Bahkan, ada yang sudah tutup sepenuhnya, seperti seven eleven. Memang, kita juga menghadapi perubahan perilaku konsumen yang memiliki opsi belanja online. Tetapi, belanja online masih sekadar pilihan alternatif, bukan opsi utama dalam berbelanja.
Kita juga menghadapi fluktuasi harga barang-barang, khususnya sembako. Bulan lalu, harga telur naik hingga dua kali lipat. Begitu pula barang pokok lainnya. Sayangnya, kebijakan pemerintah di bidang pangan masih belum sepenuhnya kokoh.Â
Silang pendapat antar kementerian masih sering terjadi, yang akarnya ada pada ketiadaan data yang dapat dipercaya bersama. Ujungnya, yang dilakukan adalah impor. Tentu, kebijakan impor tidak akan berdampak signifikan jika dibandingkan dengan pemberdayaan petani, peternak lokal.
Hari ini pun kita sudah harus menyadari bahwa era commodity boom sudah selesai. Kita tidak bisa lagi mengharapkan industri ekstraktif barang mentah diproduksi jor-joran seperti satu dekade silam.Â
Permintaan dari pasar dunia menurun, akibat dari perlambatan ekonomi global dan pergeseran ke energi terbarukan. Apalagi, di tingkat lokal, commodity boom ini membuat beberapa pejabat terjerat korupsi, karena masalah perizinan tambang.
Di tingkat global, kita mesti mewaspadai krisis ekonomi di negara lain, khususnya Turki dan Venezuela. Kedua negara ini sebelumnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan selama bertahun-tahun, namun ternyata pertumbuhan itu rapuh. Inflasi hingga ratusan persen dan jatuhnya nilai tukar mata uang di kedua negara mesti diwaspadai efek penularannya. Apalagi, di sesama negara berkembang, krisis itu mudah menular.
Penularan krisis paling mudah ialah melalui arus modal keluar besar-besaran, sebagai akibat dari kepanikan investor. Inilah yang terjadi di negeri kita tahun 1997 silam. Jika arus modal keluar besar-besaran terjadi, rupiah akan terus melemah.
Pelemahan rupiah yang mencapai titik terendah sejak 1998 mesti kita waspadai juga. Memang, pelemahan rupiah tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur. Tetapi, kita perlu curiga jika pelemahan ini tidak kunjung mereda. Padahal, pemerintah sudah mengklaim melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa. Penggunaan cadangan devisa harus hati-hati, terlebih kita juga sedang mengalami peningkatan hutang.
Salah satu sebab pelemahan rupiah yang cukup mencolok ialah adanya defisit neraca perdagangan. Sederhananya, kita lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Apalagi, ekspor kita masih didominasi oleh barang primer yang nilai tambahnya minim.Â
Sementara, yang kita impor adalah barang teknologi yang bernilai tambah besar. Kita mesti memperbanyak mengekspor barang bernilai tambah, sembari mencari pasar alternatif selain AS, China, Jepang, Singapura, dan Eropa.
Tapi, permasalahan di tingkat global tidak sesederhana itu. Ketidakpastian semakin menguat, seiring dengan AS yang makin protektif dan China yang kian menguat. Gangguan dalam tata kelola global inilah yang menimbulkan adanya ketidakpastian. Salah satu efeknya, ialah perang dagang antara AS dan China. Kedua negara inilah yang menjadi motor penggerak ekonomi global. Jika ada gangguan di keduanya, amat mungkin menyebar ke negara laim seperti Indonesia.