Orangtua sibuk bekerja, agar anak tidak mengganggu pekerjaannya maka diberikanlah game, orangtua aman.Â
Pembantu di rumah, agar pekerjaannya tidak terganggu, diberikanlah anak majikan game, pembantu aman.Â
Produsen game menjual game, yang penting dapat duit, perusahaan aman. Lalu di mana titik kesalahan anak?
Beberapa waktu terakhir viral di media sosial ajakan melarang game untuk anak-anak, bahkan menghimbau pemerintah untuk memblokir situs game, yakinkah akan berhasil?Â
Usia anak-anak, apalagi jika menginjak usia pra remaja, ketika dilarang melakukan sesuatu, pasti akan makin penasaran.Â
Makin dilarang makin nekat, bahkan terkadang mereka berani melawan orangtuanya demi memuaskan rasa penasarannya.
Anak kecanduan game, kesalahan orangtua atau produsen game?
Berkaca dari pengalaman saya sewaktu kecil, memiliki teman-teman dengan karakter orangtua yang keras dalam menerapkan disiplin, disertai ancaman hukuman fisik dan verbal bila sang anak melakukan kesalahan.Â
Bahkan bukan hanya ayahnya yang super keras, demikian juga ibunya, mengadaptasi cara mendidik "tiger mom", dengan tujuan agar anak-anaknya berhasil sesuai yang diinginkan.
Dari sekian banyak teman-teman saya yang dididik dengan pola asuh super keras, memang pada awalnya berhasil. Mereka menurut, taat, dan tunduk patuh.Â
Mungkin karena tak ada pilihan lain sebagai anak-anak, daripada tidak makan, sebab penghentian asupan makan merupakan bagian dari tindak kediplinan yang diterapkan orangtua mereka.
Demikian juga larangan menonton TV. Tontonan televisi menjadi barang langka bagi mereka, memang ada sebagian teman yang diperbolehkan menonton TV, namun pada jam-jam tertentu saja dengan jatah waktu yang super limit.
Saat-saat menjalani sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, prestasi mereka gemilang, namun setelah memasuki masa kuliah, prestasi mereka mengendor.Â
Sebagian dari mereka memang terlihat taat dan patuh di depan orangtuanya. Namun di belakangnya, diam-diam berpacaran, keluyuran tak karuan, yang mengakibatkan kehancuran semua disiplin yang diterapkan orangtua.Â
Bahkan demi menyelamatkan hubungan dengan pacar, mereka tanpa rasa berdosa membohongi kedua orangtuanya, meminta uang lebih dengan menggunakan alasan iuran sekolah padahal untuk mentraktir pacar.
Pola disiplin yang terlalu keras dari orangtua, memang adakalanya berhasil, namun di sisi lain bisa gagal, tergantung dari sifat dan kepribadian anak yang dididik.Â
Jika sang anak berjiwa pemberani dan suka berpetualang, maka disiplin yang terlalu keras akan membuatnya menjadi anak pemberontak di saat dewasanya.Â
Setelah memiliki kecukupan keberanian untuk mandiri, maka biasanya dia lebih memilih hidup terpisah dari orangtuanya, demi menikmati kebebasan serta menghindari kedisiplinan yang dipaksakan.
Jika dahulu tontonan TV merupakan acara elit yang menjadi fungsi tawar bagi orangtua dalam mendidik anaknya, maka tak berbeda jauh dengan yang terjadi saat ini, hanya saja sekarang TV sudah tidak memiliki daya magnet lagi, sehingga tergantikan oleh game yang lebih menggoda.
Di saat TV masih jaya-jayanya, banyak orangtua menerapkan kedisiplinan dengan daya tarik TV.
Bila anak telah menyelesaikan tugas, barulah boleh nonton TV, anak seakan mendapat anugerah dari langit yang tiada duanya.Â
Bahkan ada juga orangtua yang seratus persen betul-betul melarang anaknya menonton TV, karena khawatir terpengaruh acara TV yang negatif, kecanduan menonton, dan malas belajar.Â
Namun orangtua lupa, saat anak beranjak remaja, dia akan pindah menonton TV ke mana-mana, mungkin ke rumah teman-temannya, yang tentunya lebih sulit dikontrol oleh orangtua.Â
Demikian juga yang terjadi saat ini, dunia berada dalam kepungan pandemi covid-19, memaksa pembelajaran melalui daring, segalanya serba online.Â
Namun sayangnya, ternyata anak-anak bukan hanya belajar online, tapi berselancar ke mana-mana, termasuk berlama-lama main game.Â
Akibatnya banyak orangtua yang panik dengan keberadaan game, sebab telah menyita sekian banyak waktu anak untuk bermain dibanding belajarnya, hingga muncul wacana pemblokiran situs game kepada pemerintah.
Sebetulnya orangtua tidak bisa serta merta menyalahkan game sebagai penyebab anak kecanduan hingga ogah belajar, perlu penelusuran mendalam mengapa hal itu bisa terjadi.
Orangtua harus berani melawan keegoisan dengan mencoba untuk mengingat pada proses awal merawat dan membesarkan anak-anak.Â
Saat orangtua sibuk bekerja, atau sibuk mengerjakan sesuatu, merasa tak bisa diganggu gugat, hingga ketika anak-anak tiba-tiba merengek meminta perhatian dianggap sebagai gulma pengganggu.
Kemudian orangtua mengambil tindakan paling efektif agar tidak terganggu, yakni dengan memberikan handphone, tablet, atau gawai lainnya.Â
Dan memang terbukti efektif, anak tidak mengganggu lagi karena terhibur dengan game yang disuguhkan orangtua melalui handphone-nya.Â
Keinginan orangtua saat itu hanya satu, anak tenang, tidak rewel dan tidak mengganggu. Sampai berapa lama hal itu berlanjut? Sampai anak menginjak usia prasekolah, sekolah dan seterusnya.Â
Nah, kini Anda paham siapa sebetulnya yang pada awalnya telah memperkenalkan game pada anak? Dan hal itu terus berlanjut hingga anak memiliki gawai sendiri, lama kelamaan game mengambil alih peranan sebagai orangtua.Â
Posisi itu terus menerus diambil alih oleh game, hingga kebutuhan anak terhadap gawai meningkat.Â
Pada saat usia balita diperkenalkan game sederhana, seiring pertambahan usia, game itu akan terus meningkat perubahannya.
Jadi wajarlah jika selain pembelajaran online, anak sibuk juga dengan game online, sebab game dianggap sosok pengganti orangtuanya saat rewel sewaktu kecil dulu.
Dan sekarang saat dia sudah sedemikian akrab dengan orangtua pengganti bernama game, barulah orangtua asli merasa terabaikan, bahkan nasehat pada anak untuk belajar pun tak mempan lagi. Siapa yang harus disalahkan?
Cara bijak agar anak tak kecanduan game
Berbeda dengan orangtua yang menjadikan game sebagai hiburan sesaat bagi anak, mereka akan memberi pemahaman cukup pada anak tentang sebuah tanggung jawab, maka kegilaan pada game tak akan terjadi. Lalu bagaimana caranya?
Jangan biarkan anak tenggelam dalam game
Sebagai pria pekerja atau pun wanita karir, pastinya tidak ingin pekerjaan terganggu dengan kerewelan anak Anda, sehingga dengan terpaksa mulai memperkenalkan game pada anak.Â
Saat anak sedang bermain game, jangan biarkan dia betul-betul tenggelam, setiap jeda waktu dua menit panggil namanya.Â
Hal itu untuk mengingatkan pada anak, bahwa Anda masih sebagai orangtuanya, sehingga tidak tergantikan oleh game.
Nasehati dengan tulus
Ketika anak sudah mulai beranjak remaja dan bisa diajak berdiskusi, nasehati dengan lembut bahwa game hanya sebagai hiburan, bukan sebagai tujuan utama dalam hidupnya, ada tanggung jawab lain yang menjadi keharusan meraih cita-citanya juga. Lakukan secara terus menerus, namun dengan ketulusan, sehingga anak tak merasa dikhotbahi
Anak-anak yang mulai beranjak remaja biasanya paling antipati dikhotbahi, sebab dia sedang sibuk mencari jati diri.Â
Mungkin di satu sisi Anda melihatnya masih sebagai anak-anak, namun disisi lain dia merasa sudah dewasa. Usia rawan seperti ini butuh penghargaan karena harga dirinya mulai terbentuk.Â
Pemberian nasehat tanpa umpan balik hanya akan menggagalkan usaha Anda untuk merubahnya, karena di dalam jiwa si anak menilai orangtuanya sok tahu, akibatnya dia akan mengabaikan atau bahkan tak mempedulikan Anda.
Hindari melarang dengan kekerasan
Ketika melarang anak bermain game, jangan sampai melakukannya dengan cara kasar, membentak, atau memaksanya dengan keras. Sebab hal itu justru akan membingungkannya. Bahkan bagi anak yang masih berusia balita, hal itu sangat mengejutkan.Â
Berbicara tentang pembullian, sebetulnya orangtualah yang berpotensi palng besar membulli dengan cara merampas hak anak melalui pemaksaan kehendak.Â
Daripada Anda menemui reaksi balita yang menangis, merajuk, bahkan meraung-raung saat diambil gawainya saat bermain game. Maka akan lebih bijak jika Anda mengajaknya bicara baik-baik penuh kelembutan sebelum mengambilnya, sehingga dia memahami alasan Anda mengambilnya.
Ajak diskusi dari hati ke hati
Anda juga bisa mengajaknya berdiskusi dari hati ke hati tentang dampak negatif bermain game terlalu lama.Â
Seorang anak meskipun masih balita, dia adalah pendengar yang baik, jangankan balita, bayi dalam kandungan adalah juga pendengar baik.Â
Ketika anak terbiasa diajak berdiskusi dari hati ke hati, maka dia akan menjadi pribadi empati yang bisa memahami keadaan.Â
Sehingga saat dia memasuki usia remaja, anak akan mudah diarahkan, dia memahami kapan saatnya membagi waktu antara kewajibannya untuk belajar, dan hak untuk bermain game.Â
Sehingga saat dewasa, dia akan menjadi kepribadian yang pintar membagi waktu. Jadi Anda tak perlu lagi gontok-gontokan perang dunia dengan anak demi memaksakan kehendak.
Membangun kesadaran anak tentang game
Jadi sebetulnya anak kecanduan game akibat kesalahan siapa? Pola asuh orangtua, kesalahan anak sendiri, atau kesalahan produsen game?Â
Keinginan mati-matian untuk memblokirnya tidak akan efektif. Sebab tidak beda jauh seperti saat lalu, orangtua mati-matian melarang dan membatasi anak menonton TV
Toh akhirnya dia bisa nonton di rumah tetangga, atau teman-temannya, malah tanpa pengawasan, dengan acara-acara TV yang tidak jelas, bukankah justru lebih berbahaya?
Alangkah lebih efektifnya jika membangun kesadaran pada anak, dengan mengajaknya berdiskusi dan berbicara dari hati ke hati tentang dampak negatif dari game.Â
Sebab kita tak bisa serta merta menutup mata dan pendengaran mereka dari game yang ada. Karena hal itu terlalu mustahil di zaman globalisasi yang segalanya tanpa jarak, ruang, dan waktu.Â
Bahkan terasa seperti buah simalakama jika anak mendebat Anda, bahwa ternyata saat ini game bisa menjadi ladang penghasilan karena diperlombakan sampai tingkat dunia dengan hadiah uang lumayan besar.Â
Lalu bagaimanan Anda menjawab perdebatan mereka, jika selalu uring-uringan menyikapi game?
Memang tak semua orang bisa sukses mendulang uang melalui permainan game, namun juga jika larangan itu dengan kekerasan dan alasan yang tak bisa dipahami, maka percayalah akan membuat anak makin penasaran dan menggilai game.
Jadi sebetulnya siapa yang salah? Orangtua yang sewaktu anak masih kecil memberikan game agar anak tidak mengganggu pekerjaannya? Ataukah anak-anak yang kecanduan game karena menganggapnya sebagai pengganti sosok ortu di saat rewel saat kecil dulu? Ataukah produsen game, kenapa harus membuat game? Semuanya bagaikan kotak pandora yang sulit ditebak dan dipecahkan.
Jadi kesimpulannya, jangan pernah memperkenalkan game sedetikpun jika tak ingin anak kecanduan game di kehidupan selanjutnya.Â
Tapi mungkinkah hal itu bisa terwujud di jaman globalisasi inI? Orangtua sibuk bekerja, agar anak tidak mengganggu pekerjaannya maka diberikanlah game, orangtua aman.Â
Pembantu di rumah agar pekerjaannya tidak terganggu, diberikanlah anak majikan game, pembantu aman. Produsen game menjual game, yang penting dapat duit, perusahaan aman.Â
Lalu di mana titik kesalahan anak? Apakah akibat tak bisa membagi waktu karena ingin selalu bersama gamenya sebagai sosok penghibur pengganti keberadaan orangtua di saat dia resah gelisah dalam rewelnya saat kecil dulu.
Game telah menjadi sosok orangtua pengganti bagi anak, sementara orangtua asli merasa tersisihkan. Mengapa bisa terjadi?Â
Kembali ke bagaimana cara orangtua mengasuh dan membesarkan anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H