Disamping kebolehan ijarah atau sewa menyewa ini, ada transaksi penyewaan yang dilarang oleh syara', yaitu penyewaan mani hewan pejantan. Penyewaan ini sering kali dilakukan di daerah pedesaan yang menginginkan ternaknya cepat menghasilkan anakan, tujuannya adalah untuk mendapat lebih cepat dan lebih banyak peranakan sehingga hasil keuntungannya lebih cepat didapat. Akan tetapi hal itu tak diperbolehkan oleh Rosulullah yang haditsnya yaitu:
: ( )
Artinya: "Dari Ibnu Umar berkata: Rasul SAW melarang penyewaan mani hewan pejantan" (HR. Abu Daud)Â
Ibnu Hajar menafsirkan tentang  hadits diatas yang menjelaskan  pelarangan penyewaan mani hewan pejantan yang beliau tulis dalam kitab fathul bari yang artinya:
"Apapun maknanya, memperjual belikan sperma jantan dan menyewakan pejantan itu haram karena sperma pejantan itu tidak bisa diukur, tidak diketahui, dan tidak bisa diserah terimakan.". (Ibnu Hajar, Fathul Bari, jilid 6, hlm. 60, terbitan Dar Ath-Thaibah, Riyadh, cetakan ketiga,1431H)
Ijarah mempunyai syarat keabsahan yang harus dipenuhi dalam melakukan suatu akad ijarah, syarat itu mencakup 'aqid (orang yang berakad), na'qud 'alaih (barang yang menjadi objek akad, ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-'aqad)
- Adanya keridhaan dari kedua pihak yang berakad. syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT.:
(:29)
Artinya:"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka."(QS. An-Nisa' : 29)
- Ma'qud 'Alaih harus diketahui manfaatnya dengan jelas karena kejelasan ini menghilangkan pertentangan dan kecurigaan dari kedua pihak yang berakad.
- Barang yang disewakan atau jasa yang disewakan haruslah memenuhi kebolehan dalam syara'. Misalnya menyewa wanita haid untuk membersihkan masjid, hal itu tidak diperbolehkan karena wanita yang haid, menurut syara', tidak boleh memasuki masjid.
- Pemanfaatan barang atau jasa haruslah diketahui dan pemanfaatannya harus hal-hal yang diperbolehkan oleh syara'. Seperti  menyewa rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk berburu, dan lain-lain. Para ulama sepakat melarang ijarah baik benda maupun jasa manusia yang keperluannya untuk kejahatan, seperti menyewa orang untuk mencuri. Dalam kaidah fiqih dinyatakan:
Artinya:"Menyewa untuk kemaksiatan tidak boleh"
- Tidak menyewa pekerjaan yang diwajibkan kepadanya artinya Seseorang tidak boleh menyewa orang lain untuk melakukan suatu hal yang difardhukan kepadanya, seperti contohnya ialah orang yang menyewa orang lain untuk melaksanakan sholatnya agar si aqid tidak perlu sholat lagi. Hal itu tidak diperbolehkan karena sholat adalah kewajiban bagi setiap orang islam.
- Tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak mengambil manfaat dari sisi hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya atau tepungnya untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Darukuthni bahwa rosulullah SAW. Melarang untuk mengambil bekas gilingan gandum. Ulama Syafi'iyah menepakatinya. Akan tetapi ulama Hanabiah dan Malikiyah membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadits diatas dipandang tidak shahih.
- Manfaat ma'qud 'alaih sesuai dengan keadaan yang umum yang berarti Tidak boleh menyewa pohon berbuah untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung  sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah. (Syafi'I, Rachmat. 2004. 126.)
Berbisnis dengan  tujuan memperoleh keuntungan yang besar bukan berarti kita harus menyalahi aturan hukum islam, kita bisa memperoleh penghasilan yang besar dengan berbisnis syar'i. Pada era sekarang, produk atau jasa dengan bisnis yang berbasis halal lebih banyak dicari dikarenakan banyak masyarakat pada era sekarang ini, banyak yang menjadi muallaf sehingga kebutuhan produk atau jasa berlabel halal meningkat. dengan peningkatan ini, berbisnis yang berlabel halal dapat menjadi solusi untuk seseorang yang ingin berbisnis.
Mari kita menjadi wirausahawan yang syar'i dan saling menjaga ibadah kita dengan dengan berlandaskan AL-qur'an, sunnah, dan ijma'.