Hal ini memicu gejolak protes di masyarakat karena sembako seperti beras, telur, gula, garam dan sebagainya, bersentuhan langsung dengan kebutuhan vital wong cilik sebagai pengganjal perut sehari-hari.
Seperti Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) yang memprotes karena mengalami kondisi sulit, sebab 50 persen lebih omzet dagang menurun, sementara pemerintah dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir.
Masyarakat menganggap pajak kian ganas ke bawah hingga membebani rakyat kecil, namun justru melonggarkan kaum borjuis dengan adanya pengampunan pajak alias tax amnesty.
Komisi IX DPR: reformasi perpajakan daripada menaikkan PPN
Selain sembako, pemerintah juga akan mengenakan tarif PPN pada sekolah atau jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara dalam dan luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
Masyarakat menyoroti bahwa selama sekian waktu Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, pajak terasa kian mencekik, tetutama bagi kaum buruh dan karyawan kecil, sebab jenis penghasilan apapun yang mereka terima, tidak pernah lepas dari pajak, pajak, dan pajak.
Pajak penghasilan dan pajak berganda bagi konglomerat mungkin tak berarti apa-apa, namun bagi karyawan cilik, setiap jumlah rupiah adalah hasil perasan keringat dan banting tulang yang sangat berarti bagi mereka.
Hingga anggota Komisi XI DPR Misbakhun menyarankan agar Kementerian Keuangan lebih baik melakukan reformasi perpajakan dengan cara memantapkan sistem pemungutan berbasis teknologi daripada menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen, sebab masyarakat tidak hanya terbebani oleh PPN maupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM), tetapi juga mendapatkan masalah administratif dalam praktiknya di lapangan, yang kemudian malah menjadi beban bagi wajib pajak.
Dan kini jika ditambah dengan akan adanya PPN terhadap sembako, tampaknya bukan hanya karyawan cilik sebagai kepala keluarga yang menanggung beban, tapi istrinya pun akan kembali berputar kepalanya demi mencukupkan rupiah agar kebutuhan makan sehari-hari tercukupi.
Di tengah carut marut ekonomi yang terpukul akibat pandemi, masih layakkah pemikiran memajaki hajat hidup orang banyak? Meskipun ada wacana PPN multi tarif, dengan meminimalkan pajak untuk barang kebutuhan wong cilik, dan memaksimalkan pajak atas barang mewah orang kaya, toh ujung-ujungnya wong cilik tetap tidak bebas dari pengenaan pajak.
Terbaca jelas wong cilik tidak hanya ingin pandemi berakhir, tapi juga berharap agar penghasilan mereka tidak dipajaki hingga kolor penghabisan, belum lagi jika kebutuhan sehari-hari dipajaki, mereka merasa kian modar.Â