Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Bekerja bagi Ibu Pekerja: Diam Ikhlas, Nangis, atau Ngamuk?

30 Desember 2021   13:58 Diperbarui: 1 Januari 2022   08:59 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dilema ibu pekerja.| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Memang saat melahirkan, wanita pekerja memiliki hak cuti yang berhak dinikmati, tapi saat cuti telah habis, kewajiban kembali bekerja memanggil, saat itulah terasa berat meninggalkan anak. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Wanita yang baru melahirkan terbiasa dekat dengan buah hatinya, saat harus meninggalkan, maka akan berkecamuk segala macam rasa kekhawatiran tentang nasib anak, khawatir terjadi sesuatu, khawatir hilang, dan segala macam kekhawatiran lain. Akibatnya kaki berat melangkah.

Kecemasan berganda sebab harus meninggalkan anak pada orang yang dirasa kurang bisa dipercaya, atau pada sebuah tempat penitipan yang jauh dari rasa aman.

Cemas kalau anak akan disakiti, kelaparan, dilukai oleh pembantu, sehingga memicu kegelisahan saat meninggalkannnya.

Berbahagialah Anda para ibu pekerja, jika saat berangkat bekerja meninggalkan anak bersama dengan orang yang bisa dipercayai, dalam tempat dan kondisi lingkungan yang aman, sehingga saat bekerja, kondisi batin Anda tenang, maka hasil kerjapun optimal.

Dilema Ibu Pekerja Sebatangkara

Berikut cerita seorang ibu pekerja yang sempat berkonsultasi pada saya beberapa waktu lalu. Saat usai menjalani operasi besar di sebuah rumah sakit, dia dihadapkan pada dilema sulit, harus bekerja kembali, sementara kondisi tubuhnya belum pulih. Namun ia sudah harus dihadapkan kondisi kebingungan dimana akan menitipkan anaknya, sementara orangtuanya sudah tiada lagi. 

Ingin menitipkan ke tempat penitipan, rasa tak mungkin sebab uangnya telah habis terkuras untuk biaya operasi. Tak ada pilihan lain selain meminta bantuan pada keluarga suaminya untuk menjagakan anak saat bekerja. 

Tapi ketulusan dan kebaikan istri yang patuh dan taat hingga bersedia mengorbankan kebahagiaannya mengikuti langkah suaminya ke tanah kelahirannya justru tak diimbangi keadilan sikap yang baik dari keluarga suaminya. Mereka menolak secara halus untuk menjagakan anaknya dengan seribu alasan yang dibuat-buat.

Ibu pekerja itu hanya bisa sedih, menangis, dan segala rasa berkecamuk. Ikatan pernikahan telah memaksanya jauh dari keluarganya sendiri, hingga harus pasrah pada nasib, bekerja kembali lebih keras agar mendapatkan uang lebih banyak demi dapat membayar pembantu yang akan menjaga dan merawat anaknya.

Sungguh sebuah kisah yang pahit, sebab kesetiaan dan ketulusan berkorban tak disertai keadilan sikap dari pihak yang dicintai. Kita serng menjumpai keegoisan seperti itu, keluarga pasangan yang selalu memaksa saat memerlukan bantuan materiil ataupun moril, namun di lain waktu saat diperlukan bantuannya, justru menolak mentah-mentah dan menghindar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun