Mungkin karena tak ada pilihan lain sebagai anak-anak, daripada tidak makan, sebab penghentian asupan makan merupakan bagian dari tindak kediplinan yang diterapkan orangtua mereka.
Demikian juga larangan menonton TV. Tontonan televisi menjadi barang langka bagi mereka, memang ada sebagian teman yang diperbolehkan menonton TV, namun pada jam-jam tertentu saja dengan jatah waktu yang super limit.
Saat-saat menjalani sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, prestasi mereka gemilang, namun setelah memasuki masa kuliah, prestasi mereka mengendor.Â
Sebagian dari mereka memang terlihat taat dan patuh di depan orangtuanya. Namun di belakangnya, diam-diam berpacaran, keluyuran tak karuan, yang mengakibatkan kehancuran semua disiplin yang diterapkan orangtua.Â
Bahkan demi menyelamatkan hubungan dengan pacar, mereka tanpa rasa berdosa membohongi kedua orangtuanya, meminta uang lebih dengan menggunakan alasan iuran sekolah padahal untuk mentraktir pacar.
Pola disiplin yang terlalu keras dari orangtua, memang adakalanya berhasil, namun di sisi lain bisa gagal, tergantung dari sifat dan kepribadian anak yang dididik.Â
Jika sang anak berjiwa pemberani dan suka berpetualang, maka disiplin yang terlalu keras akan membuatnya menjadi anak pemberontak di saat dewasanya.Â
Setelah memiliki kecukupan keberanian untuk mandiri, maka biasanya dia lebih memilih hidup terpisah dari orangtuanya, demi menikmati kebebasan serta menghindari kedisiplinan yang dipaksakan.
Jika dahulu tontonan TV merupakan acara elit yang menjadi fungsi tawar bagi orangtua dalam mendidik anaknya, maka tak berbeda jauh dengan yang terjadi saat ini, hanya saja sekarang TV sudah tidak memiliki daya magnet lagi, sehingga tergantikan oleh game yang lebih menggoda.
Di saat TV masih jaya-jayanya, banyak orangtua menerapkan kedisiplinan dengan daya tarik TV.
Bila anak telah menyelesaikan tugas, barulah boleh nonton TV, anak seakan mendapat anugerah dari langit yang tiada duanya.Â