KSPI dalam perpolitikan nasional kala itu. Pada Pemilu 2014, KSPI mendukung kubu Prabowo (Hardianto, 2018). Walaupun Joko Widodo berhasil memenangkan Pilpres, tapi kursi parlemen dikuasai oleh koalisi partai pendukung Prabowo dengan perolehan sebesar 63,03% (Efriza, 2018).

Hal sebaliknya justru terjadi kala penolakan kaum buruh terhadap UU cipta kerja. Dalam kasus UU cipta kerja, buruh juga merasa dirugikan sehingga DPR membentuk tim kerja bersama kaum buruh melalui KSPI (Antara, 2020). Walaupun sudah dibentuk tim kerja bersama dengan KSPI, tuntutan kaum buruh tetap tidak diakomodasi. 

UU cipta kerja tetap disahkan tanpa ada perubahan yang diusulkan oleh KSPI. Namun, tidak semua serikat pekerja sejalan dengan KSPI. Ada beberapa serikat pekerja yang menyatakan bahwa UU cipta kerja tidak merugikan kaum buruh. 

Serikat pekerja itu antara lain adalah Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Gabungan Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Indonesia, Koalisi Nasional Serikat Pekerja Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Mandiri (CNN Indonesia, 2020).

Walaupun taktik yang diterapkan oleh KSPI sama, yaitu melobi parlemen, hasil yang terjadi justru berbeda dengan ketika penyelesaian masalah PP no. 78 tahun 2015. 

Hal ini diakibatkan lemahnya kekuatan oposisi di parlemen. Tidak seperti periode pertama Jokowi yang koalisi pemerintahan hanya menguasai 36,97% perolehan kursi parlemen, pada periode keduanya koalisi Jokowi berhasil mengamankan lebih dari 60% perolehan kursi parlemen. Lemahnya oposisi ini menyebabkan pemerintah bersama-sama dengan DPR dapat dengan cepat mengesahkan UU cipta kerja (Hakim, 2020).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepentingan buruh sulit terakomodasi dalam parlemen. Faktor utama dari sulitnya kepentingan buruh untuk terakomodasi adalah ketiadaan partai buruh. Tanpa adanya partai buruh, buruh tidak dapat membawa langsung kepentingannya ke parlemen. 

Cara yang bisa kaum buruh lakukan adalah melakukan lobi dengan anggota parlemen. Lobi ini pun tidak menjamin bahwa kepentingan buruh akan diperjuangkan di parlemen. Hal ini tercermin dari advokasi isu UU cipta kerja yang gagal dibawa dalam parlemen karena lemahnya kekuatan oposisi. 

Hal ini diperparah dengan terfragmentasinya gerakan buruh. Fragmentasi gerakan buruh akan menyebabkan sulitnya advokasi karena adanya perbedaan kepentingan di dalam tubuh geraka buruh itu sendiri.

Referensi

Antara. (2020, Agustus 11). Pembahasan Omnibus Law, DPR dan KSPI Sepakat Bentuk Tim Kerja. Diambil kembali dari Tempo.com: https://nasional.tempo.co/read/1374807/pembahasan-omnibus-law-dpr-dan-kspi-sepakat-bentuk-tim-kerja/full&view=ok

CNN Indonesia. (2020, Oktober 12). KSPI soal Omnibus Law: Kami Merasa Dikhianati. Diambil kembali dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201012165113-20-557519/kspi-soal-omnibus-law-kami-merasa-dikhianati

Efriza. (2018). Koalisi dan Pengelolaan Koalisi Pada Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Jurnal Populis, 733-750.

Habibi, M. (2013). Gerakan Buruh Pasca Soeharto: Politik Jalanan di Tengah Himpitan Pasar Kerja Fleksibel. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 200-216.

Hadiz, V. R. (2002). The Indonesian Labour Movement: Resurgent or Contrained? Southeast Asian Affairs, 130-142.

Hakim, R. N. (2020, Oktober 21). Setahun Jokowi-Ma'ruf: Lemahnya Oposisi dan Tumbuhnya Suara Jalanan. Diambil kembali dari Kompas: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/21/17455911/setahun-jokowi-maruf-lemahnya-oposisi-dan-tumbuhnya-suara-jalanan?page=all

Hardiyanto, Wahyu Putra. Buruh dan Kekuatan Politik Perjuangan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam Menuntut Pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Skripsi Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Lubabah, R. G. (2019, Oktober 1). Melenggang ke Senayan, Aktivis Buruh Ini Janji Jadi Corong Rakyat ke DPR. Diambil kembali dari Merdeka.com: https://www.merdeka.com/politik/melenggang-ke-senayan-aktivis-buruh-ini-janji-jadi-corong-rakyat-ke-dpr.html

Trnquist, O. (2007). Labour and Democracy? Reflections on the Indonesian Impasse. Journal of Contemporary Asia, 377-399.

Triyono. (2016). Analisis Prospek Politik Buruh Pasca Pemilu 2014. Jurnal Review Politik, 119-139.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun