Pimpinan KPK, Kemenpan RB, dan Badan BKN dinilai melecehkan pimpinan tertinggi negara dan hukum
Sangat menghenyakkan ketika 51 dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK dinyatakan diberhentikan oleh lembaganya.
Padahal Presiden Jokowi sebagai pimpinan tertinggi negara dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (17/5/2021), telah menginstruksikan kepada lembaga anti rasuah ini untuk tidak memberhentikan 75 pegawai, karena peralihannya menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai bersangkutan. Namun tampaknya arahan yang diberikan Jokowi hanya dianggap angin lalu bagi KPK.
Pemaksaan hukum dan pembangkangan
Dikutip dari kompas.com (25/5/2021) Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan bahwa alasan pemberhentian karena penilaian asesor terhadap 51 pegawai tersebut merah dan tidak mungkin dibina. Selain itu menurut Kepala BKN Bima Haria Wibisana 51 pegawai KPK mendapat penilaian negatif dalam aspek pribadi, pengaruh, dan PUPN (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah).
Memang setelah Jokowi menyampaikan instruksinya beberapa waktu lalu, Pimpinan KPK langsung mengadakan rapat bersama lembaga terkait, namun tindak lanjut dari rapat tersebut tetap tidak bertujuan menyelamatkan nasib 75 pegawai, bahkan hanya tersisa 24 pegawai yang kabarnya akan menjalani pembinaan, tapi tidak ada jaminan dapat lolos menjadi ASN.
Bahkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebut pemberhentian 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) merupakan bentuk pelecehan terhadap presiden dan pelanggaran hukum, sebagaimana dikutip dari kompas.com (25/5/2021).
Pimpinan KPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Reformasi dan Birokrasi (Kemenpan RB), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) dinilai mengabaikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian UU KPK.
Senada dengan hal tersebut, Peneliti Pusat Kajian Studi Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyebut, pemberhentian pegawai KPK sebagai bentuk pembangkangan terhadap arahan atau keinginan Jokowi.
Perkara korupsi terjeda tes TWK
Entah ada apa di balik semuanya , yang pasti segala macam tes yang menjadi tetek bengek persyaratan pegawai KPK agar dapat menjadi ASN terkesan malah menjadi jeratan pemberhentian. Jangankan pemberhentian, misal pun hanya dinonaktifkan saja, maka kasus korupsi yang tengah ditangani akan berhenti di tengah jalan, syukur-syukur bila ditangani okeh penyidik yang lebih profesional, bila tidak, maka merupakan kesempatan emas para koruptor untuk lari dari masalah.
Pegawai KPK yang sudah jelas sedang sibuk bekerja menangani perkara korupsi penting justru terhenti langkahnya hanya karena tes TWK yang memaksanya agar menjari ASN, padahal peralihan pegawai KPK menjadi ASN juga sempat menuai kontroversi akibat disahkannya RUU KPK.
Ibarat film India, polisi Bolywood yang tengah menangkap maling ayam dengan barang bukti ayam di tangannya, tapi terpaksa berhenti sejenak untuk mengikuti senam kesegaran jasmani yang diperintahkan pimpinan, saat sibuk senam maka ada dua kemungkinan yang terjadi,maling ayam yang taat hukum akan menunggu sampai polisi selesai senam, namun maling ayam yang ingin lepas dari jeratan hukum akan berupaya lari tunggang langgang sejauh-jauhnya.
Miris, jika instruksi presiden saja diabaikan, bagaimana dengan pesan wong cilik yang empati dengan nasib lembaga KPK?
Rumitnya prosedur penanganan korupsi setelah pemberlakuan UU KPK terbaru, ditambah pemberhentian secara sepihak para pegawainya yang kompeten dan berdedikasi tinggi, mungkinkah akan  makin  menguatkan akar korupsi di negeri ini?
Wait and see, mari berdoa untuk negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H