Santer terdengar berita kebingungannya para ilmuwan mencari tempat perlindungan yang mampu memberi kejelasan nasib dan masa depan setelah lembaga penelitiannya melebur ke BRIN, tak beda jauh dengan para penyidik dan pegawai pecatan KPK yang mengadukan nasibnya ke Komnas HAM saat kisruh TWK
Bermula dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) Pasal 121 yang mengatur pembentukan BRIN dengan tujuan menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi. Dari sinilah bergulir kebijakan peleburan puluhan lembaga ke dalam BRIN.
Peleburan yang terjadi diprediksi oleh banyak pihak akan mendatangkan beragam permasalahan. Sebab publik tidak akan lupa bagaimana kisruhnya peralihan pegawai dan penyidik komisi pemberantasan korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).Â
Setali tiga uang dengan KPK, pengintegrasian puluhan lembaga ke BRIN juga diikuti pengalihan pegawai negeri sipil, perlengkapan, pembiayaan, dan aset lembaga riset. Selain dikoordinasi oleh Menpan RB juga melibatkan unsur Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan lembaga terkait lainnya.
Tekhnisi tsunami diberhentikan mendadak
Peleburan dengan imbas permasalahan yang diprediksi masyarakat mulai terlihat, seperti yang baru-baru ini terjadi, saat 40 teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang baru datang bersama Kapal Riset (KR) Baruna Jaya dari melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami, tiba-tiba mendapat perintah lesan dari perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk mengosongkan kapal. Sedemikian mendadak, tanpa pertemuan resmi atau pun pengumpulan semua ilmuwan dan awak kapal.
Tekhnisi proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System -- Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) KR Baruna Jaya berangkat sejak satu bulan lalu, mengelilingi Selat Sunda, Samudra Hindia, Malang, Denpasar, bahkan Sumba saat terjadi gempa 7,5 skala Richter.Â
Proyek yang merupakan hasil pengembangan BPPT bekerja mendeteksi tsunami dengan  menggunakan sensor di dasar laut untuk melihat perbedaan-perbedaan tekanan air. Data dari sensor secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem, yang kemudian mentransmisikannya ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center -- Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta. Sebuah proyek yang sangat penting dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami.
Bahkan kabarnya, nakhoda KR Baruna Jaya yang sudah 19 tahun mengabdi, Kapten Ishak Ismail, pada 2015 pernah dianugerahi Jokowi Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya karena berhasil melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata Laut Jawa. Namun tampaknya nakhoda tersebut akan kehilangan mata pencahariannya karena ia hanya Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri (PPNPN) BPPT yang tidak termasuk dalam opsi yang ditentukan BRIN.
Jika tiba-tiba seluruh ilmuwan dan awak kapal harus diberhentikan begitu saja, lalu bagaimana nasib proyek ini selanjutnya? Yakinkah akan ditangani oleh mereka yang sudah berpengalaman seperti ilmuwan dan tekhnisi sebelumnya?
Permasalahan yang bisa ditebak tidak berbeda jauh dengan yang dialami oleh pegawai dan penyidik KPK akibat tes wawasan kebangsaan (TWK) beberapa waktu lalu, nasib yang tidak jelas, hingga berujung pada pemberhentian. Bahkan yang paling mengerikan menimpa Tekhnisi proyek InaTEWS, pemberhentian tanpa pertemuan resmi, tanpa bukti hitam di atas putih, hanya berupa kata lesan yang terucapkan.