Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hoax dan Kejernihan Berpikir

19 Januari 2017   17:23 Diperbarui: 19 Januari 2017   17:47 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar hoax yang resmi memang seringkali sulit untuk diteliti. Hal ini disebabkan oleh keberadaan pemerintah sebagai lembaga resmi yang menyebarkan informasi itu. Kabar ini juga biasanya disebarkan pada saat kondisi tertentu yang mengharuskan pemerintah memuaskan keinginan publik. Akhirnya, rakyat kebanyakan menelan begitu saja informasi tersebut setidaknya dengan dua alasan, ia resmi dari pemerintah dan keinginannya terpenuhi.

Turn Back Hoax

Keberadaan berita hoax ini seringkali mengacaukan kita. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah kita seperti dibuat susah dengan banyak kabar hoax (setidaknya begitu menurut pemerintah), hingga digagaslah gerakan ‘Turn Back Hoax’ untuk menangkisnya.

Rupanya, gagasan pemerintah kita ini pun masih mendapatkan reaksi negatif dari sebagian kalangan. Mereka menganggap, gerakan ini dibuat untuk membungkam orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah. Berkaca dari pengalaman selama orde baru, pemerintah dianggap ingin menyatukan saja opini yang beredar. Padahal, bila opini yang berseberangan itu dibungkam tanpa sebab pasti, akan menjadi bom waktu di kemudian hari.

Memang, terkadang akan sulit bagi pemerintah selaku regulator mengendalikan peredaran kabar hoax ini. Mudahnya seseorang membuat situs web secara gratis, juga akun media sosial yang anonim, membuat masyarakat dengan mudahnya menyebarkan kabar hoax buatannya. Di satu sisi, banyak kabar hoax beredar tanpa disertai fakta. Namun di sisi lain, ada pula suara-suara kritis yang mengkritik kebijakan pemerintah. Sayangnya, kedua sisi ini kadang kala bersatu sehingga menyulitkan kita untuk menyaring mana kabar kabur dan yang mana kabar kritis.

Kedua sisi ini bersatu kemungkinan karena mereka berada di posisi yang sama, yakni menentang satu kelompok. Penentang satu kelompok itu ada dua jenisnya, yakni karena objektivitas yang didukung dengan data dan fakta, serta karena kebencian pada kelompok tersebut. Kelompok yang mengkritik didasarkan pada data dan fakta akan cenderung membuat kritik yang membangun. Bukan menyerang, tapi memiliki semangat perbaikan. Sementara itu, kelompok pembenci akan membuat serangan yang membabi buta. Disebarkan serangan itu secara tidak bertanggung jawab. Data dimanipulasi hingga fakta diputar balik. Rasa benci inilah yang membuat kejernihan berpikir pun berkurang.

Berkurangnya kejernihan berpikir bagi para penyebar hoax ini akan menyebar pada orang yang telah termakan oleh berita hoax itu. Karena sama-sama benci, akhirnya berita buruk apapun tentang yang dia benci dia telan begitu saja. Sedangkan berita baik, sekalipun benar, tentang orang yang ia benci itu tidak akan diterima. Dibantahlah dengan beragam jurus, termasuk menggunakan kabar hoax. Inilah yang dimaksud berkurangnya kejernihan berpikir para pemakan hoax.

Mengembalikan Kejernihan Berpikir

Sebenarnya, bila kita ingin memahami masalah yang rumit ini, perlu rasanya melihat bagaimana sifat kebanyakan manusia. Yakni, tak mau mengaku salah padahal telah jelas kesalahan itu dan terlalu mudah mengklaim diri paling benar. Tidak mau mengaku salah ini disebabkan lagi karena adanya gengsi yang berlebih. Ia tak mau tercoreng namanya atas kesalahan yang telah diperbuat. Padahal, bila kita ingin menjaga harga diri, bukanlah menutupi kesalahan dengan kebohongan, namun akui kesalahan dan laksanakan perbaikan.

Begitu pula dengan orang yang senang mengklaim sebagai orang yang paling benar. Penyakit ini mudah timbul bagi kalangan yang baru berada di atas jalan kebenaran, namun menggunakan kaca mata kuda dalam menjalankannya. Bilapun ia berada di jalan yang benar, bukan berarti orang yang berada di seberang dia salah sepenuhnya. 

Tidak ada seorang pun di antara kita yang seratus persen benar ataupun seratus persen salah. Yang ada ialah, kecondongan kita di jalan yang benarkah atau di jalan yang salah. Bilamana melihat orang yang salah, bila menggunakan kacamata kuda dengan menganggap diri sendiri seratus persen benar, ia akan menganggap apa yang dilakukan orang lain itu seratus persen salah. Padahal, seharusnya kita ajak mereka yang salah itu untuk sama-sama menjadi orang yang berada di jalan yang benar. Bukankah akan lebih berbahagia bila kita sama-sama menjadi orang baik dan benar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun