Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pasal Perzinaan Simbol Darurat Penyelamatan Generasi Negeri Ini

20 Desember 2022   13:40 Diperbarui: 20 Desember 2022   13:43 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelecehan anak (pic: hellosehat.com)

Dibalik kekurangan yang ada, patut disyukuri terdapat juga beberapa kelebihan. Namanya juga bangsa yang mencoba menyempurnakan beleid yang ada, sebab perlu waktu lama untuk membuat aturan hukum sendiri selengkap KUHP yang merupakan peninggalan kolonial.

Namanya aturan yang dibuat manusia, sudah pasti ada kurang lebihnya. Dan sebagai sebuah aturan hukum tertulis sudah seharusnya fleksibel, luwes, dan mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga dengan pasal-pasal KUHP pastinya ada beberapa yang telah usang dan ketinggalan zaman.  

Satu pasal yang paling disorot adalah Pasal 411 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II. 

PBB pun mengkritik habis-habisan pasal ini karena dianggap melanggar HAM, demikian juga dengan organisasi dan artis-artis barat lainnya. Tidak beda jauh dengan zaman penjajahan, mereka memaksakan pendapat dan maunya. Hidup bersama tanpa nikah alias kumpul kebo tentu bukan masalah besar di dunia barat, sebab disana telah menjadi adat kebiasaan. Dan negara kita tidak pernah mengkritik kebiasaan mereka, malah justru mereka menularkan kebiasaan itu ke negara ini.

UNO alias PBB ikut cawe-cawe sebab pasal ini dianggap melanggar HAM, melanggar privasi seseorang, pemerintah dianggap terlalu turut campur dengan privasi kehidupan rakyatnya , terutama mengkriminalisasi LGBT, sebab ancaman pidana tersebut baru dapat berlaku apabila ada pihak yang mengadukan atau dengan kata lain delik aduan. 

Bagi yang sudah menikah, maka pihak yang berhak mengadukan adalah pasangan mereka, yakni suami atau istri. Sedangkan bagi mereka yang tidak terikat pernikahan, maka yang bisa mengadukan adalah orangtua atau anaknya. Namun bagi perkawinan sesama jenis yang tidak diakui secara hukum di Indonesia dinilai berpotensi mengkriminalisasi, sehingga Human Right Watch (HRW) menuding pasal ini melarang  perilaku seks sesama jenis

Bila dahulu pencabulan dilakukan  pelaku terhadap anak yang berbeda jenis, kini tampaknya pelecehan sudah tak pandang bulu. Moralitas dan agama yang dicampakkan membuat pelecehan bisa menimpa anak berjenis kelamin apa saja.  Perzinaan lawan jenis yang kian marak, membuat selera cabul berganti. 

Sehingga wajar saja bila muncul pasal 414 tentang Percabulan, yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III; secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun; atau yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Pada sebagian orang yang memiliki anak-anak dan berpikiran jauh tentang masa depan, pastinya sangat setuju dengan pasal KUHP terbaru di atas. Mereka akan  menjaga dan melindungi anak-anaknya sebagai pertanggungjawaban mutlak pada Tuhan, tentunya tak rela bila buah hatinya terusak dan terusik. 

Sumber pemikiran utama adalah nasib generasi penerus negeri ini, bukan sekedar mencampuri ranah pribadi seseorang. Meskipun pernah muncul pendapat, bahwa percuma saja menghukum mati pelaku pencabulan anak karena tidak memberi efek jera dan melanggar HAM. Lalu adakah cara lain yang lebih efektif dan memberi efek jera? 

Ketika pemikiran pelanggaran HAM yang lebih menghantui saat menghukum predator, lalu bagaimana dengan pedhopilia yang mereka lakukan? Apakah juga tidak melanggar HAM? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun