Namun tampaknya China mampu menepis semua tuduhan yang mengarah ke negaranya, sehingga saat negara lain sibuk berjibaku dengan pandemi, justru akhirnya Chinalah yang bangkit menjadi pemenangnya dengan memimpin ekonomi dunia.Â
Akibatnya seluruh dunia terperangah, sebab selama sekian waktu jungkir balik mengeluarkan dana hingga berhutang demi mengatasi pandemi, justru China bangkit menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika.
Heran, takjub, bingung, curiga, namun tetap saja harus siap menghadapi kenyataan bahwa negara tirai bambu itu berhasil menyalip seluruh dunia dalam tingkat kekayaannya. Hal inilah yang membuat Amerika kian garuk-garuk kepala, tak ada Rusia, China pun menjadi saingan utama.
Peristiwa Holodomor
Berbicara tentang Rusia dan konfliknya dengan Ukraina, terkadang ada sisi dilema dalam melihat dan membelanya dari sisi siapa. Sebab di satu sisi, apabila kita melihat dalam posisi Rusia, Ukraina adalah pernah menjadi negara bagiannya, sehingga jika kini ada keinginan mencaploknya kembali, mungkin wajar saja. Namun disisi lain, jika kita melihatnya dari posisi Ukraina, aneksasi Crimea pastilah menjadi alasan kuat sehingga berani menyatakan kemerdekaan dari Rusia.Â
Masih ingat peristiwa Holodomor? Peristiwa kelaparan yang merenggut nyawa jutaan orang di Ukraina pada 1932-1933, disinilah titik balik utama dalam hubungan Rusia-Ukraina, sebab para sejarawan di Kiev menggambarkan hal tersebut sebagai genosida yang diatur Joseph Stalin pemimpin Soviet saat itu dengan tujuan menghukum warga Ukraina karena menentang kolektivisasi paksa lahan pertanian.Â
Namun hingga saat ini, Rusia tampaknya selalu berusaha tidak mengungkit penindasan era Stalin dengan membantah narasi Kiev, dengan menganggap peristiwa itu akibat wabah kelaparan yang menghancurkan kawasan Asia Tengah dan Rusia.
Dengan kejadian di masa lalu itu, kadang kita jadi berpikir, kekejaman di luar batas kemanusiaanlah mungkin yang menyebabkan Ukraina berani mengambil langkah melawan Rusia.
Ukraina dianggap negara miskin karena selalu bergantung pada donor internasionalnya, sehingga tidak dapat meminjam di pasar global. Apalagi sejak 2014 hidup dalam ancaman permanen Rusia.
Karena miskin itulah yang membuat Ukraina tidak ada apa-apanya dibanding Rusia, apalagi dalam segi persenjataan. Namun jangan lupa, ada pihak ketiga yang bagaikan pahlawan menolongnya dengan melengkapi alutsista, yakni Amerika dan negara-negara sekutunya. Meskipun di satu sisi kita pasti bertanya-tanya, yakinkah tidak ada tujuan apa pun dibalik semua itu, bukankah sudah lazim berlaku peribahasa tak ada makan siang yang gratis?
Meskipun dikategorikan negara miskin, namun menurut ekonom di firma investasi Renaissance Capital, Sofya Donets, menyebut Ukraina saat ini berada dalam posisi yang lebih kuat daripada 2014 untuk menahan tekanan keuangan. Sebab setelah masuknya bantuan Barat, Ukraina memiliki lebih dari dua kali lipat cadangan keuangan negara. Apalagi Uni Eropa menjanjikan 1,2 miliar euro (Rp 19,79 triliun), serta adanya dana baru dari Dana Moneter Internasional (IMF).