Mohon tunggu...
Lotusflowerin
Lotusflowerin Mohon Tunggu... Penulis - pernah coba menghitung bintang

Traveller, penggiat buku, suka serabi cirebon rasa gula merah, dulu sempat buka lapak baca sama teman sekitar tamsur - sempur bogor, sekarang terusir izin-izin pemda, jadi aku menulis saja, jika kosong ambil satu huruf besar sendiri dan simpan dalam kantong, kancing baju rapih, hatur danke warga nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jakarta Menangis

21 Maret 2018   10:59 Diperbarui: 21 Maret 2018   11:12 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebelum membaca cerpen ini sediakan sedikit cemilan disebelah kopi, jangan diambil hati, ambil inti dan arti buat diri sendiri. 

Abu abu itulah warna yang dapat menggambarkan keadaan sekarang. Abu abu tercipta karena ada hitam dan putih yang tercampur. Hitam selalu dianggap lambang dari keburukan dan kegelapan sementara putih dianggap lambang dari kesucian dan terang. Tak adil, memang. Karena kalau kita berfikir, hitam atau putih, gelap atau terang adalah berasal dari sumber yang sama yaitu cahaya. Gelap hanyalah ungkapan yang kita pakai untuk menggambarkan ketiadaan cahaya. Tapi kembali lagi, pola pikir manusia yang menjadikan gelap adalah buruk, hitam adalah buruk. Putih diharapkan, hitam ditiadakan. 

Jangan salahkan jika langit malam hitam, jangan salahkan jika putih adalah lambang kesucian, manusia berfikir hanya sebatas hitam dan putih. Bagaimana bisa manusia berfikir seperti hitam dan putih, ketika putih menjadi tolak ukur untuk segala keadaan dimana kebanyakan menganggap diri nya putih sedangkan mengganggap masalalu yang hitam akan tetap hitam kedepan, apakah engkau maha tahu wahai manusia yang merasa putih suci ini, engkau cuma abu abu abu dimata manusia lain. 

Kenapa jakarta bisa menangis, miris memang keadaan zaman ini yang sudah  semua hal bertentangan harus dilawan, mana yang katanya ber-bhineka tunggal ika, ber-etika, ber-toleransi terhadap sesama, bahkan sudah satu keyakinan masih saja berdebat yang benar yang salah yang ini yang itu. Apakah tuhan senang dengan perdebatan kalian, seakan engkau maha tau segalanya. 

Jakarta melihat kalian, apakah kalian tidak malu tinggal ditempat-nya. Tapi kalian memperdebatkan keyakinan, sampai suatu saat nanti jakarta akan berbicara, kenapa bisa satu sama manusia mengkafirkan manusia lain. Engkau manusia, kenapa engkau berfikirkan seperti bukan manusia. Intoleransi sudah hilang. Yang berteriak toleransi pun demikian, bukan malah menenangkan malah memperdebatkan soal aliran. Bukan jakarta saja yang akan menangis, bukan. Semua akan menangis melihatnya. 

"kota yang kutinggali, kini tak ramah lagi, orang-orang yang lewat beri senyum pun enggan".

Kata kata miring diatas adalah sebuah lagu dari musisi terkenal yang sudah terlupakan dan tergantinkan dengan lagu lagu yang mungkin bisa dibilang cinta cintain, seorang sahabat pernah bertanya kepada temanya

"kenapa kau lebih memilih mencintai alam, negaramu, bahkan benda mati. Kenapa engkau tidak mencoba mencari pasangan untuk berpacaran? "

"engkau lihat sendiri, cinta manusia akan mati, buat apa mencintai yang belum halal. Buang buang waktu, engkau suatu saat akan menjadi hujan sahabatku. Yang rela jatuh berkali kali padahal belum tentu pelangi itu akan muncul"

Sahabat itu akhirnya berfikir, kenapa saya bisa mencintai perempuan tanpa restu dari orang tuanya, apakah jakarta akan merestui rakyatnya juga kalau semua keindahan bernuansa hijau sudah dijadikan rumah rumah kaca. Maafkan titik kecil yang masih mencari arti warna sesungguhnya, jakarta pasti akan memaafkan semua hal. Hitam tak selamanya hitam, merah harus ada didalam hidup untuk semangat kedepan, membangun impian kecil. Jakarta pasti mengetahui setiap keinginan rakyatnya, maafkan rakyat mu yang hanya bisa menyimpam sebuah keresahan dalam tulisan, suatu hari nanti jakarta akan kembali menjadi desa yang lebih indah lagi. Dimana setiap orang tidak menjadi individu tapi merangkul antar sesama. 

Cerita kaum kecil

Jakarta 16 mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun