Mohon tunggu...
Fanani
Fanani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa

Versatile

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Golput Salah Siapa?

8 April 2019   17:10 Diperbarui: 8 April 2019   17:20 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: twitter.com/SayaGolput2019

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap periode pemilu di Indonesia selalu meningkatkan angka golongan putih (golput), baik dari era orde lama, orde baru sampai pasca reformasi, puncaknya terjadi pada tahun 2014 tingkat 'golongan putih' menyentuh angka 24,8% dari 75,2% partisipasi. Bahkan angka golput pada tahun tersebut melampaui partai yang meraup suara terbanyak, yakni PDIP yang kurang lebih memiliki 20% suara.

Lalu bagaimana dengan pemilu tahun ini? Tahun 2019 adalah tahun dengan pesta demokrasi yang paling ramai dan paling panas, selain keterlibatan media yang semakin tahun semakin vital dalam kehidupan manusia, pemilu kali ini juga melibatkan anak-anak muda yang tidak lagi apatis terhadap negara. Terbukti dengan munculnya Partai Solidaritas Indonesia pasca pemilu tahun 2014, yang mayoritas kadernya berisi anak-anak muda, dan kali ini ikut meramaikan pesta rakyat.

Tapi apakah orang-orang yang tidak ikut serta pada pemilu kali ini dianggap tidak peduli pada negara? Jelas belum tentu.

Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang lebih memilih golput. Yang pertama adalah karena ketidak tahuannya terhadap calon yang diusungkan, orang seperti ini biasanya mayoritas awam pada politik, mereka hanya akan memilih calon mana yang mampuh membayar tinggi suara mereka, jika tidak ada yang membayar, mereka tidak akan memilih, jikalau memilih pun pastinya akan acak, tergantung raut muka calon mana yang menarik untuk dipilih. Seperti di pelosok-pelosok desa, hal seperti ini tidak lagi tabu, sebab orang-orang seperti ini jauh lebih butuh biaya hidup daripada sekedar omong kosong janji kampanye.

Lalu, alasan yang kedua mengapa seseorang lebih memilih golput ialah sebab telah jenuh dengan permainan politik, tidak seperti alasan yang pertama, orang-orang yang golput dengan alasan ini bukan karena awam pada politik, mereka paham politik tapi tidak ingin tau siapapun yang akan dicalonkan, bukan sebab tidak peduli, melainkan telah jenuh dengan janji kampanye yang setiap pemilu selalu berakhir pada ingkar. Pada kondisi seperti ini jelas ada traumatis dikalangan masyarakat terkait politik atau bahkan telah alergi pada politik sendiri.

Alasan terakhir seseorang menjadi golput adalah tidak percaya pada calon yang ada, orang-orang yang memilih golput dengan alasan ini bukan tidak tau dan bukan pula tidak mencari tau calon yang diusungkan, mereka tau dan mereka paham bahwa calon yang tersedia tidak ada yang lebih baik jika terpilih menjadi wakil rakyat nanti. Dalam alasan ini, seseorang telah melakukan penelitian terhadap calon yang ada, membaca latar belakang sang calon, meliputi rekam jejak selama hidupnya. Bedanya dengan alasan yang kedua, orang-orang yang golput ini justru mengikuti perkembangan kampanye dangan baik.

Memang benar tidak ada pemimpin yang sempurna, akan tetapi setiap calon pemimpin yang dipilih jelas berdasarkan apa yang dirasa telah mewakili aspirasinya. Masyarakat yang tinggal di daerah minim infrastuktur jelas memimpikan pemimpin yang bisa memajukan daerahnya semisal dengan pembangunan akses jalan atau bahkan menyetarakan harga pangan disetiap daerah yang berbeda. Juga masyarakat yang tidak terkena imbas pada pemerintahan sebelumnya jelas mengidamkan pembaruan dari seorang pemimpin yang mungkin saja bisa memperbaiki kualitas pendidikan atau perekonomian negara yang boleh jadi ini menjadi aspirasi masyarakat yang lain.

Setiap calon pemimpin punya keunggulan juga dengan kekurangannya, masyarakat yang merasa aspirasinya terwakilkan oleh calon pemimpin idamannya kadangkala abai pada tiap kekurangannya, dan lebih jeli melihat kekurangan calon lawan. Dari sini jelas terlihat bahwa siapapun yang kelak akan terpilih menjadi pemimpin negara sangat dibutuhkan masyarakat yang berada ditengah, masyarakat yang merasa aspirasinya tidak diwakilkan oleh semua calon pemimpin, masyarakat yang seperti ini bukan masyarakat pembangkang, bukan pula pemberontak, melainkan sebagai pengingat agar pemimpin yang memerintah kelak tidak melupakan hak masyarakat yang aspirasinya tidak diwakilkan, mau bagaimanapun semua masyarakat mempunyai hak berpendapat dan sejahtera.

Menyalahkan orang golput sebagai yang tidak peduli pada negara jelas keliru, apalagi mengatakan bahwa golput adalah benalu seperti yang dikatakan Romo Magnis beberapa waktu lalu. Munculnya golongan putih seharusnya ditanggapi para calon agar menarik simpati mereka, bukan malah menganggap para golputers sebagai pembangkang.

Orang -orang golongan putih ada akibat biasnya pemilu dan semunya janji tiap kampanye, mereka bukan menentang, bukan pula kurang nasionalisme. Lagipula tidak memilih juga suatu pilihan bukan?

 

"Pemimpin di esok hari

(adakah yang cukup mampuh?)

Mewakilkan suara kami

(Jelas tak ada yang tahu !)

Ada yang cukup peduli

Umat yang dikelabui

Melupakan masa lalu

(Namun kami belum tentu)"

Feast - Kami Belum Tentu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun