Kedua, terkurasnya energi bangsa secara tidak produktif. Banyaknya komentar yang tidak perlu untuk situasi di Jakarta, akhirnya hanya memperkeruh suasana. Adanya sebuah kekurangan di pihak lawan dieksploitasi melalui berita hoax, pun kelebihan di pihaknya juga diagung-agungkan melalui berita hoax. Padahal, modalnya hanya pelintiran pernyataan seseorang dan screenshot percakapan di WhatsApp. Isu lain yang lebih penting, seperti petani Kendeng yang memperjuangkan tanahnya, penyelesaian masalah Freeport, hingga kejahatan perang di Suriah, menjadi luput dari fokus pemberitaan dan perhatian publik. Semua hanya berkutat pada masalah di Jakarta, sembari meragukan pula validitas berita yang dibaca. Hasilnya justru hanya berlelah tanpa bukti nyata.
Ketiga, munculnya keretakan di masyarakat. Dari dahulu, perbedaan pendapat merupakan kewajaran di negeri yang amat beragam seperti Indonesia. Di awal berdirinya, perbedaan pendapat antara Soekarno dan Natsir mengenai perlukah Islam menjadi dasar negara tidak membuat keduanya hilang rasa saling hormat. Kemudian, kita pun sudah terbiasa hidup berdampingan dengan berbeda pilihan pada pemilu semenjak masa reformasi. Sayangnya, saat ini hal itu sulit ditemukan hanya karena ada perbedaan. Masayarakat yang seharusnya bisa bersama, justru dipecah oleh perbedaan pilihan.
Keempat, timbul pula slogan pribumi dan non-pribumi. Hal semacam ini, sebenarnya sangat aneh jika muncul dalam pilkada Jakarta. Sebab, kedua calon gubernur memiliki keturunan “asing” di dalam darahnya. Ahok berketurunan Tiongkok, Anies berketurunan Arab. Baru mungkin kalau mau dilihat yang murni pribumi ada pada wakilnya. Djarot berasal dari Jawa, dan Sandiaga berasal dari Minang. Selain itu, isu pribumi dan non-pribumi pun tidak lagi relevan pada saat ini. Ancaman itu tidak selamanya datang dari luar pada masa sekarang. Dari dalam pun, dapat muncul ancaman dari orang yang tidak menghargai satu dengan yang lain.
Terakhir, kita kehilangan esensi yang terpenting, yakni memilih pemimpin Jakarta melalui pilkada yang merupakan produk demokrasi. Seharusnya, perdebatan lebih mengarah pada bagaimana gagasan kedua calon dapat relevan bagi kemajuan Jakarta, baik secara fisik maupun non fisik. Selain itu, terdapat pula pendidikan berpolitik yang baik agar bisa memilih pilihannya dengan alasan yang tepat dan menghormati alasan orang lain untuk memilih. Jika ada yang ingin memilih berdasarkan keyakinan agama tak perlu dipermasalahkan, juga yang ingin memilih bukan berdasarkan keyakinan agama pun dipersilakan. Alangkah lebih baik bila kedua alasan itu didukung oleh argumentasi dari visi, misi, dan program.
Pada akhirnya, pilkada Jakarta ini membuka mata kita untuk memperbaiki bangsa kita. Terus menerus memperbaiki diri dan mendorong perbaikan harusnya dikedepankan. Jangan sampai, kita berlelah-lelah untuk sesuatu yang tidak tepat. Berbeda pandangan itu tidak masalah, asalkan tidak sampai menzhalimi kelompok yang berlainan. Jangan pula mencitrakan diri yang paling baik dan lawan itu paling buruk. Mendewasalah, bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Pesan untuk para pemilik hak pilih, gunakanlah secara bertanggung jawab hak kita. Di hari kemudian, akan ada pertanggungjawaban atas hak tersebut. Di samping itu, kita pun bertanggungjawab pada warga lain selama lima tahun. Jangan sampai, pilihan kita membawa pada pemimpin yang tidak menyejukkan. Jangan pula membawa pada permasalahan lain, baik dari segi hukum, ekonomi, dan kerukunan. Kita perlu berubah, menjadi bangsa Indonesia yang lebih dewasa dalam bersikap. Serta tidak tergesa dalam bertindak. Dapat menjadi teladan, baik dalam segi kebijakan, perbuatan, dan ucapan.
Kita memang punya hak untuk memilih. Tapi jangan lupa, kita harus bertanggung jawab atas hak untuk memilih tersebut.
Selamat berpesta demokrasi Jakarta. Semoga Gubernur Jakarta dapat membawa Ibukota menjadi tempat yang baik, adil, dan beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H