Mohon tunggu...
Fana Insanu
Fana Insanu Mohon Tunggu... -

Fana Mustika Insanu adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Saat ini, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edents FEB Undip.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perekonomian Indonesia dalam Belenggu "Capital Intensive"

19 April 2018   20:40 Diperbarui: 21 April 2018   01:26 2436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bonus demografi, yang alih-alih menjadi senjata bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, justru dapat menjadi momok mencekam yang dapat mengancam perekonomian Indonesia apabila capital intensive merajalela menutupi metode labour intensive. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Solow (1956) bahwa salah satu yang menjadi kunci dari pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja. 

Artinya, apabila ledakan jumlah penduduk produktif Indonesia tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai, substitusi tenaga kerja terhadap mesin yang terus menerus, dan pola pikir produsen yang tidak memperhatikan nilai-nilai kekeluargaan, maka implikasinya adalah melonjaknya tingkat pengangguran. Sederhananya, ledakan penduduk produktif yang dialami oleh Indonesia akan menjelma menjadi ledakan pengangguran. Ledakan pengangguran, tentu akan menjelma menjadi efek negasi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada kondisi inilah kita melihat peran labour intensive bekerja. Program padat karya dan industri berbasis labour intensive berperan untuk 'mewadahi' tenaga kerja yang berlebihan di Indonesia. Salah satu contoh upaya pemerintah adalah alokasi dana desa, transfer daerah, atau kredit usaha rakyat (KUR) yang diharapkan dapat 'menjantankan' UMKM atau industri-industri padat karya dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Atas perspektif dari kondisi ini, kita dapat melihat bahwa labour intensive berpotensi menjadi senjata ampuh bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan menjelma menjadi obat ampuh atas permasalahan ledakan pengangguran.

Ilmu Ekonomi adalah Ilmu Memilih

Berdasarkan apa yang penulis paparkan, kita semua mengetahui bahwa akan selalu terjadi trade-off di setiap kegiatan ekonomi, tak terkecuali dalam hal penentuan input dan faktor produksi. Merujuk kepada hakikat fundamental bahwa ilmu ekonomi tercipta karena adanya scarcity (kelangkaan) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sumberdaya yang terbatas dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, manusia memang seakan diciptakan untuk dapat memilih. Memilih agar alokasi sumberdaya dapat memenuhi kebutuhan manusia secara efisien. Begitupula dengan konsep efisiensi pareto optimal yang mengatakan bahwa manusia tidak dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesejahteraan manusia lain. Hal ini, dapat disintesiskan bahwa kita sebagai manusia harus dapat memilih mana yang paling bijaksana untuk diambil.

Terkait dengan capital atau labour intensive, mengenai 'mana yang lebih baik' atau 'mana yang harus dikorbankan' juga menjadi perkara yang melibatkan hakikat ilmu ekonomi sebagai ilmu memilih. Tentunya, untuk menentukan mana yang lebih baik dan mana yang dikorbankan harus melalui berbagai pengamatan kompleks yang meliputi aspek sosial, hukum, dan aspek ekonomi itu sendiri. Sederhananya, harus memahami kondisi lingkungan dan masyarakat untuk dapat menilai mana yang lebih baik dan mana yang lebih fit untuk diterapkan di Indonesia.

Sudah menjadi hukum alam bahwa modernisasi akan selalu terjadi di setiap sendi kehidupan manusia. Namun, hal yang menjadi perhatian disini adalah kita semua manusia, bukan mesin. Jika manusia berpikir seperti mesin, maka sulit mengatakan bahwa alih teknologi tersebut tidak menguntungkan bagi manusia. Seperti yang penulis paparkan diatas, bahwa alih teknologi tersebut memberikan 'efek surgawi' yang luar biasa pada produsen, membuat segalanya menjadi lebih menguntungkan. Tetapi disinilah aspek sosial bekerja, bahwa manusia dianugerahkan rasa empati dan hati nurani. 

Sederhananya, apabila kita berpikir sebagai manusia dengan hati nurani, bukan sebagai manusia yang mengutamakan profit, pasti mengatakan bahwa alih teknologi dan capital intensive yang berlebihan tidaklah benar. Karena cepat atau lambat, semakin banyak manusia yang tergerus di dalamnya.

Senada dengan aspek sosial, apabila kita merujuk kepada aspek hukum, yakni UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, semakin menguatkan bahwa pentingnya sisi humanisme dalam sektor perekonomian. 'Asas kekeluargaan' merupakan pernyataan yang paling lengkap untuk mengungkapkan bahwa kepedulian antar masyarakat adalah penting. Rakyat Indonesia, tidak bisa menutup mata akan dampak yang terjadi kepada mereka yang terenggut haknya atas capital intensive yang membelenggu.

Pemerintah sebagai Regulator

Penulis menyadari bahwa modernisasi adalah sebuah kepastian. Tidak mengikuti perkembangan zaman akan menyebabkan manusia hidup dalam stagnasi dan ketertinggalan. Namun, sebagai seorang jurnalis, penulis terbiasa untuk berpikir cover both side, yakni mencari cara agar proporsi perusahaan labour intensive seimbang dengan capital intensive. Menjadi kedua hal yang bersifat komplementer, bukan substitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun