Terkadang memang kita sangat menghormati hati dan perasaan pelaku kejahatan karena  kita merasa sebagai manusia beradab. Tapi beradabkah yang mereka perbuat? janganlah sisi keberadaban kita justru mengorbankan hati dan perasaan para korban tak berdosa.
Kini kita kian memahami mengapa Tuhan memerintahkan umat manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya. Sebab dengan adanya pergaulan bebas antar lawan jenis, memang pada awalnya terasa menyenangkan bagi umat manusia. Namun seiring waktu, hal itu berubah biasa-biasa saja serta membosankan, hingga selera pun berganti. Ketika free sex dianggap tak beda jauh dengan wisata kuliner, maka tak ada bedanya manusia dengan makhluk lain yang dibawah derajatnya.
Aturan perzinaan terbaru dalam KUHP jelas mengatur kehidupan manusia agar lebih berderajat, karena apabila dibiarkan, maka bisa dibayangkan betapa kacau balaunya garis keturunan di muka bumi ini. Kita tidak akan membicarakan tentang kisah Nabi Luth dan cerita-cerita lain dalam kitab suci, namun setidaknya mari berpikir realistis, mengapa sebuah sikap menegakkan hukum Tuhan justru malah dianggap aneh dan bermasalah.Â
Ketika kemudian kita dituntut untuk menghormati perbedaan itu, berarti harus ada penghormatan yang serupa, yakni dengan tidak berbuat demonstratif sekehendak hati  merusak generasi muda demi memuaskan nafsu birahi.
Perbedaan kultur dan budaya antara negara kita yang menjunjung tinggi norma-norma dan budaya timur dibanding negara lain. Sehingga wajar bila bangsa kita memiliki pasal tentang larangan perzinaan, sebab Indonesia memiliki ciri khas moral pancasila, yakni mengakui adanya Tuhan.Â
Ketika semua kehidupan dituntut bebas sebebas-bebasnya dengan mengabaikan norma-norma, berarti masuk kategori pelanggaran HAM juga, bahkan pelanggaran hak Tuhan untuk mengatur umat Nya. Sehingga wajarlah bila di negara sekuler, antara agama dan kehidupan kenegaraan dipisahkan sebab dianggap mengganggu.Â
Living law yang dianggap momok
Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa pemerintah akan mengakui living law atau hukum yang hidup di masyarakat, juga menjadi sumber perdebatan. Apalagi setelah  HRW menyebut, Indonesia memiliki ratusan peraturan daerah yang diilhami syariah dan peraturan lain yang mendiskriminasi perempuan, agama minoritas, dan kelompok LGBT. Sehingga Pasal 2 KUHP dicurigai dapat digunakan untuk mengadili berdasarkan peraturan daerah yang dinilai diskriminatif.
Patut kita apresiasi bahwa memang negara-negara barat sangat menjunjung tinggi HAM. Namun ketika mereka mengkritisi aturan dalam suatu negara, maka sudah sewajarnya bila mereka melihat dimana aturan yang dikritik diberlakukan, tidak serta merta mengkritik membabi buta. Sebab norma yang berlaku di suatu negara, belum tentu sesuai bila diterapkan di negara lain.Â
Seperti misal bila kita berbicara tentang norma kesopanan dan kesusilaan. Sesuatu hal yang dianggap melanggar kesopanan dan kesusilaan di sebuah negara, terkadang di negara lain justru dianggap biasa saja. Contohnya memakai bikini di tempat-tempat umum di negara kita akan dianggap aneh dan melanggar norma kesopananan. Namun di belahan dunia barat, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh, sebab telah menjadi kebiasaan.
Ataupun contoh menjaga kesucian adalah sebuah keharusan sebagai bangsa beradab dan relijius. Namun hal tersebut tidak akan berlaku di belahan negara barat, sebab seorang perempuan justru akan dianggap kurang pergaulan (kuper) bila masih perawan.