Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Buya Hamka dan Tragedi 1965

30 September 2018   08:16 Diperbarui: 30 September 2018   08:25 2645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama masa tahanan, Buya Hamka diizinkan untuk membawa berbagai buku bacaan. Beliau menghibur diri dengan kisah Ibnu Taimiyah, ulama besar Islam yang pernah mengalami hal serupa. Ditahan oleh rezim yang berkuasa dan mengalami penyiksaan.

Untuk mengisi waktu, beliau melanjutkan proyek penulisan buku Tafsir Al Azhar. Yang di kemudian hari akan menjadi magnum opus beliau. Buku tafsir ini pada akhirnya pun selesai, atau setidaknya hampir selesai, ketika masa tahanannya berakhir. Setelah bebas pada akhir Januari 1966, Buya Hamka kemudian melakukan penyempurnaan dan menerbitkan Tafsir Al Azhar, hingga bagian terakhirnya terbit beberapa waktu sebelum beliau meninggal dunia di tahun 1981.

Setelah bebas dari penjara, kemudian hidup di masa pemerintahan Orde Baru, Buya Hamka rupanya tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang dahulu pernah menuduh dan memenjarakannya. Sebuah kisah menyebut, suatu ketika seorang perempuan datang ke rumah beliau bersama seorang pria, bermaksud untuk belajar Islam. 

Rupanya, perempuan tersebut adalah anak dari Pramoedya, sastrawan Lekra yang dahulu menuduh Buya Hamka melakukan plagiat. Dia mau menikahi seorang lelaki mualaf, namun dengan syarat dari bapaknya, "harus belajar Islam kepada Hamka". Akan tetapi, beliau tidak lantas mengusir atau membalas dendam. Beliau tetap mengajarkan perihal agama kepada keduanya dengan ikhlas.

Kepada Presiden Sukarno, yang dalam masa pemerintahannya pernah memenjarakan Buya Hamka, beliau juga tidak menaruh dendam. Di tahun 1970, ketika Sukarno wafat dalam tahanan politik, Buya Hamka menangis dan sedih atas kepergian sang Proklamator. Beliau pun datang untuk menjadi imam shalat jenazah dari Sukarno. Beliau pun berkata di tepi peti matinya, "dengan ikhlas saya berkata, aku maafkan engkau, saudaraku".

Pandangan Buya Hamka terhadap Komunisme

Mengenai paham Komunisme, salah satunya, beliau menuliskan pandangannya dalam Tafsir Al Azhar itu. Ketika sedang menafsirkan ayat ke-116 dari surat Al An'aam, yang berbunyi "dan, jika engkau ikut kebanyakan orang di bumi ini, niscaya akan mereka sesatkan engkau daripada jalan Allah. Karena, tidak ada yang mereka ikuti kecuali sangka-sangka. Dan, tidaklah ada mereka selain dari berdusta".

Setelah menjelaskan ayat ini dengan keterangan pada zaman Nabi Muhammad Saw., beliau melanjutkannya dengan yang terjadi di masa beliau hidup. Tulis beliau,

Bertambah jauh dari zaman Rasulullah Saw. bertambah banyaklah keluar pendapat-pendapat manusia, berbagai teori dalam hal filsafat, berbagai doktrin tentang susunan masyarakat, tentang susunan filsafat dan kenegaraan. (...). berbagai tafsir tentang pemerintahan-pemerintahan beraja, demokrasi, diktator, dan liberalisme. Berbagai macam teori tentang sosialisme, ajaran Proudhon dan ajaran Bakonin, ajaran Karl Marx. Kalau semuanya ini kita ikuti, jiwa kita akan pecah berderai, hilang pegangan. Disangka diri telah pintar karena terlalu banyak membaca buku, tetapi keberanian dan ketegasan sikap jiwa telah hilang sehingga ilmu bukan lagi menolong melepaskan diri dari kesulitan, melainkan menambah diri tenggelam ke dalam keraguan.

Lanjut beliau,

Seperti halnya dalam gelanggang ilmu pengetahuan, demikian pula teori-teori pemerintahan. Satu waktu orang mencela sistem pemerintahan kaum feodal yang bersengkongkol dengan kaum pendeta, lalu dipuji pemerintahan kaum borjuis. Kaum borjuis mengemukakan teori liberalisme. Dan, dipujikanlah liberalisme sebab pribadi manusia yang selama ini di bawah kungkungan kaum feodal bersengkongkol denga kaum gereja, sekarang telah bebas. Bebas jiwa dan bebas berusaha sekehendak hati. Tekanan tidak ada lagi. Kemudian dengan kebebasan tersebut, leluasalah orang yang banyak harta bendanya (kapital) menegakkan usaha, terutama karena perkembangan industri. Kian lama yang bebas itu kian kaya-raya, kian besar modalnya, kian banyak buruhnya yang terdiri dari orang-oang lemah. Kian lama buruh-buruh tadi tidak bebas lagi, tidak mengecap liberalisme menurut mestinya. Lalu dikutuk lagi liberalisme tadi dan timbullah teori sosialisme dan keadilan sosial, hidup yang sama rasa dan sama rata. Dan, akhirnya timbul komunisme. Oleh karena itu, datanglah akhir ayat, "dan tidaklah ada mereka selain dari berdusta". Dan, lebih tepat lagi kalau dipakai ungkapan yang lebih tegas, "dan tidaklah ada mereka selain omong kosong". Segala teori yang tidak berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau kedustaan dan kebohongan yang diatur rapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun