Surabaya sebagai sasaran yang paling diincar, membuat Belanda beserta antek-anteknya memaksa rakyat daerah setempat untuk menyerahkan diri, dengan beragam ancaman pembumihangusan dari udara, darat, dan laut.
Rakyat Surabaya yang sangat terkenal dengan jiwa pemberaninya melawan sampai titik darah penghabisan. Perlawanan yang dimotori oleh Bung  Tomo sangat terkenal dengan komando takbirnya demi membakar semangat rakyat Surabaya, dan hal itu terbukti ampuh dengan tewasnya Mallaby.
Semangat para pahlawan yang gegap gempita saat mempertahankan seluruh wilayah Indonesia dari keinginan bercokolnya kembali para penjajah tak sejalan dengan keadaan yang ada saat ini. Jika di jaman perjuangan meraih kemerdekaan, pahlawan  berusaha merebut tanah air dari kekuasaan penjajah, kini perjuangan di masa kemerdekaan saat ini, justru malah perang melawan bangsa sendiri demi merebut wilayah dan kekuasaan yang diinginkan.
Salah satu contoh termudah berperang dengan bangsa sendiri adalahi tawuran. Jika dipikirkan secara jernih, tawuran dipicu oleh sikap egoisme dan ingin menang sendiri, merupakan penjajahan model baru yang memicu perpecahan antar anak bangsa. Egoisme timbul karena dibumbui keinginan membela wilayah daerahnya, suku, dan kelompoknya sendiri, sangat pas menyuburkan bibit buruk sentimen primordialisme.
Di era penjajahan, bangsa kita tak pernah mampu mencapai kemerdekaan karena perjuangan hanya berdasar suku dan kedaerahan yang kuat. Tentunya kita ingat tentang Jong Java, dimana anggotanya adalah orang Jawa semua, demikian juga Jong Sumatera, Jong Ambon, dan masih banyak lagi. Hingga kemudian kesadaran untuk bersatu membuncah dngan kuat dari seluruh pemuda pelajar Indonesia, hingga melahirkan kongres Sumpah Pemuda yang menyatukan bangsa kita.
Di zaman kemerdekaan seperti sekarang, tragisnya justru yang sering kita tonton adalah tawuran, entah antar warga, yang notabene dewasa, yang seharusnya menjadi panutan dan contoh terbaik bagi generasi penerus bangsa, pada kenyataannya malah mengedepankan emosi daripada diskusi. Keinginan mempertahankan ego, kehormatan, serta wilayah kekuasaan menunjukkan sifat-sifat angkara murka yang lebih mementingkan kepentingan individu, kelompok, dan sepihak, dibanding kepentingan bangsa serta negara
Saat mereka yang disebut dewasa memberikan contoh emosi dan perilaku yang buruk, maka sudah pasti generasi penerus yang sedang bingung mencari identitas menyandarkan impiannya dengan salah kaprah meniru sosok dewasa yang doyan tawuran sebagai panutannya. Sehingga tidak mengherankan bila bangsa ini, mulai dari yang dewasa, hingga anak-anak doyan sekali tawuran dan keroyokan.
Seperti saat beberapa waktu lalu terjadi kasus pengeroyokan yang menimpa seorang murid sekolah dasar (SD) di Musi Rawas, Sumatera Selatan. Bocah berusia 12 tahun itu diduga dikeroyok oleh teman-teman sekolahnya hingga terluka parah dan koma. Sebagai siswa baru yang harusnya disambut dengan kehangatan dan keakraban karena belum memahami aturan di sekolah barunya, justru bocah kelas tiga ini  disambut cekcok oleh 3 siswa senior dan seorang adik kelas, sungguh mengenaskan!
Egoisme dan primordialisme
Belum lagi dengan banyaknya suguhan tawuran yang berseliweran di televisi. Ketersinggungan hanya karena merasa harga diri diinjak-injak, kepentingan individu dan kelompok dirampas, memicu pemikiran sesaat, berakibat tidak mengedepankan musyawarah. Padahal Indonesia dengan Demokrasi Pancasilanya mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Akibatnya kita terjebak dalam penjajahan terhadap bangsa kita sendiri yang berwujud: