Pernyataan tersebut dapat diadopsi ke dalam ekonomi mikro, yang dimana dalam hal ini membahas tentang proses produksi. Hal ini selaras dengan pernyataan mengenai kombinasi fungsi produksi yang telah disebutkan, bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan (dalam hal ini output yang meningkat), maka produsen harus mengorbankan salah satu diantara faktor produksi (input) tersebut.Â
Satu ditingkatkan dan satu lagi dikurangi. Apabila keduanya ditambahkan secara bersamaan, maka produksi tersebut dikatakan tidak efisien karena terdapat batasan anggaran atau isocost, yang menyebabkan biaya untuk produksi melebihi proyeksi penerimaan dari penujualan barang tersebut. Singkatnya, produsen tersebut akan rugi.
Efek Surgawi bagi Produsen Penganut Capital Intensive
Capital Intensive atau Padat Modal merupakan industri yang dalam kegiatan produksinya ditunjang oleh modal dan teknologi yang tinggi. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan asumsi mesin sebagai proksi dari kapital. Umumnya, metode capital intensive ini digunakan oleh berbagai industri dasar atau industri hulu yang menghasilkan barang elektronik, logam dasar, dan lainnya. Â
Capital intensive ini memiliki kelebihan diantaranya adalah dapat menghasilkan output yang optimum dengan biaya produksi yang relatif lebih rendah. Selain itu, dari segi pemanfaatan waktu, kapital atau mesin dapat melakukan produksi yang relatif lebih cepat dibandingan dengan tenaga kerja manusia. Karena yang bekerja adalah mesin, jam kerja dapat ditambah dan 'dieksploitasi', tidak seperti manusia yang memiliki keluhan 'lelah', protes, atau tuntutan uang lembur. Terlebih lagi, dengan penggunaan mesin, produktivitas akan tinggi, stabil, dan kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
'Efek surgawi' lainnya yang dirasakan produsen dalam penggunaan mesin adalah mereka dapat terhindar dari masalah-masalah perburuhan yang 'mengganggu' dan berbiaya tinggi dalam proses penyelesaiannya. Dengan segala kelebihan dan efek surgawi yang dirasakan produsen dalam penggunaan mesin dapat dikatakan hamper tidak memiliki celah kekurangan. Jikalau ada hal yang paling merepotkan bagi para penganut capital intensive, hal tersebut adalah modal awal yang besar untuk membeli mesin-mesin tersebut.Â
Namun, permasalahan tersebut dapat diatasi oleh kredit atau pinjaman, yang dimana dalam jangka waktu tertentu mengingat produktivitas mesin yang amat tinggi, hal tersebut dapat diatasi dengan mudah. Investasi dan pembelian mesin untuk produksi menjadi sebuah hal yang worth it untuk dilakukan. Jika sudah seperti ini kondisinya, ditambah dengan orientasi perusahaan yang selalu berusaha untuk memaksimalkan profit, rasanya labour intensive sudah tidak lagi memiliki tempat di dalam pikiran mereka.
Labour Intensive menjadi 'Obat' bagi Ledakan Pengangguran
Setelah menyadari betapa 'surgawinya' capital intensive di mata produsen, kita menyadari bahwa labour intensive seakan menjadi hal tersier yang eksistensinya tidak diperlukan dan tidak layak diperjuangkan. Namun, semua kondisi diatas berasaskan pada asumsi ekonomi pasar yang didalamnya menjadikan 'kapital' sebagai tuhan dan berorientasi penuh pada profit.Â
Kondisi diatas terlihat masuk akal dan 'wajar saja untuk dilakukan' apabila kita menggunakan asumsi ekonomi pasar. Sedangkan, apabila kita berbicara Indonesia, tentu kita mengetahui bahwa hal tersebut jauh dari kata 'wajar untuk dilakukan' karena mengabaikan nilai-nilai kekeluargaan dan kesejahteraan rakyat yang diagungkan dalam pasal 33 UUD 1945. Â
Terlebih lagi, seperti yang telah penulis sampaikan di awal tulisan bahwa kondisi penduduk Indonesia yang 'tumpeh-tumpeh' dan kelak mengalami bonus demografi membuat capital intensive seakan menjadi tidak relevan, dalam hal ini, untuk Indonesia.