Bisa dilihat diatas, tank-tank "medium" - dengan pengecualian AMX-30 dan T-55 - seperti pendapat para "pakar" adalah apa yang dikategorikan sebagai "tank ringan". Tank tempur utama dengan bobot yang diidealkan oleh para "pakar" dan "pengamat" tersebut hanya ada di generasi awal keluaran tahun 50 dan 60an yang kandungan teknologinya sudah terlalu tua untuk bisa menjawab tantangan perang modern. Dari penjelasan diatas juga bisa dilihat bahwa rata-rata negara yang mengoperasikan tank-tank ringan, memposisikan tank-tank ringan tersebut sebagai komponen pendukung atau suplemen Main Battle Tank (MBT) yang juga mereka gunakan dan bukan sebagai komponen utama sebagai ujung tombak penyerangan dan pertahanan.
Mengenai bobot MBT Leopard 2A6 yang dinilai terlalu tinggi untuk medan dan jalanan di Indonesia, kita bisa menyikapinya dengan kritis. Dengan mengambil acuan satuan tekanan permukaan tanah (ground pressure) dari kendaraan berbobot puluhan ton yang disebar merata oleh permukaan tapak jejak (track)-nya, tank tempur utama memiliki tekanan permukaan tanah sebesar 14-15 psi yang setara atau bahkan lebih ringan dibanding tekanan permukaan tanah dari orang yang berlari (16 psi), seperti yang dapat dibaca dari sumber ini dan ini. Menarik untuk dicermati bahwa artikel wikipedia mengenai ground pressure ini mengambil contoh tank M1 Abrams yang lebih berat dibanding Leopard 2 (67-70 ton vs 62 ton). Dari sini bisa dinilai bahwa penilaian mengenai tank Leopard 2 yang berbobot terlampau besar untuk Indonesia adalah sebuah kekhawatiran tak berdasar dan menjadi sebuah mitos yang selalu diulang-ulang.
Mitos ini mungkin timbul sebagai pembenaran akan rencana pembelian MBT Challenger dari Inggris oleh TNI di dasawarsa awal hingga pertengahan 90-an, yang kemudian ternyata berbuah tank ringan Scorpion. Menurut sebagian kalangan, dikatakan bahwa tank Scorpion yang akhirnya dimiliki oleh TNI-AD dibeli dengan mengeluarkan dana seharga Challenger - yang bila memang benar adanya, merupakan hal yang lumrah terjadi pada masa-masa itu.
Lalu mengenai kondisi alam Indonesia yang berhutan lebat dan berbukit serta bergunung-gunung, wilayah Indonesia yang masih berhutan lebat ada di sebagian Sumatra, Kalimantan dan Papua. Untuk Papua, penggelaran MBT mungkin memang hanya terbatasi pada daerah perkotaan atau daerah terbuka di pesisir. Tapi untuk daerah-daerah lain, dataran Riau dan juga hamparan kebun sawit di Kalimantan hanyalah dua contoh dari sekian banyak tempat dimana MBT tidak akan menemui kesulitan berarti untuk bermanuver. Lalu bila argumennya dikaitkan dengan kondisi perbukitan di sebagian wilayah Indonesia lainnya, medan berbukit justru bisa dimanfaatkan menjadi "Force Multiplier" dengan menerapkan taktik seperti Hull Down dan "Hit and Run" yang memanfaatkan kondisi geografis yang ada disekitarnya.
Kemudian kita mendapati alasan lain yang dikemukakan mengenai kecilnya kemungkinan Indonesia akan diinvasi oleh kekuatan negara asing. Untuk ini, seberapapun kecilnya kemungkinan tersebut, bukankah lebih baik bila TNI kita memiliki kemampuan untuk mengatasi segala ancaman yang mungkin timbul? Serangan tank-tank negara asing memasuki wilayah Indonesia tidak hanya akan masuk melalui perbatasan-perbatasan darat seperti di Kalimantan. Tapi pendaratan amfibi musuh yang mengerahkan MBT di sepanjang garis pantai Indonesia bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kemampuan tersebut. Tanpa kekuatan penangkal yang memadai, dalam kondisi terburuknya, pendaratan amfibi musuh di Banten dan di Cirebon akan dengan mudah menusuk langsung ke ibukota. Lalu bilamana itu terjadi berapa ribu nyawa prajurit TNI yang akan melayang sia-sia karena tidak diberikan kekuatan tempur yang mampu menahan gempuran MBT musuh?
Indonesia sendiri pernah mengalami pendaratan amfibi besar-besaran sewaktu masih bernama Hindia Belanda di tahun 1942, ketika tentara Jepang mendarat di Bangka, Palembang, Tarakan, Balikpapan, Eretan Wetan, Teluk Banten serta Merak dan beberapa tempat-tempat lain di Nusantara dan walaupun pada masa itu Jepang hanya membawa tank ringan, hal ini tidak bisa dijadikan indikasi mengenai cocok atau tidaknya tank yang berbobot lebih berat untuk dibawa disini melainkan menunjukkan doktrin bala tentara Jepang yang masih bertumpu kepada serbuan infantri secara massal.
IV. Penutup
Fakta bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang menjadikannya sulit untuk diduduki bukan suatu alasan untuk menjadikan kita "complacent" atau menganggap bahwa invasi adalah suatu hal yang hampir mustahil, seperti pendapat yang menyatakan bahwa serangan langsung lewat darat dari perbatasan utara di Kalimantan adalah suatu hal yang tak akan bisa dilakukan oleh negara asing. "Perang adalah tipudaya" menurut sabda baginda Rasul S.A.W., dan tipudaya termutakhir dari kekuatan musuh adalah mengeksploitasi hal-hal yang dianggap mustahil dilakukan oleh pihak yang diserang. Lagipula, dengan bantuan teknologi tinggi berupa satelit militer negara asing yang bersangkutan yang telah memetakan medan Indonesia, bukanlah satu hal yang sulit untuk merancang pendadakan menerobos hutan dan perbukitan yang selama ini dianggap tidak bisa ditembus oleh mereka-mereka yang abai mengenainya.
"Si vis pacem, para bellum". Berharap damai, bersiaga perang. Adalah ungkapan yang jamak digunakan dimana kekuatan militer yang memadai akan menjamin negara-negara lain untuk menghormati dan menyegani negara yang bersangkutan serta tidak berupaya untuk melakukan penyerangan. Kita boleh memandang negara-negara di sekeliling kita sebagai "tetangga" dan "kawan" tapi itu bukan berarti kita membiarkan opini-opini yang memandang rencana modernisasi dan penguatan TNI sebagai suatu hal yang berlebihan menjadi kian bergaung yang pada akhirnya bisa mempengaruhi para pengambil keputusan di negara ini, apalagi bila pendapat-pendapat itu datang dari kalangan-kalangan yang tidak memiliki pengetahuan mengenai militer dan hanya berdasarkan pada kepentingan mereka semata.
Bila pendapat-pendapat semacam itu datang dari para purnawirawan, kita tetap harus mencermati dan menyikapinya dengan kritis. Perkembangan teknologi militer, taktik dan strategi perang yang selalu dinamis, harus diikuti dan bahkan diantisipasi dengan dinamis pula. Dan kenyataan di lapangan yang ada di masa para purnawirawan itu masih berdinas aktif, tidak lantas menjadikannya sama dengan kenyataan lapangan sekarang ini apalagi yang akan dihadapi di kemudian hari. Untuk menghadapi dan mengantisipasi hal inilah terletak urgensi memperkuat TNI-AD dengan kekuatan pemukul modern yang salah satu bentuknya berupa Main Battle Tank, selain program-program modernisasi yang juga tengah dijalankan oleh TNI-AU dan TNI-AL dengan akuisisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) modern yang dibutuhkan oleh masing-masing angkatan tersebut.
Terakhir, walaupun bukan yang paling akhir, dalam hal pengadaan MBT untuk menunjang kemandirian alutsista nasional, pengadaan MBT tentunya akan membuka kesempatan bagi industri-industri strategis nasional untuk bisa menelaah, membedah dan mempelajari teknologi-teknologi yang dikandung di dalamnya. Hal ini berlawanan dengan opini yang menyatakan bahwa pembelian MBT dari luar hanya akan mematikan kreasi anak negeri, karena tanpa adanya akuisisi seperti ini, tuntutan akan dipakainya produk (MBT) dalam negeri seperti digemakan oleh beberapa kalangan hanya akan menjadi sebuah omong kosong yang tidak realistis. Berikanlah kesempatan bagi ahli-ahli Indonesia untuk belajar dengan memberikan "buku" pelajaran dan "bahan praktek" langsung, dan dalam jangka waktu 10-20 tahun kedepan kita akan melihat karya-karya anak bangsa yang akan semakin membanggakan kita semua.