Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Politik

#IndonesiaTerjajah

19 November 2015   13:30 Diperbarui: 19 November 2015   14:14 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita akan bertanya, mengapa Indonesia dikatakan terjajah. Bukankah Soekarno dan Hatta sudah memproklamasikan kemerdekaan sejak 70 tahun silam? Bukankah sudah tidak ada lagi kerja rodi dan romusha di tanah air? Lalu kenapa dikatakan Indonesia terjajah? Indonesia kini mengalami transformasi terjajah fisik juga non fisik.

Penjajahan di masa kini bukanlah kolonialisme dan imperialisme klasik yang menempatkan negeri ini sebagai koloni yang diambil rempah-rempahnya, dipatok kebunnya, ditarik pajaknya, diatur pemerintahannya secara langsung. Penjajahan masa kini tidak tampak seperti penjajah yang menghunuskan pedang dan menantang dengan meriam. Penajajahan masa kini tampak seperti sahabat. Ia datang menawarkan bantuan, diajak bekerjasama, dan diberikan penghargaan. Memang, penjajahan masa kini tak melulu memberikan keburukan. Namun, sadarkah kita jika kini masih terjajah?

Dahulu, penjajahan identik dilakukan oleh bangsa asing seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Tapi masa telah berganti. Tak hanya bangsa asing, kini penjajahan di Indonesia dilakukan oleh saudara sendiri. Tentu masih hangat di dalam surat kabar dan berita di televisi, bagaimana seorang pejabat menjajakan tambang di Papua. Menawarkan pembagian saham juga kuasa dengan mencatut pejabat lainnya. Entah benar atau tidak, ini membuktikan tanah Indonesia masih mudah dikoloni dengan bagi-bagi saham dari penguasa kepada kekuasaan lainnya. Mirip dengan era ketika kita masih memberikan lahan pertanian dan perkebunan kita dengan VOC dahulu. Jika dahulu kita menawarkan pala, lada, kapas saja sudah membuat rakyat miskin, sekarang kita menawarkan tambang dengan cadangan emas terbesar di dunia. Logikanya? Tentu lebih sakit hati jika kita jeli melihatnya.

Kasus sebelumnya yang mulai tertutupi dengan ‘papah minta saham’ ini adalah bagaimana ada lingkaran kekuasaan di daerah dan pusat yang melenggangkan praktik korupsi dan suap. Seorang gubernur yang harus mempertanggungjawabkan suapnya kepada orang yang menjanjikan keamanan kekuasaannya. Dibantu pula oleh pejabat tinggi negara di lingkaran kejaksaan. Juga oleh penyokong belakangnya karena tak bisa dihindari fakta bahwa sang jaksa agung adalah pejabat partai juga. Kita masih terjajah oleh segelintir elit yang ingin langgeng berkuasa dengan upeti kepada pihak lainnya. Cara penjajahan klasik yang bersalin rupa.

Penjajahan lainnya mungkin lebih halus lagi, yakni bantuan. Mengapa dibantu justru dijajah? Bisa kita lihat bahwa bantuan yang dimaksud adalah upaya ameliorasi dari terma utang. Utang dengan jumlah yang terus membengkak, rasio utang dengan kemampuan bayar yang semakin menjauh, juga kurs rupiah terhadap mata uang pemberi utang yang semakin melemah. Data dari BI, Juli 2015 ini utang negeri ini dalam angka 4.376,3 triliun rupiah yang jika dibagi dengan 240 juta penduduk Indonesia, setiap orangnya menanggung beban sekira 18 juta rupiah. Sedangkan, pendapatan per kapita orang Indonesia pada tahun lalu menurut World Bank sebesar USD 3650. Dengan asumsi 1 US Dollar adalah 13.500 Rupiah, dalam setahun pendapatan orang Indonesia reratanya adalah sekira 49 juta. Ini berarti jika ingin lunas, orang Indonesia harus menyisihkan sekira sepertiga pendapatannya.

Mungkin utang ini diberikan dengan dalih untuk pembangunan jangka panjang. Seperti infrastruktur dan pendidikan yang manfaatnya tidak bisa diterima dalam jangka waktu yang cepat. Tapi, jika pemerintah masih membiarkan hal ini terjadi, bukan tidak mungkin Indonesia bisa seperti Yunani yang mengalami gagal bayar yang harus ditopang dengan dana talangan (yang tentunya masih berutang). Apalagi, pembangunan yang dilakukan masih berpusat di Jawa dan belum tersebar ke daerah pelosok yang bahkan hingga saat ini belum merasakan kehadiran teknologi seperti listrik. Bukan tidak mungkin jika wilayah yang merasa dizholimi dengan ketidakadilan akan menjadikannya berpikir untuk separatis.

Penjajahan berikutnya mungkin terdengar unik. Inilah penjajahan soft power. Dengan berbagai modernitasnya, negeri-negeri Barat dan Asia Timur menjajah melalui kebudayaan. Memang, ini di satu sisi menguntungkan dengan adanya hiburan baru bagi anak muda. Tapi kalau sampai mengeluarkan uang 3 juta untuk mendapatkan kursi front row di konser artis K-Pop, logiskah? Budaya materialistis ini menjangkiti anak muda yang ke depannya akan menjadi penerus bangsa ini. Maka yang akan terjadi tidak diragukan lagi, krisis kepemimpinan dan budaya materialistis yang tentunya akan mengukur segala sesuatu dari uang, dan korupsi jalan tercepat menuju kekayaan.

Selain dari kebudayaan, soft power juga mengincar ideologi. Liberalisme dan kapitalisme dibungkus dengan kemasan yang unik dan menarik. Manusia diajarkan untuk menjadi orang yang bebas sepenuhnya. Mungkin terdengar asik, tapi membuat manusia lupa dengan adanya hak dan kewajiban juga keseimbangan di antara keduanya. Juga akan lupa dengan tata krama dan norma. Pada akhirnya, akan membentuk manusia egois yang tentunya jauh dari falsafah bangsa ini, yakni ‘gotong royong’.

Penjajahan soft power ini menjadi cara yang paling efektif dalam melumpuhkan perjuangan. Kalau dari tambang yang dijajah, Indonesia jelas rugi. Apalagi dari jeratan utang berbunga, rakyat juga sadar. Tapi kalau dengan soft power? Sulit untuk sadar karena yang dimanjakan lebih besar. Maka penting bagi kita untuk mendidik generasi muda dengan mengajarkan nilai dan norma Indonesia dan agama yang dianut. Dengan demikian, diharapkan negeri ini bisa kokoh jati dirinya.

Mungkin penjajahan masa kini yang diungkap barulah beberapa. Tapi kita harus lagi jeli melihat kondisi bangsa saat ini. Terlebih di era keterbukaan informasi dan komunikasi beserta segala kemajuannya, tentulah lebih mudah untuk mencarinya. Perang kita saat ini bukan lagi pernag fisik, tapi perang keyakinan. Keyakinan bahwa bangsa ini tidak boleh dijajah dengan motif apapun dan oleh siapapun.

Mengutip dari Ali bin Abi Thalib, ‘ajarkanlah anakmu dengan baik, karena generasinya akan menghadapi hal yang lebih sulit dari generasimu’ mungkin bisa menjadi pelejit semangat bagi kita untuk merubahnya sejak dini agar perubahan itu efektif. Tapi tidak menutup diri bahwa orang yang lebih tua mencontohkannya sebagai keteladanan.

Pilihan kini ada di tangan kita. Apakah kita masih mau menjadi bangsa yang terjajah? Atau kita mau memerdekakan dari penjajahan ini? Mungkin sudah sangat sulit untuk mengharapkan perubahan di tingkat elit pejabat. Tapi tak ada salahnya untuk memulainya dari kita yang membaca tulisan ini. Seperti pesan Aa Gym, mulai dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari sekarang. Jadi, tunggu apa lagi?

 

@famajiid | Ilustrasi: Koleksi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun