Mohon tunggu...
Fandi Ahmad Abdillah
Fandi Ahmad Abdillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang yang kurang akan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Engkaulah Penolongku

8 April 2011   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiba-tiba pintu kamar kontrakan Edi terdobrak dengan sangat kerasnya dan terdengar tembakan yang membuat kami berempat, yaitu aku, Edi, Doni, dan Joni angkat tangan karena tertangkap basah lagi menggunakan sabu. Satu jam kemudian kami sudah berada di kantor polisi untuk diinvestigasi. Menurut investigasi akulah orang yang akan menghuni sel tahanan paling lama bila dibandingkan dengan ketiga orang rekanku karena aku tetap melakukan hal yang sama setelah tertangkap dua kali sebelum ini.
Tiga hari kemudian. Datang seorang yang sangat kubenci mengunjungiku. “Berengsek, mengapa kau kesini?” tanyaku.
“Apa aku tidak boleh kesini?” jawabnya.
“Kau boleh kesini tapi aku sangat muak melihat mukamu karena kau kesini bukan untuk membebaskanku tapi hanya untuk mengejek dan menghinaku.”
“Kamu jangan salah paham dahulu, kedatanganku kemari hanya untuk menyampaikan bahwa besok akan datang seseorang yang ingin membantumu.”
“Aku tidak butuh bantuan darimu dan kawanmu itu karena aku bukanlah orang yang pantas untuk bersama kalian.”
“Terserah padamu, ambil makanan yang kubawa ini.” Katanya sambil memberikan sekantong plastik yang berisi buah dan roti. Setelah itu dia pergi dengan menggandeng seorang wanita yang duduk di ruang tunggu. Namun aku digandeng oleh polisi penjaga rumah tahanan.
“Ni ada makanan.”
“Tadi siapa, Nal?” tanya Agus.
“Orang yang sok perhatian aja.” jawabku.
“Emang kenapa dia?” tanya Soni.
“Nggak perlu dipikirinlah.” Jawabku dengan menyalakan sebatang rokok dari Beni.
“Ditanya kok malah jawab kayak gitu?” timpal Agus.
“Biarin sih, orang kayak gitu mau-maunya kau urusin.” Jawabku sambil membuka lengan baju untuk nunjukin tato tengkorak dan otot yang besar di lengan. Agus pun diam karena merasa kalah kalau harus adu otot denganku.
Keesokan harinya. Ada seorang wanita berjilbab mengunjungiku. Entah apa yang ingin dia lakukan. Aku tidak mengenalnya sehingga aku bertanya,“Sepertinya aku belum pernah mengenalmu dan apa maksud kedatanganmu kesini?”
“Namaku Emma temanmu waktu di Lamongan, aku datang kesini untuk membantumu karena dapat info dari kakakmu.” Jawab wanita berwajah anggun itu.
“Kakak yang mana? Apa yang kau maksud orang yang datang kesini kemaren?”
“Iya, kak Heru.”
“Dan kau mau membantu orang bejat kayak aku ini? Orang yang biasa mabuk dan menelan ekstasi ingin kamu bantu.” tanyaku sambil tertawa akan kemustahilan ini.
“Iya.” jawabnya dengan mantap ditambah dengan pandangan mata yang sangat meyakinkan.
“Kalau gitu mana barangnya?” mintaku dengan tegas.
“Barang apa?”
“Barang yang bisa bikin aku happy and fun.”
Tanpa disangka Emma langsung membalikkan badannya dengan cepat dan pergi dengan lari.
Tidak lama setelah aku tiba di dalam kamar berdinding jeruji besi, aku ditanya oleh seorang tetangga kamar.
“Nal, kamu apain cewek tadi?” tanya Baim.
“Emang kenapa dengan dia?” jawabku.
“Dia pergi sambil menangis.”
“Biarin aja sih! Dia juga bukan siapa-siapaku.”
“Nal, kamu jangan langsung nyimpulin kayak gitu. Denger dulu kata orang yang jago dalam merayu cewek sampai-sampai masuk penjara karena bermasalah dengan cewek.” timpal Soni.
“Sudahlah nggak perlu ngomongin itu lagi.” sanggahku.
Haripun menjadi malam, siang, malam, dan siang lagi. Sampai seminggu ini cewek itu tidak datang lagi untuk menemuiku begitu juga Heru.
Keesokan harinya.
Datang seorang wanita bernama Shanti yang mengaku sebagai isteri Heru untuk menyampaikan selembar surat. Isinya sebagai berikut:
Assalammu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Maafkan aku bila seminggu yang lalu langsung pergi begitu saja. Aku hanya ingin memberitahukan padamu kalau aku benar-benar akan membantumu. Aku sudah lama mengetahui segalanya dari kakakmu, namun akau baru bisa menemui dan mendatangimu sekarang karena dari dua tahun yang lalu aku harus menyelesaikan pendidikanku pondok pesantren.
Sehari setelah menemuimu aku pergi ke rumah pak Zaenal ayahmu yang telah lama tidak menemuimu sampai sekarang. Kujelaskan semua hal yang bisa kusampaikan, namun hasilnya tetap sama untuk tidak mengakui kamu sebagai anaknya. Besoknya aku datang lagi karena ditelpon sama ibumu. Dia menceritakan segala hal yang sebenarnya terjadi. Mulai dari pindahnya kalian sekeluarga ke jakarta dikarenakan pak Zaenal dipindah tugaskan. Tidak lama setelah itu ibumu dapat tawaran kerja sehingga mereka jarang berada di rumah. Dan bila di rumah mereka sibuk dengan pekerjaan mereka. Selain itu ibumu juga menceritakan tentang pergaulanmu sehingga terjadi hal yang seperti ini.
Terima kasih bila kamu mau membacanya. Selain itu ibumu juga minta maaf akan hal yang terjadi tersebut. Sekian dariku.
Wassalammu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Temanmu, Emma Auliyah

Setelah kubaca surat itu kurbek-robek, namun setelah malam datang kuteringat akan surat itu sehingga aku merasa sangat bersalah telah membuat Emma kecewa. Malam datang tidaklah sendiri namun bersama dengan teman-temannya, yaitu nyamuk-nyamuk penghisap darah, tikus selokan, kecoak, dan serangga lainnya membuatku sulit untuk tidur karena suaranya yang berisik. Besok paginya aku berusaha untuk meminta bulpen dan kertas pada penjaga untuk membalas surat kiriman Emma. Surat ini berisi permintaan maaf padanya atas tindakanku sebelumnya, alasanku memakai narkotik sehingga masuk ke penjara.
Dua hari kemudian Heru mendatangiku dan kutitipkan surat balasanku pada Heru.
Dua minggu kemudian.
“Assalammu’alaikum.” ucapan salam dari Emma.
“Wa’alaikumsalam. Emma kesini untuk keperluan apa?”
“Aku ingin menawarkan suatu bantuan untuk mengurangi masa tahananmu.”
“Apa imbalan yang kamu inginkan untuk tawaranmu ini?”
“Tidak ada imbalan untukku, namun ada suatu syarat untukmu.”
“Apa syaratnya?”
“Maafkan orang tuamu.”
“Maaf, untuk yang itu aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Mereka telah membiarkanku sehingga aku cari pelarian pada barang yang kalian anggap haram itu.”
“Dan kamu tertangkap.”
“Benar, setelah itu mereka tidak mau melihatku lagi dan tidak mengakui aku sebagai anaknya.”
“Itu terjadi sampai sekarang?”
“Iya.”
“Namun bila mereka datang kesini untuk meminta maaf. Apa pintu maafmu masih terbuka untuk mereka.”
“Mungkin.”
“Terima kasih, insya Allah besok aku akan datang dengan mengajak mereka.”
“Makasih juga.”
“Ini kubawain makanan untukmu.” sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi tiga bungkus nasi.
“Makasih ya!” teriakku sambil melambaikan tangan kepadanya yang telah keluar dari ruang kunjungan dan kudapatkan sepotong surat di dalam kantong plastik yang diberikannya.
Sesampai di kamar tahanan kuberikan kantong plastik tersebut pada teman-teman sekamarku, namun suratnya sudah kupisahkan untuk segera kubaca.
Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Ronal, gimana masakanku tadi? Enak nggak? Maaf setelah tiga minggu ini aku tidak mendatangimu, karena berusaha untuk merayu orang tuamu untuk bisa memaafkan kesalahanmu. Dan tadi malam aku dapat meyakinkan mereka untuk bisa memaafkanmu. Selain itu aku juga sudah melobi temanku untuk bisa menerimamu bekerja ditempatnya setelah masa tahananmu habis dan dia menyetujuinya. Itu semua kulakukan karena aku sangat yakin padamu. Tenang saja suratmu sudah kubaca kok.
Sekian dulu. Terima kasih.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
Sahabatmu, Emma Auliyah

Setelah membaca surat dari Emma aku mencari makanan yang telah diberikannya padaku tadi, namun sudah habis tak bersisa.
Malam ini terasa indah meskipun segerombolan nyamuk dan kecoak telah menyerbu kamarku karena aku merasa sangat bahagia setelah bertemu dengan Emma dan setelah membaca surat darinya yang membuatku selalu membayangkan pemilik wajah yang begitu indah telah mengikat hatiku dengan sangat erat. Sehingga aku bertanya apakah ini cinta? Dan kebahagiaan akan keyakinannya padaku sehingga dia bisa membantuku untuk segera bebas dari tempat ini.
Keesokan harinya.
“Ronal, sekarang kamu sudah bebas. Cepat kemasin barang-barangmu. Keluargamu sudah menunggumu di depan.” kata seorang petugas kepadaku.
“Bener ni pak?” tanyaku nggak percaya.
“Iya.” jawabnya dengan tegas.
Setelah itu aku berpamitan pada teman-temanku dan menuju ruang tunggu untuk bertemu dengan orang ynag telah membebaskanku. Di ruang tunggu aku bertemu dengan Heru dan isterinya Shanti berikut pak Zaenal ayahku juga ibuku, namun tidak kutemukan Emma di sini.
“Ronal, aku telah menebus masa tahananmu.” penjelasan pak Zaenal.
“Terima kasih.” jawabku dengan nada tegas.
“Bolehkah aku meminta maaf.”
“Tidak.” jawabku sambil menahan lanjutannya beberapa detik, “Tidaklah pantas bagi seorang anak untuk tidak memaafkan orang tuanya dan aku sangat menyayangi kalian.” sambil kupeluk keduanya secara bergantian dengan menahan tetesan air mata yang terpaksa jatuh karena bahagia.
“Begitu pula kami.” kata ibuku.
“Emma kemana ya?” tanyaku.
“Kemaren setelah ke rumah Emma kecelakaan dan sekarang dia berada di rumah sakit.” penjelasan Shanti.
“Gimana kondisinya?” tanyaku.
“Keadaannya sangat kritis.” kata Heru.
Tak lama kemudian aku pergi menuju rumah sakit dan menemukannya dalam keadaan koma.
Lima haripun berlalu, aku selalu menemani Emma yang telah berhasil mengubah sikap orang tuaku sampai dia siuman. Ternyata penantianku tidak sia-sia, Emma siuman dan bertanya “Apakah kau mencintaiku?”
“Iya, dengan sangat.” jawabku.
“Terima kasih.”
Selang beberapa menit kemudian Emma tergeletak dan tidur untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun