Klaim Pendukung Anies
Masalah klaim sepihak ini juga muncul di kalangan sebagian pendukung Anies. Sebagian pendukungnya mengklaim, jika mendukung Anies sama dengan membela Islam. Klaim ini sebenarnya mereduksi makna pembelaan atas Islam yang memiliki spektrum yang luas. Ia terbentang dari membela melalui doa hingga dengan nyawa. Bukan hanya dibatasi pada masalah pilihan pada pilkada.
Klaim ini pun dilanjutkan dengan klaim bila tidak mendukung Anies sama saja dengan tidak mendukung Islam, atau dengan terma yang sedang populer saat ini, menista agama. Padahal, apa yang dibawa dalam visi, misi, dan program kerja Anies pun tidak berdasarkan atas agama Islam. Gagasan Anies, bila mau membaca lebih, ialah soal “Tenun Kebangsaan”, yakni mempertemukan semua kelompok yang berbeda agar bersinergi dalam bingkai Indonesia. Memang, Islam masuk di dalamnya, namun tidak terbatas pada kelompok Islam saja. Sehingga, tidak tepat rasanya bila hal itu diklaim secara sepihak oleh sebagian pendukung kelompok ini saja.
Hal lain yang sering diklaim ialah, bila tidak mendukung Anies, sama saja mendukung penista agama. Memang, calon lain, yakni Ahok sedang terjerat dalam kasus penistaan agama. Namun, tidak semua pendukung Ahok mendukungnya semata-mata karena menganggap apa yang dilakukannya tidak menista agama. Ada pula sebagian kelompok pendukung Ahok yang mendukung berdasarkan kinerja yang mereka nilai baik. Tentu, akan sulit bila Ahok telah terbukti menista agama secara hukum untuk mendukung. Sampai saat ini, bukti bahwa Ahok menista agama, berasal dari sikap MUI, yang tidak semua orang setuju pada sikap tersebut.
Mengenai dukungan FPI
Ada pula hal menarik lain yang terlihat pada dinamika pilkada Jakarta ini, yakni mengenai dukungan FPI. Selama ini, FPI disitgmakan sebagai kelompok yang berpandangan radikal dan intoleran. Tentu, stigma ini ditolak mentah-mentah oleh anggotanya dan simpatisannya. Adanya stigma ini pun tidak terlepas dari pemberitaan media yang sering meliput aksi FPI yang berujung kekerasan. Pembelanya pun bermunculan setelah aksi 212 yang terbukti damai dan dihadiri oleh Presiden Jokowi.
Kecenderungan dukungan FPI ini pun dipandang berbeda oleh kedua kelompok. Kelompok pendukung Ahok menilai, dukungan FPI kepada Anies adalah bukti bahwa Anies didukung oleh kelompok intoleran. Sementara itu, kelompok Anies melihat bahwa dukungan ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tidak sepenuhnya menolak demokrasi, sebagaimana yang dilabeli selama ini.
Selain itu, dari sikap kedua kandidat ini kepada FPI dapat terlihat bagaimana cara memperlakukan kelompok ini. Pendukung Ahok, melakukan pendekatan yang koersif. Terang-terangan menolak dan menganggap FPI sebagai kelompok yang intoleran, seperti stigma yang ada. Sementara, kelompok Anies, justru merangkulnya. Meski mungkin ada juga pendukung Anies yang menganggap FPI sebagai kelompok yang intoleran, mereka berharap, dengan dukungan ini aksi intoleransi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dapat dicegah. Bisa pula sebagai pendidikan politik demokrasi bagi yang selama ini dianggap tidak setuju dengan konsep demokrasi.
Menghindari mudharat, mendatangkan maslahat
Sikap yang seharusnya kita ambil dalam menghadapi pilkada Jakarta ini adalah menghindari mudharat dan mengupayakan mendatangkan maslahat. Pilkada Jakarta menjadi cerminan bagaimana seharusnya kita secara bijak mengelola masalah. Permasalahan pada pilkada ini memang kompleks. Mulai dari ketidakpuasan pada kinerja petahana, kasus penistaan agama yang menjerat petahana, hingga fenomena banjir bandang arus informasi yang tidak terkendali. Seharusnya masalah ini menyadarkan kita untuk tidak menggeneralisasi masalah dengan melakukan klaim kebenaran sepihak dan klaim kesalahan pada pihak yang berseberangan.
Dapat dirasakan sendiri dampak dari klaim-klaim semacam ini. Pertama, memudarnya akal sehat. Dapat dilihat bahwa gagal pikir dan sesat pikir banyak terjadi pada proses pilkada ini. Bagaimana bisa, permasalahan yang sedemikian kompleks diselesaikan melalui perang meme. Gagasan pulau reklamasi dibalas melalui meme, begitu pula gagasan DP rumah 0% dibantah melalui meme. Hasilnya, bukan pencerdasan atas program yang ditawarkan, tetapi justru penghinaan pada kelompok yang di seberang.