Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Wanita Bekerja Sementara Suami di Rumah Saja, Bagaimana Menyikapinya?

6 Desember 2021   15:37 Diperbarui: 6 Desember 2021   17:50 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja di rumah (Sumber: omgimages)

Kesempatan kerja yang sulit didapatkan para kaum Adam ataupun terkena PHK membuat mereka mau tak mau harus diam di rumah menggantikan posisi istri mengurus rumah dan anak-anak

Jika kaum hawa ingin dimengerti, terlebih lagi dengan kaum Adam. Apalagi di zaman emansipasi dan keterbukaan seperti sekarang ini, dengan jumlah wanita mandiri kian mendominasi, bahkan lowongan pekerjaan pun banyak dikuasai wanita, akibatnya pria merasa makin tersisihkan.

Meskipun di era keterbukaan yang semakin gila karena diakuinya hubungan selain antara pria dan wanita, namun hubungan normal antar lawan jenis tetaplah lebih indah untuk diuraikan. 

Terlebih dengan kelahiran anak-anak di kelanjutan hubungan berikutnya, yang tentunya tidak bisa diraih oleh pasangan lainnya kecuali dengan cara mengadopsi, yang tentunya ada kesan kurang memuaskan namun niatan baik ini patut diapresiasi.

Di zaman seperti sekarang ini, emansipasi sungguh melesat dengan cepat, hingga kadang melebihi dan melampaui batas-batas kewajaran dari kodrat yang ditentukan Tuhan, sehingga wanita terkadang lepas dari kontrol dengan posisi dan jabatan melebihi pria, tentunya membuat pria merasa disisihkan. 

Meskipun tak semua pria bersikap seperti itu, namun mayoritas pria dengan sikap patrilineal kental tentunya tidak akan dapat menerima begitu saja jika hanya menjadi pemegang hubungan nomor dua.

PHK dan tak ada kesempatan kerja 

Memang tak semua wanita memiliki jabatan dan posisi tinggi dalam sebuah pekerjaan, namun setidaknya berhasil untuk memperoleh pekerjaan dibanding pria tentunya sebuah gengsi dan prestise tinggi.

 Makanya tidak mengherankan bila istilah ibu rumah tangga kini mulai terkalahkan dengan mulai banyaknya bermunculannya bapak rumah tangga.

Kesempatan kerja yang sulit didapatkan para kaum Adam, membuat mereka mau tak mau harus diam di rumah menggantikan posisi istrinya dalam menjaga buah hati, membersihkan rumah, dan segala pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh perempuan. 

Illustrasi bapak rumah tangga (pic: tvtropes.org)
Illustrasi bapak rumah tangga (pic: tvtropes.org)
Mungkin bila si istri memiliki gaji berlebih, dapat menyewa pembantu untuk meringankan kerja suaminya, sebagaimana para suami pekerja apabila memiliki gaji lebih akan menyewa pembantu demi meringankan pekerjaan istrinya di rumah. 

Namun bila hal itu tidak memungkinkan, maka mau tak mau, suami atau istri yang tidak bekerjalah yang harus turun tangan mengerjakan semuanya.

Bagi pria yang telaten merawat anak dan mengurusi pekerjaan rumah tangga, melakukan semua hal itu bukanlah hal yang menyulitkan. 

Namun bagi para pria yang tak pernah lepas dari kodrat dan mengagungkan patrilineal, sering merasa depresi melakukan semua, hingga tak jarang berujung pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang bisa menimpa anak, ataupun istri yang sudah banting tulang kerja di luar rumah.

Terkadang memang tidak mudah untuk memahami pola pikir yang harus dikembangkan saat pernikahan, sebab sesaat sebelum menikah, cinta telah membuat mabuk kepayang dan melenakan segalanya, bahkan kekurangan pasangan sepertinya bukan hal besar. 

Sehingga saat cinta telah melekat dan ibarat "tahi kucing rasa coklat" seperti di lagu-lagu, maka meleburlah keindahan itu dalam sebuah hubungan yang lebih pasti, yakni pernikahan. 

Ketika pernikahan telah dijalani, bisa jadi pasangan tiba-tiba terkena PHK, atau bisa juga ketahuan ternyata tidak bekerja. 

Segalanya baru terbongkar saat pernikahan telah berjalan, sesuatu yang sulit untuk disesali. Nasi sudah menjadi bubur, bukan tak mungkin cinta yang semula indah berubah hancur menjadi sebuah perceraian, bahkan jika dipertahankan pun bisa menjadi bumerang, sebab meskipun keteguhan cinta dapat tetap membuatnya utuh, namun tetap menuntut konsekuensi pengorbanan dari keduanya.

Fenomena bapak rumah tangga dan cara bijak menyikapi

Lalu, bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan bila ternyata justru pria yang kehilangan pekerjaan, ataupun tidak memperoleh kesempatan bekerja sehingga perannya terbalik menjadi bapak rumah tangga? 

Di sinilah pemahaman dan pengertian wanita harus didapatkan, karena diam-diam ternyata pria juga ingin dimengerti.

Sikap yang harus diambil jika seandainya waktu membuat istri menjadi pencari nafkah, sedangkan suami menjadi bapak rumah tangga, antara lain:

Memperdalam sikap pengertian 

Pihak istri dengan kelapangan hati harus memahami bahwa si suami sedang tidak memperoleh keberuntungan dalam mencari nafkah, sehingga istri mampu menerima posisi suami yang lebih memlih di rumah untuk mengurus rumah dan anak-anak. 

Diperlukan sikap ikhlas dan pengertian mendalam dari istri. Sebab bila tidak, maka yang akan terjadi adalah kejengkelan dan pertengkaran karena merasa suami tidak mampu berperan apa-apa dalam mencari nafkah. 

Padahal meski terlihat tak mencari nafkah, namun ada jasa tak terlihat yang sangat membantu, yaitu mengurus rumah serta merawat anak-anak. 

Demikian juga sebaliknya, suami harus tetap berjiwa besar, jangan pernah merasa haga dirinya hancur lebur hanya karena istri yang mencari nafkah, harus bisa legowo.

Sebab keberuntungan mencari nakah sedang di pihak istri, sehingga suami harus ikhlas mengurus rumah dan anak-anak. 

Pengertian dan keikhlasan pasangan suami istri yang akan menjadi kunci kekuatan rumah tangga dengan peran yang terganti.

Tidak terlalu banyak menuntut

Keikhlasan menjalani kehidupan rumah tangga dengan posisi peran yang terganti akibat istri mencari nafkah sangat diperlukan, agar melahirkan sikap saling memahami, dan bukan saling egois menuntut. 

Misalnya, saat istri pulang ke rumah setelah bekerja, janganlah karena suami merasa telah menyelesaikan perannya mengurus rumah, justru menuntut istri melanjutkan kerja mati-matian menguus rumah dan anak-anak. 

Sedangkan istri dengan posisi yang merasa sudah mencari nafkah, juga janganlah menuntut berlebihan pada suami yang tidak masuk akal, yang ujung-ujungnya adalah ancaman bercerai bila suami tak mampu memenuhi segala kenginannya.

Pemahaman mendalam

Pihak suami berusaha memahami dirinya sendiri, dengan demikian dia mampu menerima keadaan dirinya apa adanya tanpa harus depresi dengan tuntutan patrilineal dan harga diri, yang justru akan berakibat kegelisahan, depresi, putus asa, yang ujung-ujungnya akan membuat kehidupan rumah tangga menjadi tidak nyaman, kekecewaan, dan keputus-asaan, hingga berujung KDRT.

Pihak istri juga harus mampu memahami, bahwa di zaman globalisasi seperti sekarang ini, merupakan suatu keberuntungan dan kehormatan saat lowongan pekerjaan berpihak kepadanya.

Ambil hikmah positif bahwa itu berarti tidak dua-duanya menganggur, akan bagaimana nasib kehidupan rumah tangga dan anak-anak bila pasangan dua-duanya tidak bekerja. 

Dengan pemahaman mendalam dari istri, maka akan lahir rasa ikhlas saat tuntutan mencari nafkah itu datang, tanpa harus merasa terbebani karena hal itu tidak adil, sehingga tidak timbul kebencian berujung KDRT.

KDRT wanita pencari nafkah

KDRT di zaman sekarang tidak hanya didominasi pria terhadap wanita, namun sebaliknya banyak dijumpai wanita melakukannya terhadap pasangan. 

Bukan hanya kekerasan verbal seperti menghina suami yang tak mampu mencari nafkah, atau pun istri menyombongkan diri sebagai satu-satunya kekuatan terbesar pencari nafkah, bahkan bisa juga berupa kekerasan fisik, seperti tamparan, lemparan wajan, panci, dan berbagai kekerasan fisik lainnya.

Banyak orang tidak mempercayai KDRT bisa dilakukan oleh pihak wanita, sebab dunia hanya tahu wanita adalah makluk yang lemah. Namun kenyataannya banyak hal-hal yang berbau kekerasan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh makhluk lembut yang seharusnya menjadi malaikat pelindung bagi keturunannya.

Contoh dari KDRT dengan basis kekerasan verbal lainnya akibat istri bekerja di luar rumah adalah rongrongan terhadap suami untuk menceraikannya, ataupun kebisanan yang berujung perselingkuhan. 

Dominannya istri mencari nafkah, sementara suami menurus rumah tangga dan anak-anak membuat perselingkuhan menjadi contoh kekerasan verbal yang tidak terdeteksi. Namun bagai fenomena gunung es, sepertinya sedikit, tapi banyak dijumpai. 

Itulah mengapa perlu langkah dan pemikiran bijak dalammenyikapi fenomena istri bekerja, sementara suami mengurus rumah tangga. 

Diperlukan pengertian, pemahaman, dan keiklasan dari kedua belah pihak, sebab bila tidak, maka yang akan terjadi adalah kehancuran dalam rumah tangga.

Rumah tangga dibangun oleh sebuah pasangan, maka sudah pasti yang dapat menjaga keutuhannya adalah kedua belah pihak yang bersangkutan, bukan orang lain. Dituntut keharusan adanya pengertian, pemahaman, dan keiklasan dari pasangan, sebab jika hal tersebut sudah luntur ataupun tidak ada sama sekali, maka akan berganti dengan sebuah titik jenuh dan kebosana. 

Bermuara dari rasa jengkel hingga pertengkaran, dapat berujung pada berpisahnya pasangan karena perceraian ataupun perselingkuhan.

Diperlukan pengertian yang besar, keikhlasan menjalani peran, agar cinta dapat tetap subur terpupuk, sebab bila tidak, maka tak akan ada lagi yang mampu dipertahankan.

Ternyata dalam hal beperan sebagai bapak rumah tangga, pria juga ingin dimengerti. Apakah Anda bapak rumah tangga itu? 

Berbahagialah bila pasangan sangat mengerti, memahami, dan rela menerima peran Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun