Mohon tunggu...
irfan wahyudiismail
irfan wahyudiismail Mohon Tunggu... -

malam sampaikan kabar baik mu untuk nya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemponan darah Enau

24 Juni 2012   14:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:35 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa malam di Putusibau

Beberapa hari yang lalu saya pulang lewat pemakaman,di Pemakaman itulah si_Jula dikubur,sang Seniman tidur tak bermimpi lagi. Jula memang bertangan tinta,Ia senang menulis sampai-sampai di pohon kayupun ia menulis.Suatu hari Jula dilaporkan ke Kepolisian oleh Mat Selentet kerna puisi Jula membunuh tiga batang pohon karet milik Mat selentet akibatnya tujuh hari tujuh malam Jula dalam kerangkeng,bukan main murka Mat Selentet sehingga seperti itulah kejadiannya.

Setahuku Jula tidak berontak ketika Polisi mengikat tangannya dengan besi sebab mulutnyapun diciptakan untuk berpuisi,dia berkata "Kemponan Darah Enau.."

Diputaran rode manekah sang puisi hidup?
Kalau bukan disisi-sisi lelap sampai ke nak mati
Di tempat itulah pujangge mencoret kanvas
Bercakap-cakap bertemu bias
Atau dalam jeruji besi yang begitu keras

Satu bait sempat aku catat,sayang benar-benar sayang aku tak sempat menanyakan apa daripada maksud "kemponan Darah Enau"???

Mat Selentet memang Petani yang berhasil,anak buahnya berpuluh-puluh orang jumlahnya,Mat Selentet kesanakemari berbekal laptop dan Kamera Sonny, berteman akrab pula dengan beberapa orang LSM dan Petinggi-Petinggi kota,Eman dengan Bujang Langkau paling tak suka dengan tebiat Mat Selentet konon Mat selentet senang meludah kalau lewat di depan orang,Sombong.

Pernah sebelum Jula tamat aku kerumahnya ngobrol sambil minum kopi ia sempat berkata mengajariku cara menikmati kopi yaitu “sebelum meminumnye engkau haruslah terlebih dahulu menghirup aromanye”.
Malam itu langit banyak sekali bintang dan awan tak mampu membendung sinar bulan,tampaklah mega seperti karangan tangan,ia mengambil secarik kertas dicoret hapus kalimat sayang dan aku hanya diam..

(malam yang penuh murke)

Dari merambah dimuke bumi
Bertemu aku peluk biduri
Apatah lagi halimun datang menaung bumi
Ia kupeluk tak henti

Kini terjage derite
Entah tak tau berape lame
Malampon menjadi murke
Terkoyaklah rase di dade
Aku murke !

Baru sampai di situ ia menulis.Maaf, cicakpun BAB jatuh disisi kertas sebelah kanan dekat sekali dengan tangannya, menerawanglah mata Jula ke atas,marah mencari cicak,berputar kepalanya,aku melongok dan memikirkan apakah yang terjadi? apakah Jula mencari hurup yang melayang-layang untuk di jadikannya kalimat? yang ku ketahui : kotoran cicak di coletnya di jadikannya pengganti titik tanda seru pada dua kata “Aku murke !”.

_Ha ha ha ha..." kuat-kuat,"maaf"kataku.
Aku katakan pada Jula,’Wak ,..aku nak balek lok tapi aku nak nanya dengan Ewak pasal cinte aku dengan satu perempuan yang menurutku tak seperti bidadari tapi die udah lama tinggal di ati’ Ceritekanlah lanjotnya.. Cam ni Wak...Tiba-tiba saja Jula ngomong sambil berdiri dan berjalan menuju tangga rumah,aku terhenti. “Cinte adalah seperti seekor angse yang menjage telurnye dengan bulu-bulu lebatnye..cinte angse terhadap telurye membuat die tau berape jumlah telur yang dieramnye..”.Bayangkan binatang bise beritong!.. teriak Mat Selentet yang tiba- tiba lewat depan rumah.
Jula : Eh kau ngape ikot campor?!
Mat Selentet : Suka ati akulah,aku yang punye mulot,puiiihhh,...!
Jula : Kau...kau..kau..!!!!!!!!!

Bulan masih terang dan gugusan bintang masih mengirim sinarnya ke bumi,angin nan sepoi-sepoi sejuk jadi panas karna beberapa kali pukulan Jula mendarat cepat ke wajah Mat Selentet, terakhir Mae geri “gedebukkk!! Tepat di perut Mat Selentet.Ia tak sempat mengelak namun Ia juga tak mau di pukul terus,saat Ia mencoba tuk membalas, aku spontan saja mencoba untuk melerai,celaka benar- benar celaka..! Jula mengendap, serangan Cudang Cukek Mat selentet yang cepat itu mendarat dengan tidak hormat diwajahku sebab posisiku tepat di belakang Jula,aku rebah dengan teriakan 6,5 oktap,
”adoooooooooohhhh...!!!”,mataku kabur tapi masih sempat nonton apa yang terjadi,Jula di kibau dengan laptop,tepat di kepala bagian belakang mendarat pula kamera sonny. keras,’braaaaaakkkkkk!!’, sonny berderai Jula membuktikan Teori Grafitasi bumi Ia terombang ambing dan jatuh pelan- pelan kemudian tiarap. Eman dan Bujang langkau beserta jajaran petinggi keamanan kampong datang mengamankan situasi,aku berdiri membersihkan debu di pakaianku sembari menjawab pertanyaan Eman dengan jari telunjuk,menujuk arah lari Mat Selentet.
Waktu itu,Mat Selentet masuk penjara dan Jula mangkat di Hospital sedangkan aku sudah lama tak melewati makam itu sebenarnya aku sudah jera tapi apa boleh buat.... Kenangan itu teringat lagi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun