Aku tidak percaya, ia selalu terlihat ceria dan seolah tidak punya beban. Tapi ternyata kesulitannya melebihi daripada yang kualami. Aku menyesal selama ini hanya aku yang selalu bersikap sedih terhadap kebutaan ini.
Aku berusaha mendekatinya. Betapa sedihnya aku. Lalu, terjadilah keajaiban. Tangannya bergerak, suaranya terdengar begitu lemas karena kesakitan. "Sampai kapan kamu akan menangis? Apa tidak malu dilihat orang-orang?" bahkan disaat seperti ini Haydar masih bisa mengejekku.
"Aku tahu apa yang kamu alami" ucapku pada Haydar.
"Maaf, aku selama ini tidak cerita sama kamu. Setelah aku nanti tidak ada, kamu harus tetap kuat. Berjuang buat dirimu sendiri. Kamu harus bahagia, Al." pesan Haydar padaku.
"Haydar..!" aku menjerit, aku terjatuh.
Dan disinilah aku sekarang, duduk di depan Menara Eiffel. Aku bertanya dalam hati "Apakah ini Menara Eiffel? Sangat indah dan sudah banyak yang berubah, lama aku tidak melihatnya."
Setahun sudah berlalu. Ibunya Haydar berkata kalau ia berpesan setelah meninggal nanti, matanya ingin ia berikan untukku. Ia ingin aku menjalani operasi mata dan aku bisa melihat kembali.
"Ibu dan Ayah, sampai jam berapa acara itu selesai? Aku sudah lapar, hati-hati dijalan ya." aku menunggu mereka, karena kita ingin makan siang bersama.
"Ini sudah sampai, Al. Kita bertemu di Le Bistro Parisien, restoran dekat Menara Eiffel ya." kata Ibu.
Sesampainya disana, kami mengobrol dan Ayah bertanya kepadaku "Apakah kamu mau kami sekolahkan di Paris College of Art?"
Aku sangat terkejut dan senang mendengarnya, karena sejak dulu aku sangat ingin melanjutkan sekolah disana.