Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membaca Narasi Media

10 Mei 2017   10:14 Diperbarui: 10 Mei 2017   10:29 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekali lagi, jangan mudah digiring opini oleh media massa.

Saya, sampai saat ini, memang tidak setuju dengan khilafah yang disuarakan HTI. Apalagi yang disuarakan oleh ISIS. Kenyataannya, ketika HTI mencap haram terhadap demokrasi pun, masih mereka manfaatkan jalur demokrasi untuk mencapai tujuan mereka. Mereka yang tidak senang dengan konsep 'nation-state' pun masih mencantumkan 'indonesia' dalam namanya. Apa mungkin mereka mau melepas diri dari sistem westphalia yang berlaku saat ini?

Makanya, solusi untuk 'menjinakkan' HTI bukan dengan pembubaran. Tapi, dengan dialog, dan pendidikan. Kalau mereka terus menerus dipojokkan, apalagi dibubarkan, kebencian terhadap ornag yang berada dalam sistem yang sudah mereka tak sukai akan semakin menjadi. Menjauhkan mereka dari dialog dengan pemerintah, dan langsung memvonis mereka anti pancasila, hanya akan mengkristalkan ide mereka. Pun menambah simpati sebagian golongan yang tidak puas terhadap pemerintah kepada mereka.

Menurut saya, sikap pemerintah terhadap HTI kurang tepat.

Kedua, siang tadi, media kita ramai sekali mengabarkan, "Ahok divonis penjara dua tahun, dan langsung ditahan di rutan cipinang".

Lantas, simpatisan beliau, langsunglah berkoar-koar di media massa juga media sosial.

Mengatakan "kematian toleransi", "tekanan pada minoritas", dan hal-hal lain yang lebay dan tak perlu. Menggeneralisir kasus ahok adalah cobaan untuk toleransi pun sebuah hal yang aneh. Sebab, dia sendiri yang memulai, dan dia sendiri yang harus menanggung akibat ucapannya sendiri.

Mereka merasa sedih. Bahkan mencap orang-orang yang mendukung vonis itu sebagai anti keberagaman sampai intoleran. Sayangnya, narasi itu didukung oleh pemberitaan media semata. Yang lagi-lagi, hanya berkutat pada isu yang di permukaan.

Media massa, tentu banyak memotret perjalanan politik ahok. Dia menjadi media darling terdahsyat setelah presiden Jokowi pada pemilu 2014 lalu. Berita pun banyak memunculkannya. Mulai dari hal yang penting seperti rapat anggaran, hingga yang tak perlu seperti berita dia jalan ke kantor.

Pemberitaan ini, sayangnya, menarasikan hal positif beliau tanpa perimbangan. Bahkan, ketika beliau berkata kasar dan mencaci maki pun, dinarasikan tak mengapa. Sebab, ada narasi besar yang dibawakan. Yakni, dia anti korupsi.

Sayangnya lagi, narasi 'anti korupsi' itu terus ditebarkan. Dengan menutupi hal-hal yang memungkinkan kritik atas narasi itu. Seperti, kasus sumber waras, reklamasi, dan yang terbaru, penggunaan dana swasta untuk pembangunan jalan layang semanggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun