Dengan Kurikulum Merdeka, siswa diharapkan tidak hanya mampu menguasai teori, tapi juga mampu mempraktekkannya secara langsung. Sehingga saat telah terjun ke dunia nyata, dia tidak kagok lagi, sebab pola berpikirnya telah terbiasa berpikir kritis, bekerjasama dan memahami perbedaan di sekitarnya.
Peta pendidikan yang dibuat beberapa waktu lalu, sempat dihebohkan dengan menghilangnya unsur agama di dalamnya. Padahal tanpa harus negative thinking, mungkin dengan tidak dicantumkannya unsur agama, karena dianggap telah  melebur dalam praktek kehidupan nyata, sehingga tidak perlu lagi dicantumkan sebagai teori.Â
Meskipun kemudian kita memahami keinginan publik bahwa penyantuman unsur agama, penting sebagai sebuah penegasan, agar tidak terkesan seperti negara komunis yang memisahkan unsur agama dari segala segi kehidupan.
Ketika pola berpikir seorang guru sudah merdeka, maka ia akan menularkan hal yang sama pada para siswanya, kemerdekaan berpikir tanpa harus takut mengemukakan pendapat meskipun berbeda.
Ketika membayangkan sebuah sekolah yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka, tentu saja bayangan kita akan melihat sebuah kondisi lingkungan pendidikan dengan siswa yang memang benar-benar telah merdeka. Merdeka bukan hanya dalam  pola mengajar, namun juga merdeka terhadadap pola pikir siswa, sehingga mampu melahirkan karakteristik siswa pancasilaias yang dikehendaki.
Terkadang sekolah yang telah menerapkan kurikulum merdeka dalam hal pembelajarannya mungkin memang telah sesuai, namun dalam hal pembentukan karakteristik  siswa masih kurang sejalan. Sehingga tak jarang masih ada siswa yang berlarian ketakutan, ataupun bersembunyi saat ditegakkannya sebuah peraturan, misal razia rambut. Bila kemudian siswa tertangkap, maka habislah riwayat rambut.
Ketika menjumpai kejadian seperti itu, lalu dimana penerapan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tutwuri Handayaninya? Bahkan terkadang aturannya pun rancu, misal kategori rambut pendek dalam kategori yang seperti apa. Sebab siswa yang beberapa hari sebelumnya telah memangkas rambutnya, namun tetap terkena razia juga akibat peraturan yang plin-plan.Â
Tidak asal-asalan mengukur panjang pendek rambut sesuai perasaan guru bersangkutan, sebab hal ini melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Anak kebingungan dengan aturan yang tak jelas. Lalu bagaimana anak akan dapat merdeka berpikir dalam pola pendidikan yang seperti ini?
Harus diakui masih banyak sekolah-sekolah di tanah air yang terbawa aturan-aturan lama warisan penjajah. Seperti aturan rambut pendek peninggalanJepang yang kemudian diadopsi oleh bangsa kita dengan alasan bentuk kedisiplinan. Meskipun dalam prakteknya tidak ada keterkaitan siswa berambut cepak dengan tingkat kecerdasannya.
Berbeda dengan sekolah-sekolah negeri, sebagian sekolah swasta dan sekolah ekspatriat lebih longgar dalam menerapkan aturan model rambut, mereka tidak memaksakan siswa harus potong semi botak atau botak sekalipun.Â
Hal ini menunjukkan bahwa pola pendidikan yang diterapkan tidak melulu penampilan luar, namun lebih terfokus pada hasil yang diperoleh. Sebab terkadang karena terlalu sibuk mengurusi penampilan luar, akibatnya terlupakan penampilan di dalamnya, sibuk berteori namun prakteknya amburadul.