Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membaca Narasi Media

10 Mei 2017   10:14 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:29 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin, secara logika sederhana, apa yang dilakukan itu, yakni menggunakan dana swasta untuk membangun proyek infrastruktur pemerintah, adalah hal hebat. Sayangnya, hal itu tidak didukung oleh hukum yang kuat. Proyek pemerintah, seharusnya menggunakan dana APBD, sehingga bisa diaudit oleh BPK. Sekalipun harus menggunakan dana swasta, harus ada mekanisme tersendiri, seperti lelang, untuk menggunakannya. Tidak bisa asal tunjuk oleh kepala daerah.

Memang, yang dilakukan beliau sudah baik. Sayangnya, lubang kritik pada beliau seolah ditutup oleh narasi pencitraan beliau.

Pun, dalam kasus penistaan agama. Kasus penistaan agama menjadi dibenturkan dengan hal yang tak perlu. Penistaan agama dibandingkan dengan kinerja gubernur itu tak cocok. Penistaan agama dibandingkan dengan anti korupsi pun tak nyambung. Penistaan agama dibela dengan keluarga angkatnya yang muslim pun tidak pas.

Jika hal itu yang masih dilakukan sebagai pembelaan, maka jelas, narasi pemberitaan telah membiaskan fokus pembahasan. Penistaan agama, bukan kinerja gubernur.

Kasus ini sebenarnya bisa jelas, bila narasi media tak mengaburkan. Pelakunya adalah beliau, sudah dianggap menista agama oleh otoritas keagamaan yang menjadi korban, dan tidak ada urusan dengan pemerintahan.

Begitu pula dengan massa yang kontra, masih ada yang tertutup narasi media, atau mungkin, kabar hoax.

Mungkin ini akibat dari sistem pemilu yang saya pernah pertanyakan akhir tahun lalu. Apa benar ini baik-baik saja?

Sistem pemilu yang memilih satu pihak dan menegasikan pihak lain, menimbulkan sebuah kondisi yang saling mengontraskan. Memilih X berarti menolak Y, dan memilih X berarti setuju sepenuhnya dengan X dan tidak setuju seluruhnya dengan Y.

Tentu, ini kacau.

Misal, ada orang yang tidak memilih Ahok karena agama, bukan berarti dia tidak puas dengan kinerjanya. Sebab, kinerjanya, berdasarkan apa yang dinarasikan media, memuaskan. Padahal, ada hal lain yang dimaksud dan diutamakan oleh pemilih. Ia mendahulukan agamanya daripada kepuasan lahir. Dan ini sah-sah saja, sebab setiap orang, seharusnya, bebas memilih dan bebas memiliki pertimbangan dalam memilih.

Sekali lagi, jangan sampai kita dikacaukan oleh media massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun