Tulisan ini mungkin akan kurang disukai oleh pendukung fanatik kedua pasang calon. Akan tetapi, tampaknya penting bagi kita untuk kembali pada prinsip yang diteguhkan bersama, yakni keadilan. Menempatkan sesuatu sesuai dengan porsi dan peruntukannya, serta tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Menyaksikan fenomena pemilihan umum DKI Jakarta tahun ini seperti melihat sebuah ledakan yang telah diprediksikan sebelumnya. Bagaimana ekskalasi perwujudan ketidakpuasan terhadap petahana oleh banyak masyarakat Jakarta diperlihatkan bahkan sejak tahun yang lalu. Parahnya lagi, media massa menarik isu ini menjadi sebuah isu nasional yang tidak berkesudahan, sebab keuntungan memang tak bisa dielakkan. Akan tetapi, bila situasi ini terus didiamkan, akan kembali terjadi sebuah fragmentasi besar di pilkada lain di masa mendatang. Terkhusus pada pemilu presiden 2019. Maka, perlu kita pahami akar masalah dan mengapa bisa terasa sangat dahsyat seperti saat ini.
Masalah terbesar yang menjadi penyebab keriuhrendahan pada pemilu Jakarta tahun ini adalah klaim masing-masing pendukung. Memang wajar bila pada masa kampanye setiap pasang calon dan tim sukses memoles citra sedemikian hebat. Hanya saja, saat ini hal itu bergeser menjadi klaim sepihak yang menegasikan kelompok di seberang.
Klaim paling parah pada tiap pendukung ialah dua hal. Pada pendukung Ahok, klaim “paling Bhinneka” itu yang menjadi ancaman pada kebhinnekaan itu sendiri. Sementara pada pendukung Anies, klaim “paling mewakili suara umat Islam” itu pula yang akan berbahaya pada nilai keislaman yang selama ini terwujud di Indonesia.
Klaim Pendukung Ahok
Klaim menjadi kelompok yang paling menghargai kebhinnekaan sebenarnya sebuah hal yang fatal. Apalagi jika disertai dengan klaim lanjutan bagi siapapun yang menolak dan mengkritisi Ahok adalah ancaman bagi kebhinnekaan. Hal semacam ini tidak sehat, sebab kebhinnekaan Indonesia jauh lebih luas perspektifnya dibandingkan yang dibayangkan oleh kelompok ini.
Bhinneka Tunggal Ika, semboyan kebanggaan negeri kita direduksi menjadi seolah-olah bahwa mendukung golongan minoritas adalah perwujudan dari hal itu. Padahal, menghargai adanya perbedaan tidak selalu dapat tecermin dari dukungan pada kelompok minoritas. Memang, dalam beberapa kasus kelompok minoritas menjadi termarjinalkan. Dukungan yang diberikan seharusnya mengarah pada bagaimana cara untuk menyelesaikan diskriminasi. Bukan dengan menggeneralisir bahwa ketika seseorang dari kelompok minoritas menjadi calon Gubernur, lantas harus didukung. Argumentasi semacam ini akan menjadi sama saja dengan yang mendukung calon semata-mata karena alasan primordial.
Ahok, dalam hal ini secara identitas memang masuk ke dalam kelompok minoritas ganda. Dia berasal dari kalangan non-muslim dan berketurunan Tiongkok. Bila memang ingin memberikan dukungan pada kelompok minoritas tersebut, bukan dengan mengklaim jika mendukungnya sama dengan mendukung Bhinneka dan jika tidak mendukungnya sama dengan menolak Bhinneka. Dukunglah mereka dengan memastikan hak dan kewajibannya sama dengan yang dirasakan oleh kelompok lain, terlepas dari minoritas atau mayoritas. Sebab, jumlah bukanlah penentu dari kepantasan untuk mendapatkan dukungan.
Argumentasi lain dari kelompok ini terlihat ketika mereka melakukan klaim bahwa mendukung Ahok sama dengan menolak ideologi radikal. Bila mau menggali lebih jauh, permasalahan radikalisme ada pada setiap ideologi. Akan ada sekelompok kecil dalam spektrum pemahaman atas sebuah ideologi yang berjuang mati-matian idenya diwujudkan. Tidak hanya terbatas pada kelompok Islamis, seperti yang selama ini sering dituduhkan. Dan jika ingin dilihat dengan bijak, kelompok yang amat kuat memegang ideologinya, apapun itu, ada di balik kedua calon. Sehingga, tidak tepat jika menyatakan yang demikian.
Lebih parah lagi ialah ketika muncul pula klaim Ahok adalah simbol dari kebhinnekaan tersebut. Hanya karena ia berasal dari golongan minoritas. Siapa pun, dari golongan mana pun, tidak berhak menjadi simbol sebuah kebhinnekaan. Sebab, kebhinnekaan itu terletak pada keragamannya, bukan pada golongan tertentu.